Selasa, 02 Februari 2016

REVIEW JURNAL

Can policy analysis theories predict and inform policy change? Reflections on the battle for legal abortion in Indonesia

Indonesia merupakan salah satu Negara yang mempunyai jumlah penduduk terbesar ke-empat di dunia. Selain jumlah penduduk yang banyak Indonesia juga salah satu Negara yang manyoritas berpenduduk islam, dimana ajaran islam di Indonesia sangat teguh dipegang oleh masyarakat. Akhir-akhir ini masyarakat di Indonesia diributkan dengan perbincangan kontroversi tentang legalnya aborsi di negeri ini. Dengan munculnya UU aborsi tersebut maka secara tidak langsung aborsi di Indonesia dilegalkan akan tetapi dengan syarat, seperti korban pemerkosaan, kehamilan yang tidak diinginkan oleh pasangan suami istri dan lain-lain. Dengan munculnya UU aborsi ini justru menimbulkan ambiguitas bagi masyarakat Indonesia, karena dalam hukum pidana aborsi diperbolehkan oleh pemerintah dengan beberapa syarat, sedangkan di hukum syariah aborsi tidak diperbolehkan.
Produk hukum di Indonesia memang belum sepenuhnya konsisten dimana dalam UU kesehatan menyatakan bahwa untuk aborsi adalah 15 tahun penjara, dengan denda 500 juta rupiah (sekitar £ 28 000) (Pasal 8) (Republik Indonesia 1992), dakwaan ini didasarkan pada KUHP. Tetapi dalam pasal 348 untuk orang yang menjadi fasilitas aborsi secara illegal dihukum penjara selama 5,5 tahun sedangkan untuk wanita yang melakukan aborsi dipenjara selama 4 tahun. Dari dua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwasannya penegakan hukum di negeri ini belum berdiri secara maksimal dan tegas. Hal inilah yang banyak menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat dan pada akhirnya masyarakat negeri ini tidak patuh terhadap hukum. Jika yang terjadi seperti itu maka masyarakat tidak sepenuhnya salah karena penegakan hukum dinegeri ini belum bias berdiri sendiri dan masih mudah diinterpensi. Pada 1970-an, sebuah 'pemahaman' tercapai oleh para profesional medis, atas saran Ketua Mahkamah Pengadilan Tinggi, bahwa aborsi bisa dilakukan untuk mempertahankan kehidupan wanita atau kesehatan (Utomo et al 1982; Hull et al 1993). Sejak tahun 1970-an ada upaya pemerintah untuk mereformasi undang-undang aborsi, akan tetapi hal ini terganjal oleh kepentingan-kepentingan kelompok politik, agama dan social. Ada dua pandangan yang berbeda dalam pemahamana aborsi menurut islam, dimana dipandang dari sudut Syiah dan Sunni. Syiah berpandangan bahwa aborsi itu illegal kecuali hanya untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu. Sedangkan menurut sunni aborsi boleh dilakukan dengan catatan ada alasan yang tepat. Dalam menentukan sebuah kebijakan yang menyangkut tentang agama dan social, Indonesia mempunyai 3 tokoh dan organisasi yang berpengaruh untuk merubah sikap kebijakan tersebut, diantara organisasi tertsebut adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah. Ketiga organisasi islam ini sangat berpengaruh dalam penentuan kebijakan yang menyangkut agama dan social.  
Munculnya UU kesehatan yang baru saja disahkan menimbulkan banyak pertanyaan dikalangan ulama baik NU maupaun Muhammadiyah. Dimana ada sebagian organisasi islam yang memperbolehkan aborsi dengan syarat dan ada organisasi islam yang tidak memperbolehkan. NU, organisasi wanita dan beberapa universitas islam memperbolehkan aborsi, karena kehamilan yang tidak diinginkan sangat membahayakan kehidupan seorang ibu (Baramuli, 2004). Sedangkan Muhammadiyah yang notabennya organisasi islam modern dan skalanya di Indonesia tidak terlalu besar tetapi sangat berpengaruh secara nasional karena mempunyai beberapa banyak bidang kesehatan dan pendidikan, Muhammadiyah tidak memperbolehkan aborsi dengan alasan aborsi akan menghancurkan masa depan orang tersebut (Dzuhayatin 2006).
Konsesi hukum pertama aborsi muncul di 1999 ratifikasi Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Perlakuan atau Penghukuman, Presiden BJ Habibie (UU No. 39/1999, Republik Indonesia 1999). Dan setelah di era Megawati pada tahun 2001 aborsi mulai diambil dari bagian dari kesehatan bukan kriminal. Dan pada tahun itu mulailah dibuat RUU kesehatan yang mengatur tentang aborsi di dalamnya. Diera presiden Megawati dalam pembahasan UU kesehatan ini melibatkan LSM, Ormas, lembaga pemerintah, dan akademisi serta tenaga medis. UU kesehatan yang telah disahkan beberapa bulan yang lalu ini memang menimbulkan banyak kontroversi terutama pada ayat yang membahasa legalisasi pelaksanaan aborsi. Akan tetapi sebelum UU ini disahkan pasti ada pertarungan yang sangat sengit di parlemen, dimana ada beberapa fraksi yang setuju dan ada beberapa fraksi yang tidak setuju dengan ayat yang membahas masalah legalisasi aborsi. Hal ini dapat dilihat pada table 3 yang menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku utama aborsi yang dilakukan secara tidak legal ini merupakan masalah yang sangat serius oleh karena itu dibentuklan pasal yang mengatur legalisasi aborsi akan tetapi dengan beberapa syarat tersebut. Tetapi dengan terbitnya UU kesehatan ini tidak lantas menyelesaikan masalah tentang aborsi, saat ini yang timbul adalah aborsi ini bagian dari penyelesaian masalah apa sebagai hak asasi manusia, pertanyaan ini muncul ketika UU kesehatan disahkan. Aborsi adalah salah satu isu hak asasi manusia yang mana kampanye legalisasi aborsi secara tidak langsung telah mendukung liberalisasi kea rah akses aborsi. Dimana aborsi diisukan sebagai salah satu factor untuk mengurangi angka kematian ibu (AKI), pada kenyataannya tidak ada korelasi antara banyaknya kematian ibu dengan proses pelaksanaan aborsi.
Dari beberapa pendapat organisasi islam yang ada ini pada akhirnya menimbulkan suhu politik yang semakin naik, dimana pergulatan dalam pengambilan kepentingan baik agama-politik sangat kuat. Oleh karena itu, MUI selaku organisasi tertinggi yang diwakili oleh para ulama dan perwakilan dari organisasi-organisasi islam pada bulan November tahun 2006 menyatakan bahwa aborsi boleh dilakukan pada kehamilan kasus perkosaan selama kehamilan tersebut kurang dari 40 hari. Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI ini berdasarkan hasil diskusi dan konsultasi antara MUI dengan ahli medis yang bersangkutan. Setelah fatwa MUI dikeluarkan maka kelompok agama progresif dan garis keras, bias mengkonsolidasikan bersama-sama dari media yang memiliki potensi untuk mempengaruhi pandangan masyarakat tentang legalisasi aborsi. Sehingga aborsi bias diterima ditengah-tengah kalangan masyarakat dengan persyaratan yang tercantum.
Setelah pergolakan yang alot di parlemen dalam perdebatan tentang UU kesehatan ini maka timbulah hokum yang jelas dimana pada pasal 194 yang berbunyi melakukan aborsi tidak sesuai dengan keadaan yang tercantum dalam UU maka akan dipenjara selama 10 tahun dan denda 1 miliar, dan semoga penegak hokum bias menjalankan dengan benar dan baik. Pembahasan UU kesehatan ini bukan menjadi pembahasan di parlemen semata karena dalam UU kesehatan Indonesia ini dibahas masalah reproduksi dan aborsi. Pembahasan reproduksi dan aborsi ini juga menjadi salah satu perdebatan di dalam sebuah agama, budaya masyarakat, hal ini dikarenakan Indonesia mempunyai masyarakat yang sangat heterogen, jadi pembahasan maslah reproduksi dan aborsi harus disesuaikan dan pembahasannya harus melibatkan tokoh agama, tokoh budaya, dan tokoh masyarakat serta suku-suku yang ada di Indonesia. Dalam penelitian ini telah ditemukan bahwa pelegalan aborsi telah didukung sesuai dengan perseimbangan politik, agama dan budaya yang beroprasi di makro politik Indonesia. Permasalahan aborsi dan reproduksi merupakan sebuah medan perang diantara pertemuan dua idiologi antara agama dan politik. Temuan dari studi ini menunjukkan bahwa analisis kebijakan teori dan alat pemetaan pemangku kepentingan dapat diterapkan untuk memprediksi kemungkinan perubahan kebijakan dan menginformasikan strategis pendekatan untuk mencapai perubahan tersebut. Selain itu juga harus ada keterlibatan pihak akademisi untuk mengawal perancangan UU kesehatan tersebut, sehingga UU yang diproduksi tetpat pada sasaran dan tidak disalahgunakan oleh setiap warga Negara. Perlu adanya pengawasan dalam praktek pelaksanaan aborsi disetiap rumah sakit, demi menghindari hal-hal yang tidak diatur dalam UU kesehatan.
Referensi
Baramuli MA. 2004. Aspirasi DPR untuk Amandemen UU Kesehatan (Parliament Initiative to Amend the Health Law). Paper presented in the seminar ‘Recent Finding on Pregnancy Termination in Indonesia’, Jakarta, Indonesia, 11 August 2004.
Dzuhayatin SR. 2006. Gender in contemporary Islamic studies. In: Pye M, Franke E, Wasim AT, Ma’sud A (eds). Religious Harmony Problems: Indonesia Practice and Education. Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co.KG, pp. 161–7.
Utomo B, Jatiputra S, Tjokronegoro A. 1982. Abortion in Indonesia: A Review of the Literature. Jakarta: Faculty of Public Health, University of Indonesia.
Republic of Indonesia. 1992. Law No. 23/1992 concerning Health, 17 September 1992, State Gazette Number 100 of 1992, Additional State Gazette Number 3495.

