Jumat, 14 Desember 2012

NASIB DAERAH PERBATASAN DI INDONESIA



Negara Republik Indonesia adalah sebuah Negara yang terletak di Benua Asia, dan tepatnya berada di Asia Tenggara. Indonesia adalah salah satu Negara yang mempunyai banyak suku yang berbeda-beda, dan mempunyai banyak keindahan alam yang bagus. Dimana Indonesia sebenarnya adalah Negara yang memiliki banyak pulau serta Negara yang bermajemuk. Dengan banyaknya pulau maka Negara ini mempunyai banyak perbatasan dengan Negara lain baik laut maupun darat. Oleh karena itu pertahanan dan keamanan di Indonesia sangatlah rentan serta harus ditingkatkan. Kalau kita lihat pada saat ini banyak sengkali pekerjaan pemerintah pusat terhadap perbatasan yang ada di negeri ini. Masyarakat yang berada digaris luar perbatasan Indonesia sangatlah membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah pusat maupun daerah, dimana belum tercukupinya infrastruktur dan masih banyaknya kekurangan-kekurangan yang harus dilengkapi.
Oleh karena itu pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri dengan mewujudkan otonomi daerah, akan tetapi otonomi daerah di negeri ini masih dinilai belum efektif, karena masih banyak sekali daerah-daerah yang tertinggal baik dari infrastruktur dan lain sebagainya. Kalau kita cermati dengan saksama sebenarnya Indonesia adalah bangsa yang besar, akan tetapi tidak adanya tanggung jawab pemerintah terhadap perkembangan daerah maupun kesejahteraan masyarakatnya maka bangsa ini menjadi kerdil. Akan tetapi daerah perbatasan di Negara tetangga sangatlah diperhatikan oleh pemerintah pusat, sedangkan Indonesia tidak ada perhatinannya. Perbandingannya sangatlah jauh antara Negara tetangga dengan Indonesia dimana daerah perbatasan di Indonesia masih banyak sekali masyarakatnya yang belum makmur.
Masalah perbatasan sebenarnya masalah yang sangat rentan di setiap Negara. Indonesia mempunyai beberapa perbatasan dengan Negara lain diantaranya dengan Negara Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini, Singapura, Filipina. Provinsi atau daerah yang langsung berbatasan dengan Negara-negara tetangga sangatlah minim perhatian. Akan tetapi pada saat ini banyak sekali media yang menyoroti daerah perbatasan Indonesia dengan Malaysia tepatnya di Kalimantan. Karena daerah ini adalah salah satu perbatasan yang sangat rentan, disamping itu Indonesia sudah beberapa kali mempunyai konflik dengan Malaysia diantaranya sengketa wilayah Ambalat yang dimenangkan oleh Malaysia. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan media Indonesia menyoroti daerah perbatasan yang berada di Kalimantan, dengan tujuan pemerintah pusat bisa lebih focus dan memperhatikan daerah perbatasan baik di Kalimantan maupun daerah perbatasan lainnya. Pada saat ini banyak sekali masyarakat perbatasan yang berada di pulau Kalimantan yang menggantungkan hidupnya dengan Negara tetangga, karena akses jalan ke Negara sendiri lebih jauh dan sangatlah kurang mewadai, sedangkan akses untuk kenegara tetangga sangatlah dekat dan mudah.
            Selain akses yang mudah ke Negara tetangga masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan juga menggunakan dua mata uang dimana mata uang Rupiah dan mata uang Malaysia juga diakui untuk menggerakkan ekonomi mereka.  Hal ini seharusnya diperhatikan lebih oleh pemerintah pusat karena tidak menutup kemungkinan masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan bisa berpindah kewarganegaraan.