Jurnal. Surjadjaja Claudia, and H Mayhew Susannah, Can policy analysis theories predict and inform policy change? Reflections on the battle for legal abortion in Indonesia, published December 22, 2010.

Jumat, 08 Januari 2016

PENGEMBANGAN KARIER PEGAWAI NEGERI SIPIL di INDONESIA


Oleh: Muhammad Eko Atmojo



1.      LATAR BELAKANG
Di era otonomi daerah telah membawa implikasi penambahan jumlah pegawai, beban anggaran untuk pegawai semakin meningkat dan ruang lingkup kewenangan semakin luas. Untuk menuju kesiapan dalam manajemen kepegawaian nasional secara baik, jelas memerlukan waktu dan kualitas sumber daya manusia yang handal. Oleh karena itu pengembangan sumber daya manusia secara makro sangatlah penting, dalam rangka tujuan-tujuan pembanguna secara efektif.
Mahfud MD (1998) menyatakan bahwa kelancaran pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan nasional itu terutama sekali tergantung pada kesempurnaan aparatur negara yang pada pokoknya tergantung dari kesempurnaan Pegawai Negeri (sebagian dari aparatur negara). Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menyebutkan bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi, maka diperlukan pegawai negeri sebagai unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat dalam menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk itu, perlu diwujudkan pegawai negeri sipil yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggungjawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Demi lancarnya pembangunan nasional maka diperlukan pengelolaan dan peningkatan manajemen sumber daya aparatur melalui sistem yang disebut manajemen kepegawaian Indonesia. Manajemen kepegawaian bertujuan untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional secara berdayaguna dan berhasilguna. Adapun beberapa hal yang dikelola dalam manajemen kepegawaian Indonesia adalah sebagai berikut: penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, pengembangan kualitas sumber daya pegawai negeri sipil, pemindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak, kewajiban dan kedudukan hukum.
Pengembangan atau pembinaan kepegawaian menyangkut  dua hal pokok yang melingkupinya, yakni: pengembangan dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pengembangan dalam peningkatan karier pegawainya (Irfan, 2002). Kedua hal ini menjadi penting untuk diperhatikan karena keduanya mendorong terciptanya misi dari organisasi/instansi pemerintah yaitu kualitas pelayanan pegawai yang diberikan kepada masyarakat. Untuk mewujudkan kualitas pelayanan kepada masyarakat maka diperlukan sumber daya aparatur yang kompeten dan profesional.
Tetapi pada realitanya banyak sekali peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan yang tidak diarahkan pada analisis kebutuhan organisasi/unit kerja. Kondisi ini menyebabkan tidak optimalnya output atau outcome dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi peningkatan kinerja pegawai maupun organisasinya. Sementara itu, dalam pengembangan karier pegawai juga tidak jarang tanpa mendasarkan pada profesionalisme (merit system), akan tetapi lebih kepada senioritas atau pertimbangan-pertimbangan lainnya. Hal-hal semacam ini pada akhirnya menyebabkan pembinaan atau pengembangan pegawai, khususnya pegawai negeri sipil, menjadi tidak maksimal.
Selain tidak maksimalnya pengembangan pegawai negeri sipil maka banyak sekali daerah-daerah yang merekrut pegawai negeri sipil tidak berdasarkan kebutuhan dan kompetensi. Winarsih (2011) menyatakan bahwa untuk mengantisipasi peningkatan jumlah pegawai seharusnya daerah merekrut calon pegawai yang memiliki kompetensi sesuai formasi pekerjaan yang ada. Sehingga akan timbul keselarasan antara kompetensi yang dipersyaratkan oleh jabatan dengan kompetensi yang dimiliki oleh pegawai. Hal ini juga sejalan dengan amanat UU No 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Pasal 12 ayat 2 yang menyebutkan bahwa:
“diperlukan pegawai negeri sipil yang profesional, bertanggung jawab, jujur dan adil melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja”.

2.      ANALISIS
Pengembangan pegawai meurut Hasibuan (2014) didefinisikan sebagai berikut: pengembangan pegawai adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual dan moral karyawan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan/ jabatan melalui pendidikan dan pelatihan.
Pengembangan menurut Andrew F. Sikula dalam Hasibuan (2014) didefinisikan sebagia berikut:
development, in reference to staffing and personnel matters, is a long term educational process utilizing a systematic and organized procedure by which managerial personnel learn conceptual and theoretical knowledge for general purposes (steinmetz)”.

pengembangan mengacu  pada masalah staf dan personel adalah suatu proses pendidikan jangka panjang menggunakan suatu prosedur yang sistematis dan teroganisir dengan mana menejer belajar pengetahuan  konseptual dan teoritis untuk tujuan umum.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan pegawai adalah salah satu upaya peningkatan profesionalisme dan kompetensi terhadap pegawai yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan/jabatan. Konsep pengembangan pegawai merupakan upaya mempersiapkan pegawai (SDM) agar dapat bergerak dan berperan dalam organisasi sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan dan perubahan suatu organisasi, instansi atau departemen. Oleh karena itu kegiatan pengembangan pegawai itu dirancang untuk memperoleh pegawai-pegawai yang mampu berprestasi dan fleksibel untuk suatu organisasi atau institusi. Tenaga atau sumber daya yang telah diperoleh suatu organisasi, perlu pengembangan sampai pada taraf tertentu sesuai dengan pengembangan organisasi itu.
Pengembangan sumber daya manusia sebenarnya dapat dilihat dari dua aspek yaitu kualitas dan kuantitas. Untuk masalah kuantitas ini menyangkut tentang jumlah sumber daya manusia. Kuantitas sumber daya manusia harus di imbangi dengan kualitas sumber daya manusia yang baik juga. Kuantitas sendiri menyangkut tentang mutu sumber daya manusia yang yang lebih menekankan kepada kemampuan fisik dan non fisik. Dengan kata lain kualitas sumber daya manusia ini menyangkut dua aspek fisik dan non fisik yang berhubungan dengan kemampuan kerja, berfikir, dan keterampilan lain (Notoatmodjo, 2009).
Kebijakan pengembangan sumber daya manusia merupakan hal yang sangat mutlak untuk dilakukan, karena dengan adanya pengembangan maka kualitas sumber daya manusia akan meningkat serta faktor keberhasilan sebuah organisasi terlihat dari kualitas sumber daya manusianya. Maka Notoatmodjo (2009) berpendapat bahwa ada dua konsep dalam pengembangan sumber daya manusia yakni pengembangan sumber daya manusia secara makro adalah suatu proses peningkatan kualitas atau kemampuan manusia dalam rangka mencapai suatu tujuan pembangunan bangsa. Sedangkan  pengembangan sumber daya manusia secara mikro suatu proses perencanaan pendidikan, pelatihan dan pengelolaan tenaga atau karyawan untuk mencapai suatu hasil optimal. Pengembangan sumber daya manusia aparatur meliputi pendidikan dan pelatihan, serta pengembangan karier pegawai yaitu promosi. Adapun tujuan dari pendidikan dan pelatihan bagi pegawai adalah untuk meningkatkan kemampuan, profesionalisme sesuai dengan kompetensi pegawai sehingga membawa dampak terhadap pengembangan institusi pemerintahan yang bersangkutan.
Terkait dengan uraian mengenai unsur-unsur dalam pengembangan pegawai, maka pengembangan pegawai meliputi dua hal pokok yang melingkupinya, yaitu: (1) pengembangan kualitas dan (2) pengembangan karier (Tim Peneliti BKN, 2002). Secara sistematis pengembangan pegawai tersebut dapat digambarkan dalam skema pengembangan pegawai sebagai berikut:

Sumber: di olah oleh tim Peneliti BKN
 
 



Pengembangan Karier
Pengembangan karier menurut Gibson (1994) didefinisikan sebagai berikut:
”career planning and development is the movement is the of individuals into and out positions, jobs and occupations is a common procedure in organizations”.