Selasa, 23 Oktober 2012

ANALISA KEKUATAN PARTAI GOLKAR BERDASARKAN PERAN DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA

Partai politik adalah salah satu komponen yang penting di dalam dinamika perpolitikan sebuah bangsa. Partai politik dipandang sebagai salah satu cara seseorang atau sekelompok individu untuk meraih kekuasaan, argumen seperti ini sudah biasa kita dengar di berbagai media massa ataupun seminar-seminar yang kita ikuti khususnya yang membahas tentang partai politik. Dalam tema kali ini saya ingin menganalisa fenomena partai politik dalam kancah perpolitikan nasional antara yang seharusnya terjadi dan yang senyatanya terjadi. Di Indonesia partai politik menjadi alat untuk menjembatani para elit politik untuk mencapai kekuasaan politik dalam negara. Biasanya partai politik ini adalah organisasi yang mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.
Di era reformasi dimana keran kebebasan kembali dibuka setelah lama dipasung ketika masa Orde Baru berlangsung membuat banyak partai politik menjadi meningkat dalam hal jumlah. Diakui atau tidak dalam era sekarang ini sistem yang menganut jumlah partai yang banyak (multipartai) membuat kinerja negara yang menganut sistem presidensil menjadi tidak efektif. Hal itu, terbukti dalam pemerintahan yang terbentuk di masa reformasi, mulai dari pemerintahan BJ. Habibie, pemerintahan Abdurrahman Wahid, dan pemerintahan Megawati sampai ke pemerintahan SBY jiilid 1 maupu jilid 2 dewasa ini. Keperluan mengakomodasikan kepentingan banyak partai politik untuk menjamin dukungan mayoritas di parlemen sangat menyulitkan efektifitas pemerintahan, termasuk pemerintahan SBY-Boediono yang ada sekarang.
Partai baru banyak bermunculan dengan wajah-wajah lama dari era perpolitikan terdahulu atau bahkan merupakan sosok yang “dibuang” dari partai sebelumnya. Dalam hal ini saya mencontohkah Partai Hanura dan Gerindra, dimana partai ini juga termasuk partai baru yang cukup sukses didalam pemilu tahun 2009. Partai politik yang tergolong baru juga tergolong mempunyai kans yang kuat untuk meraih massa dengan pandangan baru yang mengatasnamakan kekecewaan publik terhadap kinerja parta politik yang ada saat ini, karena memang sulit dibantah keadaan partai politik yang ada saat ini semakin membuat publik kurang percaya dengan kredibilitas partai yang ada mengingat banyaknya kasus yang membelit satu per satu partai yang ada saat ini.
Menurut Mac Iver, partai politik adalah suatu perkumpulan terorganisasi untuk menyokong suatu prinsip atau kebijaksanaan, yang oleh perkumpulan itu diusahakan dengan cara-cara yang sesuai dengan konstitusi atau UUD agar menjadi penentu cara melakukan pemerintahan. Perkumpulan-perkumpulan itu diadakan karena adanya kepentingan bersama. Oleh karena itu, seringkali suatu perkumpulan atau ikatan diadakan untuk memenuhi atau mengurus kepentingan bersama dalam masyarakat. Selain mempunyai kepentingan bersama, suatu perkumpulan khususnya partai politik, akan muncul karena anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.
Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo, meliputi sarana: (i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) sarana rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict management). Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns); (iii) sarana rekruitmen politik; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.[1]
Semenjak lumpuhnya demokrasi berdasarkan kepada partai politik dan munculnya suekarno dengan system Politik Demokrasi Terpimpin, pandangan masyarakat terhadap partai menjadi kurang baik. Disamping peranan partai yang sudah merosot tumbuhlah pula anggapan bahwa partai adalah penyebab ketidak stabilan politik.[2] Lalu dengan melihat bahwa masyarakat tersusun atas berbagai kelompok kepentingan yang merupakan kumpulan orang-orang berada di dalam lingkungan lapangan hidup yang sama maka dibentuklah Golongan Karya untuk mengumpulkan dan menyimpulkan keseluruhan kepentingan-kepentingan tersebut. Dengan demikian maka berbagai kepentingan yang hidup dan tumbuh di dalam masyarakt Indonesia disalurkan dan diwakili melalui suatu lembaga yang terorganisir dari pusat system politik yaitu Golongan karya.
Kekuatan mesin politik Partai Golkar patut diperhitungkan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Melalui mekanisme organisasi yang dimiliki, partai berlambang pohon beringin di Indonesia siap memaksimalkan kekuatan yang dimiliki mencapai target politiknya. Partai Golkar di inodenesia merupakan sebuah partai yang besar dan tidak kita ragukan juga bahwa partai berlambang pohon bringin tersebut sudah mengenyam kekuasaan di Indonesia sangat lama. Sementara itu, dari perspektif baru partai politik dilihat sebagai sebuah sistem yang berhubungan dengan masyarakat, pemerintah dan organisasi partai politik itu sendiri. Pada saat Partai Golkar mendukungan kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM, maka pada saat itu partai Golkar dapat dilihat sebagai bagian pemerintahan SBY yang berfungsi mengkomunikasikan gagasan kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Namun, sikap ini berubah pada saat Sekjen Partai Golkar, Idrus Marcham memutuskan untuk menolak rencana kebijakan peme¬rintah. Keputusan yang dibuat dalam rapar internal organisasi tersebut dapat dilihat sebagai keputusan Partai Golkar sebagai sebuah organisasi.
Partai berlambang pohon beringin ini mempunyai masa kejayaan pada masa orde baru di mana partai ni berkuasa sangat lama sekali. Oleh karena itu sejarah partai golkar dalam system politik Indonesia sangatlah bagus karena sudah banyak berkuasa di negeri ini baik di pusat maupun di daerah kader-kader partai Golkar berkuasa dan memperjuangkan hak aspirasi masyarakat. Faktor yang sangat berpengaruh dalam partai Golkar di perpolitikan Indonesia adalah munculnya Partai Golkar sebagai partai pemerintah yang secara tegas mendasarkan dukungannya kepada pegawai negeri. Sejalan dengan usaha Golkar untuk menghimpun pegawai negeri, keputusan Mendagri untuk melarang pegawai negeri di dalam partai politik banyak sekali mempengaruhi kemerosotan pendukung partai politik.[3]