Sedangkan pendapat lain mengenai pengembangan karier dikemukakan oleh Susan (2002) berpendapat bahwa pengembangan karier adalah aktivitas departemen sumber daya manusia dalam membantu pegawai merencanakan karier masa depan agar dapat mengembangkan kompetensi dan adanya peluang-peluang pengembangan karier sejalan dengan pertumbuhan organisasi.
Pengembangan karier tidak harus diartikan sebagai peningkatan jabatan secara vertikal mengikuti tangga karier, namun dapat pula berupa perubahan jabatan secara horizontal dan diagonal di dalam struktur organisasi. Namun, pertumbuhan karier vertikal memprasaratkan adanya prestasi kerja yang memuaskan yang dihasilkan oleh pegawai secara berkesinambungan, pengembangan kompetensi dan adanya peluang-peluang pengembangan. Pengembangan karier pegawai bisa dicapai dengan adanya kemampuan, prestasi kerja dan profesionalisme.
Promosi merupakan bagian dari pengembangan karier untuk menciptakan kualitasi sumber daya aparatur yang professional, maka dari itu penempatan pegawai yang tepat merupakan salah satu faktor keberhasilan pemerintah untuk mewujudkan pegawai yang professional. Promosi merupakan salah satu bentuk penghargaan bagi pegawai untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi dan tingkat tanggung jawab yang lebih tinggi. Sehingga mendapatkan sumber daya manusia yang mumpuni dan professional dalam rangka menciptakan kondisi lingkungan pemerintahan yang bersih, kompetitif, netral dan berwibawa (Hayat, 2014).
Dengan promosi jabatan berarti pegawai diberi kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kompetensinya, serta memberi kepercayaan kepada pegawai untuk menduduki jabatan dan tanggung jawab yang lebih tinggi. Bahwa promosi juga disebut rotasi vertical, dengan pemberian tingkat tanggung jawab dan penghargaan finansial yang lebih tinggi, serta bersifat selektif dengan mengutamakan prinsip prestasi kerja atau merit (Werther dalam Winarsih dkk, 2011).
Dalam kontek manajemen kepegawaian penempatan pegawai negeri dalam jabatan tidak selalu penempatan pegawai yang baru, akan tetapi penempatan pegawai bisa berupa promosi, mutasi dan demosi. Menurut Thoha (2014) promosi adalah penempatan pegawai pada jabatan yang lebih tinggi dengan wewenang dan tanggung jawab yang lebih tinggi dan penghasilan yang lebi tinggi pula. Penempatan pegawai dalam jabatan dilaksanakna berdasarkan prinsip professional sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan tersebut.
Promosi mempunyai peran penting dalam pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kualitas sumber daya aparatur. Dengan adanya promosi maka ada kepercayaan terhadap kemampuan pegawai yang bersangkutan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. Dengan demikian promosi akan memberikan dampak positif bagi pegawai dengan terangkatnya status sosial, wewenang (authority), tanggung jawab (responbility), serta penghasilan (outcomes) yang semakin besar terhadap pegawai (Hasibuan, 2014).
Promosi merupakan bagian dari pengembangan karier yang mempunyai tujuan untuk mewujudkan pegawai yang professional, mempunyai integritas tinggi dan kompetensi. Hasibuan (2014) menjelaskan bahwa ada beberapa tujuan promosi diantaranya adalah:
1.      Pertama, untuk memberikan pengakuan, jabatan dan imbalan jasa yang semakin besar kepada pegawai yang mempunyai prestasi tinggi.
2.      Kedua, menjadikan pegawai semakin bangga karena meningkatnya status soial dan penghasilan yang semakin tinggi.
3.      Ketiga, untuk merangsang pegawai agar lebih bergairah dalam bekerja, displin tinggi, dan memperbesar produktivitas kerjanya.
4.      Keempat, memberikan kesempatan kepada pegawai untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya.
5.      Kelima, menambah pengetahuan dan pengalaman kerja bagi pegawai.
6.      Keenam, untuk menjamin stabilitas kepegawaian dengan direalisasikan promosi kepada pegawai dengan dasar dan pada waktu yang tepat serta penilaian yang jujur.

Promosi harus dilakukan sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang objektif. Pada umumnya ada dua kriteria utama dalam mempertimbangkan seseorang untuk dipromosikan, yaitu prestasi kerja dan senioritas. Dimana promosi pegawai tidak selalu berdasarkan latar pendidikan atau seleksi pada saat rekrutmen, namun promosi didasarkan pada kebutuhan dan prestasi kerja serta persyaratan golongan atau kepangkatan dari pegawai yang bersangkutan (Thoha, 2014).
Tetapi realita yang terjadi banyak sekali pelaksanaan promosi tidak didasari dengan pertimbangan-pertimbangan yang objektif, melainkan melalui pertimbangan kekeluargaan maupun politik. Pelaksanaan promosi yang tidak didasarkan pada prosedur dan banyak dipengaruhi oleh faktor politik maka dapat berakibat pada kualitas kinerja pegawai. Dalam promosi kompetensi merupakan hal yang sangat penting untuk dicermati karena, masalah promosi merupakan masalah yang sangat kritis, dimana dalam proses promosi sering sekali terjadi penyimpangan dari prinsip dan kompetensi individual. Selain itu juga promosi jabatan sering sekali dilakukan secara tertutup dan tidak banyak didasarkan atas merit sistem yang berlandaskan kompetensi (Thoha, 2014).
Dalam penelitian Blunt ditemukan bahwa di pemerintahan Indonesia pengembangan sumber daya manusia merupakan sarang KKN dan sumber mata uang, hal ini dapat dilihat dari praktek-praktek yang diwujudkan dalam proses rekrutmen pegawai, promosi, transfer dan penempatan pegawai. Hal ini menjadi sangat favorit untuk direalisasikan karena dalam menentukan pegawai baik dari proses rekrutmen, promosi, mutasi, transfer dan penempatan pegawai diutamakan dari faktor ikatan keluarga, teman serta penawaran yang tinggi (Blunt et.al, 2012). Hal inilah yang masih terjadi di Indonesia dimana pelaksanaan promosi tidak didasari dengan kompetensi pegawai, sehingga menghasilkan pegawai yang tidak profesional dalam bekerja.
Dalam pelaksanaan promosi ada tiga unsur kepegwaian yang mempunyai kewenangan untuk menentukan layak tidaknya pegawai dipromosikan, diantaranya adalah Badan Kepegawaian Daerah, Badan Pertimbangan jabatan dan Kenaikan Pangkat, dan Pejabat Pembina Kepegawaian. Adapun kewenangan dan tugas dari tiga unsur tersebut adalah sebagai berikut:
Badan Kepegawaian Daerah mempunyai tugas untuk mendata semua pegawai yang ada di daerahnya. Sedangakan untuk kewenangannya adalah mempunyai hak untuk mengajukan atau mengusulkan pegawai yang akan dipromosikan. Tetapi realitanya Badan Kepegawaian Daerah hanya sebagai alat kepala daerah untuk melanggengkan jabatannya, dengan cara penentuan promosi lebih kepada kepala daerah sehingga tugas Badan Kepegawaian Daerah sudah mulai berkurang.
Dalam rangka untuk memperlancar proses promosi serta mewujudkan profesionalisme pegawai negeri maka untuk pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian pegawai, serta pengangkatan dalam pangkat maka dibentuklah Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Thoha (2014) menyatakan bahwa tugas dari Baperjakat adalah adalah memberikan pertimbangan kepada pejabat pembina kepegawaian dalam pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah, memberi pertimbangan dalam kenaikan pangkat bagi pegawai negeri sipil yang menduduki jabatan struktural yang menunjukkan prestasi kerja yang luar biasa baiknya, menemukan penemu baru yang bermanfaat bagi Negara, dan pertimbangan perpanjangan usia pension bagi pegawai negeri sipil yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah.
Wahiyuddin (2012) menyatakan bahwa kepala daerah mempunyai keleluasaan sebagai pejabat pembina kepegawaian sehingga pengangkatan, pemindahan dan pembinaan karir  pegawai negeri sipil kadang menjadi tidak professional, tidak memperhatikan kompetensi tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan politik. Besarnya kewenangan Pejabat Pembina Kepegawaian di daerah untuk menentukan pejabat yang akan menduduki jabatan strategis, maka akan semakin jelas bahwa birokrasi di Indonesia sangat rawan dengan intervensi politik. Hal ini sangat menggangu sistem kepegawaian di Indonesia, dimana birokrasi akan kehilangan arah kemandiriannya serta para pejabat akan menjaga hubungan dengan pimpinan daerah maupun politisi bukannya menciptakan pelayanan publik. Tujuannya adalah untuk melindungi pos jabatan yang diduduki, hal inilah yang menjadi implikasi sangat signifikan antara pengangkatan dan promosi jabatan di Indonesia (Wray dalam Mardiasmo et.al, 2008).