[1] Loker Info Politik dan Organisasi « gogoBengkulu.htm
[2] Sanit, Arbi. Sistem Politik Indonesia, CV Rajawali Pers, 1982. Hlm 28.
[3] Sanit, Arbi. Sistem Politik Indonesia, CV Rajawali Pers, 1982. Hlm 61.

Kamis, 07 Juni 2012

TRAGEDI 6 TAHUN LUMPUR LAPINDO


Pada tanggal 29 Mei 2012 sudah genap enam tahun lamanya bencana alam yang terjadi di Sidoarjo Jatim, di mana bencana ini lebih dikenal dengan sebutan lumpur lapindo. Bencana alam ini sungguh sangat dahsyat karena sudah 6 tahun lamanya belum juga bisa ditangani, bencana alam yang menelan biaya kurang lebih 8,6 triliun dari anggaran APBN in belum kunjung selesai. Padahal kalu kita lihat biaya yang seharusnya bisa digunakan untuk keperluan lain seperti mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, menambah fasilitas pendidikan, serta memperbaiki infrastruktur supaya lebih baik. Biaya yang banyak ini sampai sekarang belum bisa menghentikan bencana tersebut serta belum bisa mengobati rasa sakit masyarakat Sidoarjo .
Berbagai macam skema penyelesaian pembayaran jual beli antara korban lumpur dengan Minarak Lapindo Jaya (MLJ) selaku juru bayar ganti rugi Lapindo Brantas Inc. tinggal menunggu penyelesaian, namun tanggungan penyelesaian ganti rugi MLJ terhadap ribuan korban lumpur masih belum jelas. Untuk melunasi jual beli antara ko rban lumpur dengan MLJ masih dibutuhkan dana sekitar Rp1,1 Triliun lagi agar terbebas dari segala bentuk tuntutan korban lumpur yang kini melakukan aksi di tanggul titik 25. Dari kekurangan dana yang ada pihak MLJ hanya mampu menyediakan dana untuk pembayaran kepada korban lumpur senilai Rp400 miliar. Tentu, angka Rp400 miliar tersebut dirasakan masih jauh dari nilai kekurangan pembayaran kepada korban lumpur yang telah menanti selama enam tahunan.
Padahal kalau kita lihat sudah banyak sekali aksi yang dilakukan oleh masyarakat yang terkena korban, akan tetapi para petinggi pihak MLJ pun tidak memperhatikan dengan baik akan kasus ini. Memang benar, warga sudah jenuh dengan berbagai macam janji yang telah diberikan oleh Lapindo atau juga MLJ selaku juru bayar. Yang paling dibutuhkan oleh warga masyarakat saat ini adalah realitas pelunasan tersebut yang ditunggu warga supaya bisa terbebas dari bayang-bayang Lapindo. Akibatnya, sudah lebih dari satu bulan ini, warga harus rela bergantian "berjaga" di titik 25 untuk menagih janji pelunasan kepada warga tersebut.
Kalau kita lihat sungguh sangat ironis negeri dan para petinggi-petingginya dimana banyak masyarakat yang tersiksa dengan penderitaan yang tak kunjung usai. Kalau kita lihat para pejabat negeri ini lebih mementingkan hidupnya sendiri dari pada mementingkan masyarakatnya, dimana masyarakat yang seharusnya dilindungi dan diayomi kini malah dijajah dengan kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan oleh para politisi yang tidak bertanggung jawab. Kasus lumpur lapindo bukanlah kasus baru yang seharusnya ditangani dengan serius, tetapi pada kenyataannya kasus ini malah dikesampingkan oleh pemerintah negeri ini. Di mana pemerintah indonesia melalui Kementerian Pekerjaan Umum akan menghentikan sumbangan dana pada para korban lumpur lapindo pada tahun 2014. Pemerintah mengatakan pembiayaan pada tahun depan masih diberikan kepada para korban akan tetapi hanya sampai tahun 2013 dan pada tahun 2014 pemerintah akan lepas tangan dari kasus ini. Ini membuktikan bahwa kepentingan masyarakat telah dikesampingkan, dan pemerintah hanya mengurusi kepentingan-kepentingan yang menguntungkan dirinya sendiri.
Kasus bencana lumpur lapindo tidak lepas dari kepentingan pemerintah yang mengutamakan kepentingan para pengusaha dan tidak ada keseimbangan dengan kepentingan masyarakat Indonesia. Memang Indonesia adalah Negara yang mempunyai kekayaan alam yang banyak baik dari minyak, gas, batu bara dan lain-lain. Akan tetapi kekayaan yang banyak tersebut hampir tidak pernah dirasakan oleh para masyarakat Indonesia di mana para penguasa negeri inilah yang menikmati kekayaan tersebut. Contohnya kasus lumpur lapindo dan masih banyak sekali kasus-kasus yang lain. Bencana lumpur lapindo yang menyisakan kisah tangis masyarakat Porong, Sidoarjo ini sungguh ironis, dimana masyarakat yang dulunya hidup dengan kedamaian, ketentraman dan berkehidupan yang cukup pada saat ini mereka hanya bisa berdoa dan merenungi nasib mereka yang berubah drastis menyedihkan.
Pemerintah dianggap tidak serius menangani kasus luapan lumpur panas ini. Masyarakat adalah korban yang paling dirugikan, di mana mereka harus mengungsi dan kehilangan mata pencaharian tanpa adanya kompensasi yang layak. Pemerintah hanya membebankan kepada Lapindo pembelian lahan bersertifikat dengan harga berlipat-lipat dari harga NJOP yang rata-rata harga tanah dibawah Rp. 100 ribu- dibeli oleh Lapindo sebesar Rp 1 juta dan bangunan Rp 1,5 juta masing-masing permeter persegi. untuk 4 desa (Kedung Bendo, Renokenongo, Siring, dan jatirejo) sementara desa-desa lainnya ditanggung APBN, juga penanganan infrastruktur yang rusak.Hal ini dianggap wajar karena banyak media hanya menuliskan data yang tidak akurat tentang penyebab semburan lumpur ini.

Salah satu pihak yang paling mengecam penanganan bencana lumpur Lapindo adalah aktivis lingkungan hidup. Selain mengecam lambatnya pemerintah dalam menangani lumpur, mereka juga menganggap aneka solusi yang ditawarkan pemerintah dalam menangani lumpur akan melahirkan masalah baru, salah satunya adalah soal wacana bahwa lumpur akan dibuang ke laut karena tindakan tersebut justru berpotensi merusak lingkungan sekitar muara.
PT Lapindo Brantas Inc sendiri lebih sering mengingkari perjanjian-perjanjian yang telah disepakati bersama dengan korban.Menurut sebagian media, padahal kenyataannya dari 12.883 buah dokumen Mei 2009 hanya tinggal 400 buah dokumen yang belum dibayarkan karena status tanah yang belum jelas. Namun para warga korban banyak yang menerangkan kepada Komnas HAM dalam penyelidikannya bahwa para korban sudah diminta menandatangani kuitansi lunas oleh Minarak Lapindo Jaya, padahal pembayarannya diangsur belum lunas hingga sekarang. Dalam keterangannya kepada DPRD Sidoarjo pada Oktober 2010 ini Andi Darusalam Tabusala mengakui bahwa dari sekitar 13.000 berkas baru sekitar 8.000 berkas yang diselesaikan kebanyakan dari korban yang berasal dari Perumtas Tanggulangin Sidoarjo. Hal ini menunjukkan bahwa banyak keterangan dan penjelasan yang masih simpang siur dan tidak jelas
“Wahai para penguasa janganlah kamu lupa pada masamu yang dulu dan janganlah kamu sombong dengan keadaanmu yang sekarang, bukalah mata kalian dan hati nurani kalian sehingga kalian bisa merasakan apa yang mereka rasakan”.