Kesimpulan dan Saran
Dari beberapa uraian di atas bahwasannya pengembangan karier pegawai mempunyai banyak macam bentuknya diataranya adalah promosi, rotasi, maupun demusi. Dalam pelaksanaan pengembangan karier pegawai di Indonesia belum banyak daerah yang menerapkan atau melaksanakan promosi berdasarkan kompetensi dan profesionalisme. Dimana dalam pelaksanaan promosi masih banyak daerah yang melaksanakan bukan karena penilaian objektif, melainkan berdasarkan faktor politik atau kedekatan. Seharusnya pelaksanaan promosi dilakukan dengan mengutamakan prestasi, kompetensi dan profesionalisme sehingga terlahir pegawai yang berkompeten dan profesional. Sebelum pelaksanaan promosi harus dilakukan assessment center terlebih dahulu, sehingga pegawai yang dipromosikan berdasarkan kompetensi dan profesional. 



DAFTAR PUSTAKA
Blunt, Peter, dkk (2012). Patronage, Service Delivery, and Social Justice in Indonesia. International Journal of Public Administration, Volume 35, Number 3.
Hasibuan, Malayu S.P (2014). Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta.
Hayat (2014). Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Aparatur Pelayanan Publik Dalam Kerangka Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Volume. 8, Nomor. 1 Juni.
Imel, Susan, (2002), Career Development For Meaningful Live Work, http://ericacve.org.
Irfan, Muhlis (2002), Efektivitas Diklat Struktural Bagi Pegawai Negeri Sipil (Post Training Evaluation), Puslitbang BKN, Jakarta.
Mardiasmo, Diaswati and Barnes, Paul H. and Sakurai, Yuka (2008). Implementation of Good Governance By Regional Governments in Indonesia: The Challenges.
MD, Mahfud Moh, (1998). Hukum Kepegawaian Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo (2009). Pengembangan Sumber Daya Manusia, PT Rineka Cipta, Jakarta.
 Rismayadi dan Hersona, Analisi Pengaruh Pengembanagan SDM Terhadap Kinerja Pegawai Pada Badan Kepegawaian Daerah Kab Karawang, Jurnal Manajeman Volum 09 Nomor 3 Tahun 2013.
Thoha, Miftah, (2014). Manajemen Kepegawaian Sipil Di Indonesia. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (Edisi Kedua).
Wahiyuddin, Laode (2012). Politisasi Pejabat Struktural (Study Kasus Politisasi Pejabat Struktural Eselon II di Sekretariat Daerah Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara). Tesis, Universitas Gajah Mada.
Winarsih, Atik Septi & Ratminto, Penyusunan Sistem Perencanaan Karier Pemerintah Kabupaten Klaten , Jawa Tengah, Jurnal Studi Pemerintahan Volume 02 No 2 Agustus 2011.




Jumat, 21 Agustus 2015

REVIEW JURNAL

INOVASI PT. POS INDONESIA DALAM MENJAGA EKSISTENSI DAN DAYA SAING PELAYANAN PUBLIK
(Studi Pada PT. Pos Indonesia Sidoarjo 62100)
Oleh: Putri Ismie Mayangsari, M. Saleh Soeaidy, Wima Yudho Prasetyo
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol 1, No. 2

A.    LATAR BELAKANG
Pada era reformasi, tuntutan untuk melakukan perubahan/inovasi begitu tinggi, utamanya untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Di mana sampai saat ini pelayanan publik masih menjadi persoalan yang perlu memperoleh perhatian dan penyelesaian secara komprehensif. Sebagai penyedia layanan publik, PT. Pos Indonesia yang merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang jasa dituntut melakukan inovasi dalam rangka memenuhi tuntutan peningkatan kualitas layanan kepada masyarakat. Untuk bisa bersaing dengan perusahaan swasta dibidang pelayanan jasa pengiriman PT. Pos Sidoarjo harus bisa menjadi organisasi publik yang inovatif.
B.     METODE
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Peneliti memfokuskan penelitian menjadi tiga pokok bahasan; Pokok bahasan Pertama, inovasi PT. Pos Indonesia dalam menjaga eksistensi dan daya saing pelayanan public. Kedua, keberhasilan dan kegagalan inovasi PT. Pos Indonesia dalam menjaga eksistensi dan daya saing pelayanan public. Ketiga, faktor yang mendukung dan menghambat pengembangan inovasi.
C.    TEMUAN
Pertama, Melihat banyaknya tantangan pada perusahaan yang bergerak pada layanan jasa membuat PT. Pos Indonesia harus melakukan suatu perubahan (transformasi), yaitu dengan melakukan inovasi baik itu inovasi produk ataupun inovasi jasa. Bentuk-bentuk inovasi yang dilakukan oleh PT. Pos Indonesia Sidoarjo ada dua macam yaitu inovasi produk dan inovasi proses. Bentuk contoh inovasi produk: Pos Express, Express Mail Service (EMS), Pos Payment, wesel pos instan dan wesel pos prima serta perangko prisma. Bentuk contoh inovasi proses: jaminan ganti rugi terhadap surat, dokumen, dan barang yang rusak atau hilang, electronic mobile (e-mobile), dan mesin nomor antrian elektronik). Selain itu PT. Pos Indonesia juga bekerjasama dengan perusahaan BUMN yang lain guna mempermudah proses pengiriman surat, dokumen dan paket. Adapun perusahaan BUMN yang bekerjasama dengan PT. Pos Indonesia adalah PT. Garuda Indonesia, dan PT. PELNI.
Kedua, keberhasilan sebuah inovasi dapat ditinjau dari dua hal, yaitu agen inovasi dan program inovasi. Keberhasilan itu ditunjukkan dengan, salah satunya pada inovasi layanan Pos Pay, di mana layanan ini menggandeng perusahaan lainnya untuk bisa memberikan pelayanan yang efektif dan efisien. Dimana perubahan lingkungan yang dinamis menyebabkan kondisi pelayanan pada saat sebelum adanya inovasi dan setelah adanya inovasi sangatlah berbeda. Sebelum adanya inovasi kondisi pelayanan di PT. Pos Indonesia Sidoarjo masih manual sehingga proses pelayanan lebih cenderung lama. Sedangkan setelah adanya inovasi system pelayanan sudah memanfaatkan kemajuan teknologi. Pelayanan dengan system jaringan online lebih cepat, sehingga proses pengiriman bisa dilihat dengan cara online  di seluruh kantor pos. Dalam implementasi inovasi pos pay  PT. Pos Indonesia Sidoarjo bekerjasama dengan PLN, PDAM, kerjasama ini sudah dijalin sejak tahun 2011.
Ketiga, ada dua factor yang bisa mendorong dan menghambat pengembangan inovasi PT. Pos Indonesia. Diantaranya adalah factor internal dan factor eksternal. Factor internal yang menghambat pengembangan inovasi adalah terkait dengan SDM dan visi serta misi, sedangkan factor eksternal sarana dan prasarana serta biaya (keuangan) operasional. Factor pendorong pengembangan inovasi dari sisi eksternal adalah kebijakan pemerintah, kemajuan teknologi, dan munculnya jasa pengiriman swasta.   
D.    KESIMPULAN
Ada dua factor utama dalam pelaksanaan inovasi PT. Pos Indonesia Sidoarjo diantaranya adalah lingkungan internal dan eksternal. Di mana lingkungan internal meliputi kualitas dan kuantitas SDM serta terbatasnya sarana dan prasarana. Sedangkan dari lingkungan eksternal adalah pemerintah sebagai regulator kebijakan, persaingan yang semakin ketat dengan munculnya bisnis jasa pengiriman yang serupa atau pangsa pasar, dan juga perkembangan kemajuan teknologi.
Dari beberapa bentuk inovasi yang dilakukan oleh PT. Pos Indonesia Sidoarjo secara garis besar sudah bagus. Hal ini dapat dilihat dari antusias masyarakat dalam menggunakan produk inovasi PT. Pos Indonesia Sidoarjo, diantaranya adalah Pos Expres dan Pos Pay.  Akan tetapi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Sidoarjo adalah inovasi dalam bentuk Pos Pay. Inovasi Pos Pay yang banyak digunakan oleh masyarakat Sidoarjo tidak lain dengan berhasilnya kerjasama antara PT. Pos Indonesia Sidoarjo dengan PLN dan PDAM. Kerjasama ini tidak lain adalah untuk menjaga eksistensi PT. Pos Indonesia Sidoarjo dalam menghadapi persaingan global. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang menggunakan inovasi Pos Pay untuk melakukan transaksi pembayaran PLN dan PDAM
Inovasi-inovasi yang ada masih belum menjawab semua tantangan organisasional yang di hadapi PT. Pos Indonesia karena inovasi produk dan proses belum mampu mengatasi masalah organisasional yang dihadapi terkait dengan kualitas dan kuantitas SDM. Oleh karena itu, Perlunya perluasan bentuk inovasi, tidak hanya pada inovasi produk dan proses saja agar mampu menjawab tantangan organisasional terkait dengan kualitas dan kuantitas SDM.
E.     KRITIK DAN SARAN
Diera globalisasai inovasi dalam pelayanan public memang perlu untuk dilakukan, dengan adanya inovasi maka perusahaan pelayanan public akan tetap eksis dan bisa bersaing di tengah-tengah masyarakat. Inovasi pelayanan pada jasa pengiriman memang perlu dilakukan oleh PT. Pos Indonesia, mengingat bahwasannya saat ini sudah banyak sekali perusahaan swasta yang bergerak dibidang jasa pengiriman. Maka dari itu, PT. Pos Indonesia perlu melakukan inovasi-inovasi pada pelayanan jasa pengiriman guna mempertahankan eksistensi daya saing dengan perusahaan jasa pengiriman lain. Inovasi yang sudah dilakukan oleh PT. Pos Indonesia cabang Sidoarjo merupakan salah satu bentuk inovasi pelayanan yang tidak lain adalah untuk menjaga eksistensi PT. Pos dalam pelayanan publik. Dengan adanya inovasi tersebut maka PT. Pos Indonesia Sidoarjo jauh lebih baik dan bisa menjaga eksistensi ditengah-tengah masyarakat dalam persaingan global. Akan tetapi inovasi PT. Pos Indonesia belum sepenuhnya dilakukan oleh seluruh kantor Pos di Indonesia. Maka dari itu masih banyak sekali kantor pos di daerah lain yang kalah bersaing dan tidak eksis dimata  masyarakat.
Saran saya: perlu adanya dorongan dari PT. Pos Indonesia Pusat kepada seluruh PT. Pos yang ada di seluruh Indonesia untuk membentuk inovasi-inovasi yang sesuai dengan kebutuhan di daerah masing-masing. Perlu dilakukan inovasi serentak di seluruh Indonesia guna mendongkrak kembali PT. Pos Indonesia di mata masyarakat. Pemerintah perlu mendukung dengan menerbitkan kebijakna yang berpihak kepada PT. Pos Indonesia. Dukungannya bisa dilakukan dalam bentuk regulasi maupaun pendanaan untuk PT. Pos Indonesia. 