Daftar Pustaka:
indymedia.org



Senin, 26 Maret 2012

UJIAN NASIONAL SEBAGAI AJANG PEMBODOHAN NASIONAL


 Ujian Nasional adalah nama yang tidak asing lagi bagi masyarakt, guru, dan para pelajar di negeri ini. Ujian Nasional pada saat ini masih digunakan oleh pemerintah untuk mengukur kemampuan para pelajar atau yang sering disebut dengan nama evaluasi bagi pelajar. Akan tetapi ujian nasional yang seharusnya menjadi evaluasi bagi pelajar di negeri ini malah sebaliknya. Ujian nasional yang selama ini dijadikan sebagai patokan atau target untuk pendidikan kita malah menjadi momok menakutkan yang seharusnya tidak terjadi. sejak digulirkannya kebijakan tetang Ujian Nasional, tampak jelas begitu banyak permasalahan dan kontroversi yang ditimbulkan. Kebijakan Ujian Nasional pun terus menuai kritik dari para pakar dan praktisi pendidikan serta berbagai kalangan masyarakat. bahkan Mahkamah Agung pada saat itu telah menolak kasasi yang diajukan pemerintah dan menyatakan bahwa pemerintah telah lalai dalam memberikan pemenuhan hak asasi manusia, khususnya hak pendidikan dan hak-hak yang menjadi korban Ujian Nasional. Pemerintah juga dinilai lalai meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana, sekaligus akses informasi yang lengkap di daerah sebelum pelaksanaan Unjian Nasional.

Meskipun logika pedagogik dan logika hukum menyatakan bahwa Ujian Nasional tidak tepat untuk dijadikan syarat kelulusan, namun Ujian Nasional tetap dilaksanakan Kementrian Pendidikan dab Budaya RI. Selama ini Ujian Nasional adalah bukti riil pembodohan secara Nasional, dimana seluruh pelajar Indonesia mengerjakan soal yang sama dan nilai tingkat kelulusan yang sama juga. Dari sini kita bisa melihat bahwa selama Ujian Nasional dilaksanakan dari tahun 2003 sampai sekarang banyak kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam dunia pendidikan baik itu guru membantu murid dalam mengerjakan soal, calo kunci jawaban yang selama ini beredar, nah dari bukti ini kita bisa melihat bahwa murid yang seharusnya belajar dalam menghadapi sebuah evaluasi belajar pada saat ini justru kebalikannya. Para pelajar Indonesia lebih santai dalam menghadapi Ujian Nasional karena sudah ada yang membantu mereka dalam mengerjakan soal ujian. hal ini tentunya harus menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan Ujian Nasional secara komprehensif. Jangan sampai Ujian Nasional hanya menjadi momok menakutkan bagi para pelajar di setiap tahunnya.

Melihat banyaknya permasalahan serta carut-marut pelaksanaan Ujian Nasional dapat ditegaskan bahwa dampak dari Ujian Nasional lebih banyak madharatnya dari pada tujuannya. Selama ini banyak sekali peserta didik yang frustasi karena merasa tertekan dan cemas yang berlebihan akan ketidak lulusan mereka dalam menghadapi Ujian Nasional. Ini menunjukkan bahwa Ujian Nasional tidak sesuai dengan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan dan telah mengesampingkan aspek pedagogik dalam pendidikan. Ujian Nasional telam membuat peserta didik banyak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan cita-cita mereka dalam proses pembelajaran. Ujian nasional juga telah mengaburkan tujuan pendidikan nasional yang ingin dicapai seperti tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003.

Kalau dilihat dari UU tersebut ujian nasional telah melanggar dari tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Pendidikan seolah-olah berubah menjadi mesin produksi yang mencetak nilai dan ijazah. Sedangkan nilai-nilai abstrak yang mulia dalam pendidikan justru diabaikan. Pada akhirnya visi dan misi pendidikan pun dikerdilkan hanya berorientasi insidental dan jangka pendek semata. Ini jelas bertentangan dengan hakikat “Pendidikan Sepanjang Hayat” yang kita amini bersama selama ini.1

Sistem Pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengadakan Ujian Nasional sebenarnya telah mencoreng nama pendidikan kita. Kalu kita lihat dari Undang-Undang tentang pendidikan seharusnya pemerinthah tidak mencampuri  urusan para pendidik. Kalu kita berpacu pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yang berhak menentukan lulus atau tidaknya murid atau pelajar adalah para pelajar karena merekalah yang tau bagaimana kemampuan dan kekurangan para anak didiknya bukanlah pemerintah yang berhak menentukan. Pelaksanaan Ujian Nasional sejak tahun 2003 hingga 2010 kemarin menunjukkan kegagalan pembangunan pendidikan nasional.

Dari artikel ini bisa dilhat bahwa UN bukanlah satu-satunya cara untuk meluluskan pelajar dari dunia pendidikan. Masih banyak yang harus kita lihat, kita bandingkan saja antara Jakarta dengan Papua sarana dan prasarana yang tidak memadai ini menimbulkan kesenjangan dalam dunia pendidikan, dimana Jakarta sarana lebih lengkap ketimbang Papua maka oleh karena itu UN bukan tolok ukur kelulusan bagi pelajar di Indonesia dan masih banyak lagi yang harus dipertimbangkan.