TEORI KEKUASAAN POLITIK


Ramlan Surbakti (2007) mengartikan kekuasaan secara umum adalah kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk mempengeruhi perilaku pihak lain sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang mempengaruhi. Sedangkan dalam arti sempit kekuasaan politik adalah kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembantu dan pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya, kelompok ataupun masyarakat pada umumnya.
Nuraini (2010) menyimpulkan pendapat Ramlan Surbakti bahwa kekuasaan diperoleh karena adanya sumber-sumber yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok, yang dapat dijadikan sebagai alat atau sarana untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok lain sesuai yang diinginkan. Sedangkan Robert Dahl berpendapat bahwa membahas berbagai sumber-sumber kekuasaan tentu tidak boleh mencampuradukkan dengan makna kekuasaan itu sendiri karena menurut Dahl:
Bila merumuskan pengaruh atau kekuasaan secara sederhana sebagaimana dengan kekuasaan itu sendiri, maka tidak hanya akan kehilangan kekuasaan subyek persoalan, namun juga telah menyangkal suatu masalah empiris yang penting mengenai apa dan bagaimana hubungan pengaruh harus diterapkan dan bagaimana cara actor untuk mempergunakan sumber kekuasaan yang dimilikinya (Dahl dalam Nuraini, 2010).

Dahl dalam Nuraini (2010), berpendapat mengenai lebih pentingnya untuk mengkaji kekuasaan dengan melihat bagaimana hubungan kekuasaan dan pengaruhnya, serta cara penggunaan sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki seseorang.
Budiardjo (2008) mendefinisikan kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan.
Maka dari pandangan beberapa ahli dapat disimpulkan bahwasannya pengertian dari kekuasaan politik adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi proses pembantu dan pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya, kelompok ataupun masyarakat pada umumnya.
Perkembangan kekuasaan dapat digunakan untuk mempengaruhi kebijakan umum dengan tujuan agar kebijakan tersebut sesuai dengan keinginan sang penguasa. Mengingat kekuasaan mempunyai hubungan yang erat dengan politik dan  kekuasaan sangat terkenal dengan pengaruh dan mempengaruhi. Hal ini sangat relevan dengan pengertian yang disampaikan oleh para pakar bawasannya kekuasaan adalah mempengeruhi seseorang agar bertingkah laku sesuai dengan keinginannya. 
Maridjan (2010) menyatakan bahwa kekuasaan merupakan masalah sentral di dalam suatu negara, karena negara merupakan pelembagaan masyarakat politik (polity) paling besar dan memiliki kekuasaan yang otoritatif.  Kekuasaan mempunyai jangkauan cukup luas yang meliputi kemampuan untuk mempengaruhi, memerintah, dan mengambil keputusan. Dalam hal ini kekuasaan pemimpin daerah juga sangat berpengaruh untuk mengambil suatu kebijakan publik.
Sitepu (2012) mengatakan bahwa konsep kekuasaan politik sebagai suatu elaborasi dengan menjadikan kekuasaan sebagai fenomena politik kekuasaan. Maka dari itu Surbakti (2007) membagi konsep kekuasaan sebagai berikut:
1.      Pengaruh (influence) adakah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar merubah sikap dan perilakunya secara sukarela.
2.      Persuasi adalah kemampuan menyakinkan orang lain dengan argumentasi untuk melakukan sesuatu.
3.      Manipulasi adalah penggunaan pengaruh, dalam hal ini yang dipengaruhi tidak menyadari bahwa tingkahlakunya mematuhi keinginan pemegang kekuasaan.
4.      Coercion adalah peragaan kekuasaan atau ancaman kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap pihak lain agar bersikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak pihak pemilik kekuasaan.
5.      Force adalah penggunaan tekanan fisik, seperti membatasi kebebasan dan lain sebagainya.
6.      Kewenangan (authority)
REFERENSI
Subakti, Ramlan (2007). Memahami Ilmu Politik. Grasindo, Jakarta.           
Nuraini, Siti (2010). Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintah Desa. Jurna Keybernan, Vol. 1, 1 Maret 2010.