[1] http://edukasi.kompasiana.com/2010/04/26/anomali-kebijakan-un

PEMILU PASCA REFORMASI


A.      Pelaksanaan Pemilu Pasca Reformasi
Di Indonesia, pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sebagai wujud konkret kedaulatan rakyat maka pelaksanaan pemilu terus diupayakan kesempurnaan dalam penyelenggaraan. Kesempurnaan dalam kaitan ini akan menentukan kualitas pemilu itu sendiri. Dan hal ini pada gilirannya akan memberikan citra yang lebih baik terhadap pelaksanaan demokrasi seperti yang dicita-citakan. Salah satu instrumen untuk meningkatkan kualitas pemilu adalah pelaksanaan asas luber dan jurdil yaitu kepanjangan akronim Langsung, Umum, Bebas, Rahasia dan Jujur dan Adil.
Pemilihan umum sering dikatakan sebagai ujung tombak pelaksanaan sistem demokrasi. Hal ini lantaran dalam pemilihan umum setiap warga dapat mengapresiasikan hak suaranya untuk memilih wakil yang dipercayai mewakili lembaga legislatif.
Pada masa reformasi, distribusi kekuatan antarpartai mengalami fluktuasi. Pemilu 1999 menghasilkan 6 partai yang memperoleh kursi DPR (dari 48 partai yang bertarung dalam pemilu) dengan komposisi kursi sebagai berikut: PDI-P (153), Partai Golkar (120), PPP (58), PKB (51), PAN (41), dan PBB (13). Pemilu 2004 yang diikuti partai yang lebih sedikit dibanding pemilu 1999 (hanya 24 partai) justru menghasilkan distribusi kekuatan antarpartai yang jauh lebih bervariasi. Berturut-turut jumlah kursi yang dimenangkan adalah Partai Golkar (133), PDI-P (108), PPP (57), Partai Demokrat (57), PKB (53), PAN (49), PKS (45), PBR (13), PBB (11), PDS (10), PKPI (3), Partai Merdeka (2), PKPB (2), PPDK (2), PPIB (1), PPDI (1). Dengan demikian, dari 24 partai yang mengikuti Pemilu 2004, terdapat 16 partai yang memperoleh kursi DPR; tetapi dari 16 partai yang memperoleh kursi DPR tersebut hanya sepuluh partai yang memperoleh sepuluh kursi atau lebih, dan hanya tujuh partai yang memperoleh kursi lebih dari lima persen.
Meski perhitungan perolehan kursi DPR belum selesai dilakukan oleh KPU, tapi dari hasil perhitungan cepat (quick count) oleh beberapa lembaga survei menunjukkan hasil sementara (yang biasanya tidak akan jauh beda dengan hasil sesungguhnya) sepuluh besar partai di Indonesia kurang lebih sebagai berikut: Partai Demokrat (20,1%), Partai Golkar (14,2%), PDI-P (14%), PKS (8,2%), PAN (6,3%), PPP (5%), PKB (5%), Partai Hanura (4%), Gerindra (3%), PBR (1,3%). Hasil Pemilu 2004 dan 2009 menunjukkan meski perolehan suara sepuluh besar partai di Indonesia berubah-ubah (kecuali PKS dan PAN yang relatif stabil), tetapi dari puluhan partai yang ikut pemilu memang hanya sepuluh partai yang bisa memperoleh kursi atau suara lebih dari 1%.
Jelas bahwa meski jumlah partai yang mampu memperoleh suara signifikan konsisten pada angka sekitar 10 partai, tetapi distribusi kekuatan antarpartai semakin merata. Hal ini tentu terkait dengan potensi integrasi sistem kepartaiannya. Pelaksanaan Pemilihan Umum anggota legislatif tahun 2009 merupakan pemilu ketiga di era reformasi. Sejak reformasi, iklim politik semakin terbuka sehingga mendorong munculnya puluhan partai politik. Tercatat di tahun 1999 Pemilu Indonesia diikuti oleh 48 partai politik, Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai. Sedangkan di tahun 2009, Pemilu mencapai 38 partai politik. Dalam pelaksanaanya Pemilu 1999 dianggap cukup demokratis bagi banyak kalangan. Meski masih banyak juga masalah yang muncul dalam pelaksanaannya, seperti ketidaknetralan penyelenggara pemilu, ketidakkonsistenan aturan pemilu, konflik dalam penentuan calon-calon, pendanaan pemilu, hingga pengawasan pemilu.
Untuk Pemilu 2004 sebagai konsekuensi perubahan (amandemen) UUD 1945 ke empat kalinya, ada banyak hal baru yang diperkenalkan. Selain pemilihan anggota legislatif (DPR/DPRD), untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia dikenal sistem pemilihan presiden langsung dan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sistem pemilu pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 untuk pemilu legislatif DPR/DPRD menggunakan sistem daftar proporsional setengah terbuka di mana pemilih wajib mencoblos tanda gambar partai atau tanda gambar dan nama calon legislatif. Sedangkan untuk penentuan calon anggota DPD terpilih menggunakan Simple Majority dengan multi-member constituency (berwakil banyak).