Minggu, 11 Januari 2015

KEBIJAKAN REKRUTMEN PEJABAT ESELON II APARATUR SIPIL NEGARA (Study Contoh: Rekrutmen Pejabat Eselon II di Pemerintah Provinsi Aceh)


Abstrak:
Reformasi birokrasi pada bidang kepegawaian merupakan hal yang sangat penting, terutama pada proses rekrutmen pegawai. Dengan adanya reformasi dibidang rekrutmen pegawai maka diharapkan akan tercipta pegawai mauapun pejabat yang mempunyai integritas tinggi dan professional. Akan tetapi proses rekrutmen pegawai yang ada di Indonesia belum menunjukkan keseriusan dalam mewujudkan pegawai yang mempunyai integritas tinggi dan profesionalisme. Hal ini ditandai dengan masih adanya indikasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam rekrutmen Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Sehingga banyak sekali pegawai maupun pejabat eselon II di daerah maupun pusat yang tindak mempunyai integritas tinggi. Memang perlu adanya kebijakan baru dalam proses rekrutmen pegawai, dalam hal ini proses rekrutmen pegawai harus transparan sehingga bisa menghasilkan pegawai maupun pejabat yang mempunyai kualitas dan kuantitas serta professional. Selain itu perlu adanya torbosan baru dalam proses rekrutmen pegawai yang bisa menciptakan pegawai dengan integritas tinggi. Rekrutmen pegawai melalui fit and proper test merupakan salah satu trobosan baru untuk menciptakan pejabat eselon II yang mempunyai itegritas tinggi dan professional.
Kata Kunci: Reformasi Birokrasi, Rekrutmen Pegawai, Transparan.

PENDAHULUAN
Sumber daya manusia merupakan sebuah kekayaan yang tak ternilai, dengan adanya sumber daya manusia yang baik dan professional maka sebuah Negara akan berkembang baik dari segi ekonomi, pelayanan, politik dan lain sebagainya. Pada era globalisasi membuat persaingan disetiap Negara semakin kuat untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakatnya. Sumber daya manusia merupakan factor utama dalam sebuah pemerintahan. Untuk mewujudkan pemerintahan dan persaingan diera globalisasi maka dibutuhkan sumber daya manusia aparatur yang professional. Salah satu upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam peningkatan kapasitas sumber daya aparatur adalah melakukan “reformasi birokrasi” yang diyakini akan membawa pada suatu kondisi birokrasi pemerintahan sebagai pelayanan publik yang diharapkan oleh masyarakat (Zulchaidir, 2011).
Sumber daya aparatur merupakan salah satu pilar pembangunan nasional. Mahfud MD, dalam Atmojo (2013:1) Kelancaran pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan nasional itu terutama sekali tergantung pada kesempurnaan aparatur negara yang pada pokoknya tergantung dari kesempurnaan Pegawai Negeri sebagian dari aparatur Negara. Untuk mewujudkan kesempurnaa aparatur Negara maka diadakan perubahan terhadap UU No 43 Tahun No 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Negara. Adapun perubahan yang ada pada UU No 43 tahun 1999 mempunyai konsekuensi bahwa setiap pemerintahan baik pusat maupun daerah wajib mempunyai sumber daya aparatur yang memenuhi persyaratan sesuai dengan kualitas dan kuantitas sebagai sumber daya aparatur sehingga bisa melaksanakan tugas dengan baik dan professional. Padahal sangat jelas bahwa jumlah Pegawai Negeri Sipil yang telah mencapai 4,7 juta orang belum memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan layanan publik. Bahkan belanja Pegawai Negeri Sipil yang cenderung meningkat telah menggerogoti anggaran publik sehingga sangat menghambat implementasi berbagai program pembangunan sosial ekonomi (Rosyadi, 2011).
Secara garis besar permasalahan manajemen kepegawaian di Indonesia adalah tidak meratanya pendistribusian pegawai, yang mana kebanyakan pegawai lebih memilih di kota dibandingkan di daerah tertinggal. Selain itu juga masih bermasalahnya proses rekruitmen pegawai, hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah pegawai yang ada di instansi pemerintahan akan tetapi tidak memberikan dampak positif bagi masarakat, khususnya pelayanan publik. Rosyadi (2011) Sampai saat ini belum ada formulasi kebijakan yang tepat untuk merekrut pegawai-pegawai yang mempunyai kualifikasi dan integritas yang tinggi. Sehingga yang terjadi di Indonesia adalah masih banyaknya pola rekrutmen tradisional dan campur tangan para pejabat, sehingga hasil yang didapatkan adalah calon-calon pegawai yang kurang berkualitas dan mempunyai mental korup. Selain itu, dengan adanya desentralisasi rekruitmen ternyata belum menghasilkan pegawai yang mempunyai kuantitas dan kualitas tinggi, akan tetapi yang terjadi adalah banyaknya lonjakan pegawai yang tidak diimbangi dengan financial yang baik. Hal inilah yang menjadikan pegawai tidak bersikap professional, karena kebanyakan pegawai direkrut dengan cara bersifat politis. Feisal Tamin (Wawancara di Metro TV, 29 Juni 2011) dalam Zulchaidir mengatakan bahwa rekruitmen Pegawai Negeri Sipil berdasarkan politis tidak berdasarkan kompetensi menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas pelayanan publik.
Fenomena seleksi/rekruitmen pegawai secara politis ini tidak terjadi pada awal pengadaan pegawai saja, akan tetapi yang paling penting adalah seleksi promosi pada jabatan structural. Dimana promosi jabatan structural ini ditentukan oleh Baperjakat melalui kesepakatan pimpinan daerah. Promosi jabatan structural memang sangat strategis dimana pengaruh pimpinan daerah menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan pejabat structural. Rakhmawanto (2010) selama ini banyak dijumpai seleksi pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural baik pada instansi pemerintah pusat maupun instansi pemerintah daerah, dilaksanakan secara tidak jelas. Sehingga menghasilkan pejabat yang kurang professional, mempunyai kualitas yang rendah, pendidikan yang tidak sesuai, kurang berpengalaman dibidangnya, dan tidak mempunyai kompetensi yang sesuai dibidangnya. Masih banyaknya seleksi pegawai yang tidak efektif, hal ini  disebabkan oleh beberapa faktor lain, seperti faktor politis, otonomi daerah, ras, bahkan almamater, dan lain sebagainya.
Pemilihan dan penetapan seorang Pegawai Negeri Sipil untuk mengemban tugas sebagai pimpinan unit, bidang maupun Satker (Satuan Kerja) pada saat ini sudah dilakukan oleh Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan) sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah No.13/2002 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Zulchaidir, 2011). Pengangkatan seseorang menjadi pejabat structural diatur dalam Permendagri nomor 100 tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Pejabat Struktural yang lebih diperjelas dalam Peraturan Kepala BKN No. 46/2003 tentang Pedoman Kompetensi Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Jabatan structural merupakan jabatan yang penting untuk diperhatikan, karena semua kebijakan yang dibuat oleh dinas berada di tangan pejabat structural.
Seleksi pejabat structural ini memang sangat sensasional karena menyangkut banyak kebijakan yang akan diterapkan kepada masyarakat. Fenomena lain diungkapkan oleh salah seorang narasumber pada acara uji public tentang Rancangan Undang-undang Kepegawaian Republik Indonesia bahwa fungsi dan peran Baperjakat di daerah belum optimal, karena belum bisa berbuat banyak dalam menentukan seseorang untuk menduduki jabatan tertentu sesuai kapabilitas yang dimilikinya (right men on the rigt place) hal ini disebabkan masih besarnya pertimbangan lain (politis) dalam rekrutmen pimpinan birokrasi di daerah (PKP2A II LAN Makassar, 1 Maret 2011) dalam Zulchaidir. Dengan demikian, proses seleksi pejabat struktural tidak sekedar “tambal sulam” tetapi lebih dari itu yaitu menjaring para calon pejabat yang dapat meningkatkan reputasi lembaga pemerintah, serta pejabat yang sesuai dengan kompentensi bidangnya dan mempunyai kualitas dan kuantitas yang jelas.


METODE PENELITIAN
Menurut Soehartono (2011:2) penelitian merupakan, “Upaya untuk menambah dan memperluas pengetahuan, yang selain untuk menghasilkan pengetahuan yang baru sama sekali yaitu yang sebelumnya belum ada atau belum dikenal, juga termasuk pengumpulan keterangan baru yang bersifat memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau bahkan juga yang menyangkal teori-teori yang sudah ada.” Metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode kualitatif dimana penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan atau prosedur lain dalam penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif  berupa ucapan atau tulisan dan sebagainya yang mendukung proses penelitian. Tujuan penelitian biasanya menjadi alasan dari pelaksanaan penelitian.
KERANGKA TEORI
Kebijakan
Konsepsi mengenai kebijakan publik sangat berkaitan erat dengan konsepsi mengenai perencanaan publik. Keduanya sangat sulit dipisahkan karena masing-masing konsep pada kenyataannya seringkali dipertukarkan satu sama lain. Apa yang disebut formulasi (perumusan) kebijakan dan apa yang disebut perencanaan kebijakan sangat sulit dibedakan. Bahkan dikalangan perencana dan pembuat kebijakan, kedua konsepsi tersebut kerap dianggap sebagai sesuatu hal yan sama (Suharto,2012:64). Secara teoritik dan dalam hal tertentu, perumusan kebijakan dan perencanaan dapat saja dilaksanakan dalam waktu yang berbeda dan/atau oleh orang yang berbeda pula. Untuk melihat bahwa kebijakan publik dan perencanaan publik dibuat secara terpisah dan dalam waktu yang berbeda, terdapat dua pendekatan.
Menurut Conyers dalam Suharto, (2012) pendekatan pertama melihat perencanaan publik sebagai suatu proses kegiatan dalam perumusan kebijakan publik. Secara sederhana, kita dapat menyatakan bahwa perumusan kebijakan adalah membuat keputusan tentang jenis perubahan atau perkembangan yang diinginkan. Sedangkan perencanaan adalah suatu proses penentuan tentang bagaimana mewujudkan perubahan atau perkembangan yang paling baik. Pendekatan kedua melihat sebaliknya, dimana kebijakan publik merupakan bagian dari perencanaan publik. Kebijakan publik dilihat sebagai produk yang akan dihasilkan oleh atau setelah perencanaan public.
Jadi, dari kedua pendekatan diatas penulis juga menggunakan teori analisis kebijakan publik dalam menganalisis perencanaan pembangunan. Lokus ini menempatkan pemahaman terhadap kebijakan dari sisi perumusan baik itu dalam konteks sistem, proses maupun dari sisi analisa. Pada tahapan inilah akan dapat diungkapkan, bagaimana kebijakan itu dirumuskan dalam konteks mikro, dan dalam konteks yang makro serta bagaimana analisa yang digunakan dalam rangka perumuusan kebijakan (Ali dan Alam, 2012:21). Namun yang menjadi hal yang sangat substantif baik itu yang menyangkut hal yang dirumuskan maupun itu yang menjadi komitmen untuk dilaksanakan dan sekaligus untuk dilakukan evaluasi, adalah isi kebijakan.
Rekruitmen
Rekruitmen sebagai proses pengumpulan calon pegawai yang sesuai dengan rencana sumber daya manusia, demi menduduki jabatan tertentu. Rekrutmen pegawai ini sangatlah penting untuk regenerasi pegawai demi berjalannya roda organisasi. Rekrutmen pegawai ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 100/2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 13/2002. Meskipun system rekrutmen telah diatur dalam peraturan pemerintah sebagai upaya untuk menjaring Pegawai Negeri Sipil yang kompeten, namun dalam implementasinya belum memenuhi kebutuhan yang dapat menunjang keberhasilan kinerja dan profesionalitas PNS. Kondisi PNS demikian ini antara lain disebabkan oleh perencanaan kepegawaian saat ini belum didasarkan pada kebutuhan nyata sesuai kebutuhan organisasi.
Simamora (1997) mengartikan rekruitmen sebagai serangkaian aktivitas mencari dan memikat pelamar kerja dengan motivasi, kemampuan, keahlian, dan pengetahuan yang diperlukan guna menutupi kekurangan yang diidentifikasi dalam perencanaan kepegawaian. Sedangkan Schermerhorn dalam Zulchaidir (2011) mengartikan rekrutmen sebagai proses penarikan sekelompok kandidat untuk mengisi posisi yang lowong. Perekrutan yang efektif akan membawa peluang pekerjaan kepada perhatian dari orang-orang yang berkemampuan dan keterampilannya memenuhi spesifikasi pekerjaan.
Aparatur Sipil Negara
Pada saat ini pemerintah Indonesia telah merubah nama abdi Negara, dimana yang pada era tahun 90-an sampai dengan 2000-an dikenal dengan Pegawai Negeri Sipil, maka pada tahun 2014 namanya resmi berganti menjadi aparatur sipil Negara. Maka dari itu, pengertian Pegawai Negeri Sipil yang akan dijelaskan di bawah ini sebenarnya sama juga maknanya dengan aparatur sipil Negara. Maka pengertian dari Pegawai Negeri Sipil menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “Pegawai berarti orang yang bekerja pada pemerintah (perushaan dan sebagainya), sedangkan “Negara berarti Negara atau pemerintah, jadi Pegawai Negeri Sipil adalah orang yang mengabdi pada pemerintah dan Negara. Pegawai Negeri Sipil tidak lain adalah abdi Negara yang melayani masyarakat.
Sedangkan pengertian pegawai negeri menurut UU No 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagai berikut:“Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sedangkan aparatur sipil Negara menutur UU No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai berikut: “Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah Pegawai Negeri Sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
PEMBAHASAN
Isu rekrutmen pegawai di Indonesia mulai menjadi isu yang sangat penting. Dimana kita ketahui pola rekrutmen yang ada di Indonesia tidak berpedoman kepada analisis kebutuhan. Belum adanya perencanan kebutuhan pegawai yang matang, dimana kebutuhan rekrutmen pegawai hanya bersifat incremental. Maka dengan demikian rekrutmen pegawai dari tahun ke tahun tidak dapat dikendalikan. Sehingga proses rekrutmen pegawai yang kurang terencana ini hanya dapat menghasilkan pegawai yang kurang memenuhi standar kualifikasi minimal. Dan  pada akhirnya yang terjadi adalah banyaknya jumlah Pegawai Negeri Sipil yang ada di Indonesia. Akan tetapi dengan banyaknya jumlah pegawai semakin menimbulkan banyak masalah pada pelayanan public dan kinerja pegawai yang semakin jelak. Oleh karena itu, isu good governance dan clean governance merupakan isu penting dalam pengelolaan administrasi publik dan juga kepegawaian. Tuntutan reformasi di segala bidang merupakan sebuah keharusan. Reformasi tidak hanya dalam berbagai aspek kebijakan baik ekonomi maupun politik, namun, reformasi birokrasi juga meliputi proses rekrutmen Pegawai Negeri Sipil dan pengangkatan pejabat publik baik nasional maupun daerah.
Rekrutmen merupakan hal yang sangat penting untuk mendapatkan pegawai yag mempunyai integritas tinggi. Oleh karena itu proses rekrutmen yang sesuai prosedur dan dilakukan secara transparan, terbebas dan KKN akan menciptakan Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai dedikasi tinggi. Dengan system transparansi pada rekrutmen pegawai akan mendorong Pegawai Negeri Sipil untuk meningkatkan kinerjanya. Akan tetapi yang terjadi di Indonesia adalah proses rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil maupun rekrutmen pejabat eselon II belum memenuhi transparansi. Sehingga masih sangat mungkin untuk terjadinya KKN dan tidak menghasilkan Pegawai Negeri Sipil serta pejabat tinggi yang tidak mempunyai kompetensi. Berdasarkan hasil penelitian Kusharwanti dalam Setyowati (2010) dia menyatakan bahwa proses penerimaan dan seleksi Pegawai Negeri Sipil di Indonesia dinilai masih sangat buruk dan banyak menimbulkan kerawanan terjadinya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Proses pendaftaran yang rumit dan seleksi yang konvensional menunjukkan bahwa sejak dini Calon Pegawai Negeri Sipil telah dikondisikan dalam sebuah situasi kerja yang sangat birokratis serta tidak berbasis pada keahlian atau kompetensi secara menyeluruh. Oleh karena itu, perlu adanya pola rekrutmen dan seleksi yang bebas dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Menurut Yuliani dalam Sulistiyani (2011:156) menyatakan bahwa dalam proses rekrtumen dan proses seleksi perlu adanya kebijakan yang mengatur standar seleksi yang digunakan untuk menyelesaikan para calon yang akan diterima dalam lingkungan birokrasi. Karena selama ini proses rekrutmen dan proses seleksi sudah mendapatkan citra yang butuk di tengah kalangan masyarakat. Citra negative tersebut akan hilang apabila birokrasi sendiri mampu melakukan proses yang standar dengan cara yang fair. Proses rekrutmen yang baik dan jauh dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme merupakan sebuah idaman bagi semua kalangan masyarakat. Dengan system yang fair maka akan tercipta pegawai yang mempunyai kualitas dan kuantitas tinggi, sehingga bisa menciptakan pelayanan public yang  baik dan sesuai dengan keinginan masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya transparansi dalam pelaksanaan proses rekrutmen Pegawai Negeri Sipil. Transparansi dalam pola rekruitmen Pegawai Negeri Sipil bermanfaat untuk memberi-kan informasi akurat, cepat, dan lengkap kepada masyarakat. Oleh karena itu informasi disampaikan sebagai perwujudan trasparansi pemerintah dalam proses rekrutmen Pegawai Negeri Sipil seharusnya tidak setengah hati. Selain itu juga perlu adanya inovasi baru untuk rekrutmen pegawai eselon II maupun Calon Pegawai Negeri Sipil, sehingga terciptanya pegawai yang mempunyai integritas yang tinggi.
Fit and proper test tentu saja bukan merupakan hal baru dalam proses rekrutmen. Pemilihan Pejabat Negara atau Kepala Lembaga Tinggi Negara juga sering dilakukan melalui fit and proper test. Menurut Nasir (2010) akhir-akhir ini, pemilihan para menteri yang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu II juga dilakukan melalui sebuah proses fit and proper test. Namun untuk kasus kepala dinas propinsi, ini merupakan sebuah terobosan. Hal ini sangatlah menarik untuk dikaji, dimana belum banyak dan hamper belum ada daerah-daerah yang memilih pejabat eselon II dengan sistem fit and proper test. Maka dari itu, system ini merupakan system yang sangat bagus, disamping menciptakan pegawai yang mempunyai integritas tinggi maka transparansi dalam proses rekturmen pegawai juga bisa dilaksanakan. Dengan adanya system fit and proper test ini diharapkan dapat menciptakan pegawai-pegawai yang mempunyai kualitasa dan kuantitas, sehingga bisa tercipta pegawai yang professional dan mempunyai integritas tinggi.
Pelaksanaan proses rekrutmen melalui fit and proper test dilatarbelakangi oleh kebutuhan pejabat Eselon II yang bersih, kompeten, dan juga profesional di bidangnya. Dari sisi manajemen kepegawaian, rekrutmen melalui fit and proper test menjadi upaya untuk membangun kinerja pagawai negeri sipil yang profesional. Dengan menempatkan pegawai pada posisi yang tepat dengan cara-cara yang fair, berarti pemerintah telah menunjang pembinaan karir pegawai bersangkutan. Pelaksanaan fit and proper test sebagai bagian dari proses reformasi birokrasi terutama dalam rekrutmen telah melahirkan pejabat publik yang memiliki kompetensi dan berkualitas. Kondisi ini akan membantu pemerintah dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas pembangunan dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Pelaksanaan fit and proper test juga merupakan upaya untuk menghapus korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam birokrasi pemerintahan.
Contoh daerah yang sudah melakukan reformasi birokrasi pada bidang kepegawaian adalah Provinsi Aceh. Provinsi Aceh merupakan provinsi yang menggunakan system seleksi terbuka untuk pejabat eselon II atau sering dikenal dengan meryt system.  Berdasarkan hasil penelitian Nasir (2010) menunjukkan bahwa reformasi kepegawaian iini memang sangat penting untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pegawai. Dengan adanya reformasi pada bidang kepegawaian maka harapannya adalah akan terjadi perubahan dan arah kebijakan kepegawaian menjadi lebih jelas sehingga menghasilkan pegawai yang professional dan berkualitas. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh melaksanakan reformasi dibidang rekrutmen Pegawai Negeri Sipil terutama pada rekrutmen pejabat eselon II.
Pelaksanaan rekrutmen pejabat eselon II di Aceh menggunakan system fit and proper test. Dimana pelaksanaan test ini mengacu pada pendekatan assessment centre yang banyak digunakan dalam mengembangkan kompetensi pegawai. Pelaksanaan system fit and proper test ini sebagai bagian dari reformasi birokrasi dibidang rekrutmen, dengan adanya system ini maka akan dilahirkan pejabat public yang memiliki kualitas dan kompetensi. Sehingga secara tidak langsung akan membantu pemerintah untuk melaksanakan pembangunan dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Selain itu juga dengan adanya system fit and proper test ini maka akan melahirkan pejabat public yang jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Setelah melakukan penjaringan melalui fit and proper test maka akan diadakan evaluasi kinerja setelah satu tahun. Evaluasi ini dilakukan dengan melibatkan pihak akademisi dan pihak-pihak yang bersangkutan. Evaluasi ini diharapkan meningkatkan kompetensi dan quality control bagi pejabat yang telah terpilih. Dan hasil evaluasipun ditindak lanjuti dengan mengadakan pelatihan bagi pejabat eselon II dengan materi yang sesuai kebutuhan. Dengan adanya reformasi birokrasi ini diharapkan bisa meningkatkan kemajuan pembangunan daerah dalam kerangka kemajuan pembangunan nasional, serta menjadi sebuah learning process bagi daerah lain di Indonesia.
Reformasi birokrasi yang dijalankan oleh Pemerintah Provinsi Aceh merupakan sebuah paket komprehensif yang meliputi fit and proper test, evaluasi kinerja pejabat Eselon II, dan pelatihan kepada Pejabat Eselon II. Dengan adanya reformasi birokrasi ini diharapkan bisa meningkatkan kemajuan pembangunan daerah dalam kerangka kemajuan pembangunan nasional. Di samping itu, proses reformasi birokrasi tersebut diharapkan bisa menjadi sebuah learning process bagi daerah lain di Indonesia dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
PENUTUP
Rekrutmen merupakan suatu aktivitas awal dari sebuah siklus panjang dari pengembangan sumber daya manusia yang mengikuti urutan seperti pengembangan, pengalokasian pegawai, penetapan imbal jasa, penilaian prestasi sampai dengan penyiapan untuk memasuki purna bhakti yang siap menghadapi kondisi bekerja di usia senja atau menghadapi purna bhakti dini. Rekrutmen merupakan hal yang sangat penting bagi sebuah birokrasi demi menjalankan roda organisasi, selain itu juga rekrutmen sebagai ajang pencarian pegawai yang mempunyai integritas tinggi sehingga bisa bekerja dengan professional. Akan tetapi, proses rekrutmen Pegawai Negeri Sipil di Indonesia masih berjalan secara kurang transparan, kurang akuntabel, dan kurang profesional. Hal ini ditandai dengan masih adanya indikasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam penerimaan Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Rekrutmen pegawai yang tidak profesional tentunya akan menimbulkan sosok Pegawai Negeri Sipil yang kurang bermutu dan kurang berkualitas.
Belum adanya regulasi yang mengatur tentang proses rekrutmen pejabat eselon II maupun Calon Pegawai Negeri Sipil dengan siste fit and proper test. Hal inilah yang membuat system rekrutmen di Indonesia masih terlihat sangat buruk dan banyak praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Jika regulasi itu dibuat dan diterapkan untuk proses rekrutmen calon pegawai maupun pejabatan eselon II maka yang terjadi Negara ini akan mempunyai pejabatan dan pegawai yang sesuai dengan bidang dan kompentensinya. Dengan adanya regulasi yang mengatur tentang sistem rekrutmen melalui fit and proper test ini maka akan tercipta pegawai maupun pejabat eselon II yang mempunyai integritas tinggi dan sesuai dengan kapabilitas dibidangnya.