Sementara itu, KPU sebagai penyelenggara Pemilu 2004 tidak lagi diisi oleh anggota yang berasal dari wakil-wakil partai politik seperti pada Pemilu 1999 melainkan oleh individu nonpartisan yang dipilih oleh DPR. Sedangkan untuk badan pengawas melalui undang-undang yang sama terdapat perubahan eksistensi di mana Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat ini lebih independen dan secara struktural Bawaslu memiliki posisi strategis dalam membentuk Panwaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota. Tugas Bawaslu adalah mengawal setiap tahapan Pemilu 2009 dan berwenang untuk memberikan rekomendasi ke KPU untuk menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran serta memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana pemilu. Namun sebenarnya kerja badan pengawas ini tetap dibatasi hanya pada pelaporan terhadap pelanggaran administratif dan rekomendasi terhadap pelanggaran pidana pemilu. Belum lagi saat ini banyak panwaslu yang belum terbentuk sehingga beberapa tahapan pemilu di daerah yang sudah dimulai tidak terawasi.
Meskipun banyak kelebihannya, Pemilu 2009 diprediksi akan terjadi banyak pelanggaran dan perselisihan. Mengingat jumlah kontestan pemilu yang lebih banyak dibandingkan Pemilu 2004 ataupun pengaturan tentang pidana pemilu yang semakin banyak dan beragam. Beberapa mekanisme disiapkan di dalam UU 10 tahun 2008 untuk menyelesaikan sengketa pemilu. Direktur Centre for Electoral Reform (CETRO), Hadar Navis Gumay menyebut minimal terdapat empat potensi masalah pada Pemilu 2009. Pertama, penentuan calon legislator (caleg) terpilih. Menurutnya, penentuan caleg terpilih dalam UU No 10 Tahun 2008 berdasarkan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) 30 persen. Sementara ada partai politik yang membuat konsensus internalnya bahwa penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Oleh karena itu, perbedaan penentuan caleg terpilih ini, apakah berdasarkan suara terbanyak atau berdasarkan BPP 30 persen akan berpotensi timbulnya konflik terutama antarcaleg dalam satu partai politik. Untuk itu, diusulkan kepada DPR dan pemerintah perlu melakukan amandemen (revisi) terbatas UU Pemilu khususnya pengaturan mekanisme penentuan caleg terpilih agar penentuan caleg didasarkan pada perolehan suara terbanyak di suatu daerah pemilihan (Dapil).
Kedua, Daftar Pemilih Sementara (DPS). Data daftar pemilih yang belum akurat dan valid akan berpotensi terjadi masalah. Apabila masyarakat yang berhak ikut pemilu tetapi belum terdata cukup besar akan berpengaruh pada legitimasi pemilu itu sendiri termasuk legitimasi anggota DPR, DPD, maupun DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sebagai solusinya, KPU perlu memperpanjang masa pendaftaran pemilih. KPU perlu mengoptimalkan koordinasi dengan aparatur pemerintah sampai tingkat kelurahan dan desa bahkan sampai tingkat RT/RW guna memastikan setiap warga negara yang berhak ikut pemilih terdata sebagai peserta pemilih.
Ketiga, biaya pemilu yang mubazir. Menurut dia, apabila sosialisasi mekanisme pemilu tidak berjalan secara efektif yang berakibat kurangnya pemahaman masyarakat akan mekanisme pemilu maka biaya pemilu bisa mubazir. Selain mengurangi legitimasi hasil pemilu, juga berpengaruh pada pemanfaatan anggaran yang tidak efektif. Untuk itu, dia meminta KPU menyusun program dan tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu terutama sosialisasi pemilu kepada masyarakat secara terukur, efisien, dan efektif guna menyukseskan pelaksanaan Pemilu 2009.
Keempat, hubungan KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurut dia, apabila KPU maupun KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota tidak merespons laporan pengaduan pelanggaran Pemilu oleh Bawaslu (Panwas di Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota ) akan berpotensi terjadi konflik lembaga antara Bawaslu dan KPU.