REFERENSI
Buku:
Ali, Faried, & Andi Syamsu Alam, 2012. Studi Kebijakan Pemerintah. PT. Refika Aditama, Bandung.
Simamora, Henri. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta.
Soehartono, Irawan, 2011. Metode Penelitian Sosial. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Suharto, Edi, 2012. Analisis Kebijakan Publik; Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Alfabeta, Bandung.
Sulistiyani, Ambar Teguh, (2011). Memahami Good Governance Dalam Persepektif Sumber Daya Manusia. Gava Media, Yogyakarta.
Jurnal:
Nasir, Muhammad (2010). Reformasi Sistem Rekrutmen Pejabat Dalam Birokrasi Pemerintah (Studi Kasus Rekrutmen Pejabat Eselon Ii Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS, Volume IV Nomor 1.
Rosyadi, Slamet (2011). Problem dan Seleksi Pegawai Negeri Sipil. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Volume. 5 , No 2 November.
Rakhwanto, Ajib (2010). Seleksi Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Volume IV Nomor 1 dan 2.
Setyowati, Endah (2010). Partisipasi Publik Dan Transparansi Dalam Rekrutmen Pegawai Negeri Sipil. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS, Volume IV Nomor 1.
Zulchaidir (2011). Proses Rekruitmen pimpinan Birokrasi Pemerintah Daerah di Kabupaten Sleman dan Kota Parepare.  Jurnal Studi Pemerintahan Volume 2 No 2 Agustus.
Skripsi:
Atmojo, Muhammad Eko, 2013. Peran BKD dalam Pengembangan Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.