B.      Analisis Permasalahan Seputar Pemilu Pasca Reformasi
Sebuah sistem merupakan sebuah keseluruhan yang saling berinteraksi di dalamnya, di mana terdiri atas sub-sub sistem. Jadi sebagai sebuah keseluruhan, sistem politik Indonesia perlu adanya sebuah evaluasi ulang atas fungsi-fungsi lembaga berdasarkan aturan yang telah ada. Proses input sebuah kebijakan haruslah kebutuhan mendasar sebuah masyarakat. Sehingga proses yang berjalan merupakan transformasi nilai-nilai kemanusiaan. Bukan berarti menafikan bahwa akan ada benturan kepentingan di dalamnya, akibat begitu banyaknya masyarakat Indonesia yang menjadi pengemis akibat keganasan sebuah rezim yang ‘menyulam’ lidah-lidah rakyat dengan benang sutra.
Reformasi yang terjadi pun adalah sebuah negosiasi kekuasaan elit lama yang merasa kecewa atas seniornya, sehingga regulasi yang berjalan harus dibayar dengan kelaparan di berbagai daerah. Perubahan adalah sebuah keniscayaan, reformasi yang terjadi juga sebuah keniscayaan yang tidak pernah diharapkan akan seperti ini. Politisi terperangkap pada keistimewaan akan dirinya sehingga tidak lagi menganggap rakyat adalah bagian dari dunianya, yaitu politisi sebagai pelayan bagi rakyatnya.
Masa sekarang ini pun sistem politik Indonesia masih mengalami krisis yang memprihatinkan. Pasca reformasi yang harapannya akan ada format baru bagi dunia politik ternyata mengalami kebuntuan. Hal ini dapat dilihat dari partai politik yang menjadi bangunan dasar demokrasi, belum mampu untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Perubahan yang terlihat hanyalah pada kuantitas partai, tapi masih menggunakan pola lama, artinya belum ada perubahan yang mendasar dari reformasi yang dicita-citakan.
Sistem politik ini merupakan bagian dari sebuah sistem yang besar, sehingga hal ini berimbas pada sektor yang lain. Sehingga dibutuhkan pendidikan politik agar partisispasi politik yang tercipta oleh masyarakat itu menjadi pilihan – pilihan rasional yang berkualitas Legitimasi yang hadir saat ini adalah semu, karena tampil sebagai topeng, rezim yang hadir pun hanya menjadikannya tiket menuju kelas yang lebih tinggi, setelah sampai ditujukan dengan mudah untuk membuangnya ke dalam keranjang sampah. Kondisi yang seperti ini terjadi tidak lain akibat pengetahuan masyarakat yang masih kurang terhadap politik. Pemahaman atas politik masih jauh dari harapan para filosof, sementara ilmu politik begitu dinamis dan terus berkolaborasi dengan konteks budaya yang ada.
Keberagaman budaya yang ada pada bangsa kita sangat berpengaruh pada perangkat politik yang ada pula, perangkat politik yang sangat penting adalah partai politik yang melakukan adaptasi sebagai jawaban atas tantangan modernitas. Oleh karena itu dibutuhkan partai yang modern pula mengingat kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Bukan hanya itu partai pulalah yang harus menggantikan tanggung jawab negara untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat luas.
Sudah saatnya partai politik menebus budi atas suara yang telah diberikan padanya oleh rakyat, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk menuju kemakmuran bersama. Kemudian tantangan yang kedua adalah, partai politik harus belajar untuk mandiri dalam banyak hal, mengingat kondisi bangsa yang carut-marut.
Banyaknya bencana kemanusiaan yang melanda bangsa ini, seharusnya partai politik memperlihatkan eksistensinya pada rakyat, bukan hanya pada momen tertentu saja. Dari sini dapat dikatakan bahwa partai politik belum mampu menjalankan fungsinya di dalam masyarakat. Oleh karena dibutuhkan kedinamisan maupun keseimbangan komponen-komponen yang ada dalam sebuah sistem, maka komponen-komponen tersebut harus menjalankan fungsinya dengan baik. Sistem ini pun tidak terlepas dari pengaruh yang hadir dari luar. Pendidikan politik yang adil serta memanusiakan manusia adalah cita-cita kemakmuran itu, dan sebagai sebuah sub-sistem dari sistem yang lebih besar, yaitu dunia politik yang humanis telah menjadi kebutuhan yang meniscayakan sebuah bangsa yang kuat.
Perlu diingat bahwa pendidikan politik itu bukan hanya pada masyarakat saja, tapi juga bagi elit politik sebagai pemegang peran penting dalam sebuah kebijakan. Hal ini menjadi sangat penting melihat realitas politik yang ada di Indonesia bahwa elit yang hadir bukanlah orang-orang yang begitu paham dengan politik. Sehingga kebijakan yang lahir pun tidak lagi menjadi alat untuk mensejahterakan rakyat, tapi sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan.