Rabu, 19 November 2014

REKRUTMEN BIROKRASI DI INDONESIA

A.     PENDAHULUAN
Indonesia salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah penduduk terbanyak ke 4 di dunia. Demi mewujudkan Negara yang tertib dan pemerintahan yang baik maka diperlukan sebuah birokrasi yang baik. Untuk melaksanakna birokrasi disetiap Negara berbeda-beda hal itu tergantung system pemerintahan apa yang digunakan oleh Negara tersebut. Berhasil tidaknya sebuah Negara dalam hal birokrasi/pemerintahan itu dapat dilihat dari bentuk pelayanan yang diberikan kepada seluruh lapisan masyarakatnya. Akan tetapi berbeda halnya dengan di Indonesia, buruknya proses rekrutmen dan  kinerja birokrasi sudah lazim diketahui oleh masayarakat secara luas.
Berbicara mengenai kinerja birokrasi di Indonesia memang sangat menarik untuk terus diperdebatkan. Banyak kalangan menyatakan bahwa kinerja pegawai di Indonesia yang bekerja di berbagai departemen, kementerian negara, lembaga negara, komisi negara, sampai dengan pemerintah daerah, tidak menunjukkan kinerja yang optimal (www.kabarIndonesia.-com). Beberapa hasil survei yang dilakukan oleh lembaga ilmiah menunjukkan bahwa para pegawai lebih banyak mengedepankan materi, uang, kekuasaan, dan jabatan saat bekerja, tanpa adanya upaya menunjukkan prestasi/performance/kinerja yang baik (Jipolis, Vol. II, No. 21 Tahun 2007).
Masalah birokrasi di Indonesia memang sangatlah komplek dari mulai rekrutmen, kinerja, sampai dengan KKN, hal ini sudah menjadi wajah birokrasi Indonesia. Jika kita menyebutkan nama birokrasi hal yang paling utama ada dalam pikiran masyarakat secara luas adalah birokrasi itu berbelit-belit, hal ini sudah sangat melekat dibenak masyarakat Indonesia. Hal ini sudah terjadi sejak zaman orde lama sampai era reformasi, dimana birokrasi kita masih berorientasi pada materi dan jabatan. Kalau kita berbicara sejarah birokrasi di Indonesia sangatlah panjang dari zaman berdirinya Negara ini sampai sekarang ada perbedaan yang sangat signifikan. Pada masa Orde Lama, kekuatan birokrasi yang didalamnya terdapat unsur pegawai/PNS, telah terkotak-kotak dalam pertarungan politik dalam garis ideologi nasionalisme, agama, dan komunisme (Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS). Pada masa Orde Baru, wajah birokrasi sangat kental dengan kekuatan politik Golongan Karya (Golkar) yang tergabung dalam elemen ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) dalam sistem korporatisme negara (Governance, No. II, Vol. 5 Tahun 2008). Sedangkan di era reformasi birokrasi lebih sering diintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik.
Sejak tahun 1998 paradigma pembangunan di Indonesia mulai bergeser dari model yang sentralistik menjadi desentralistik. Dimana pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah menjadi salah satu bagian dari kebijakan otonomi daerah. Hal ini ditandai dengan diberlakukannya UU No 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dengan adanya UU ini maka telah membawa implikasi penambahan jumlah pegawai, beban anggaran untuk pegawai semakin meningkat dan ruang lingkup kewenangan semakin luas. Agar nantinya birokrasi di daerah maupun pusat bisa menjadi lebih baik, akan tetapi proses otonomi daerah malah menimbulkan banyak masalah dalam perekrutan birokrasi ditingkat daerah maupun pusat. Birokrasi merupakan salah satu untusur pembangunan nasional, dimana dengan birokrasi yang baik maka akan tercipta pembangunan nasional yang baik juga.
Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk membentuk suatu masyarakat adil dan makmur, seimbang material dan sepiritual berdasarkan Pancasila di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kelancaran pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan nasional itu terutama sekali tergantung pada kesempurnaan aparatur negara yang pada pokoknya tergantung dari kesempurnaan Pegawai Negeri sebagai abdi negara (Moh. Mahfud MD, 1998:2).
Untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional birokrasi merupakan salah satu faktor terpenting untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Selain birokrasi sumber daya manusia dalam birokrasi juga merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam pembangunan nasional. hal inilah yang saat ini telah gencar dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan “Reformasi Birokrasi” demi terwujudnya birokrasi pemerintaha dan pelayanan publik yang sesuai harapan masyarakat. Untuk melaksanakan reformasi birokrasi agar terciptanya pegawai yang mempunyai kompetensi maka kuncinya terdapat posisi kunci pengambil keputusan di setiap level pemerintahan, baik dipemerintah daerah maupun pusat. Hal ini bisa terlaksana jika seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab, mempunyai skill yang sesuai dengan jabatannya. Sebenarnya dalam melaksanakan reformasi birokrasi bukan hanya orang yang mempunyai jabatan strategis saja yang berpengaruh, akan tetapi seluruh pegawai berpengaruh dalam pelaksanaan reformasi birokrasi tetapi pegawai tersebut sesuai dengan karakteristik jabatan dan kompetensi yang dimiliki.
Beragam permasalahan yang sering terjadi dalam birokrasi di Indonesia dari banyaknya jumlah birokrasi di Indonesia yang tidak mempunyai skill dan pada akhirnya tidak tahu apa yang harus dikerjakan, pendistribusian birokrasi yang tidak merata dan sesuai dengan kebutuhan sehingga sering penempatan sering terjadi menumpuk di perkotaan, buruknya proses rekruitmen yang mengandung unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).  Dengan adanya permasalahan tersebut maka dapat mengakibatkan buruknya birokrasi sehingga mengakibatkan buruknya pelayanan publik kepada masyarakat. selain itu tidak sedikit program pembangunan yang tidak berjalan dengan efektif dan tidak sesuai dengan tujuan dan sasaran. Proses rekruitmen yang tidak baik mengakibatkan birokrasi yang tidak baik juga, hal ini sudah banyak terjadi di Indonesia, dimana proses rekruitmen birokrasi yang kurang transparan dan banyaknya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam tubuh birokrasi pemerintahan. Selain itu faktor buruknya proses rekruitmen di Indonesia adalah faktor kedekatan emosional dan keluarga serta berhutang budi, hal ini sudah marak di tubuh birokrasi di Indonesia. Hal-hal yang seperti iniseharusnya tidak boleh terjadi, karena jika menginginkan birokrasi dan pelayanan publik yang baik serta bisa menciptakan good governance maka proses rekruitmen harus bersifat transparan dan tidak mengenal rasa berhutang budi dan faktor keluarga.
Menurut Miftah Thoha (2010) permasalahan birokrasi yang di hadapi Indonesia ialah (a) kelembagaan birokrasi pemerintah yang besar dan didukung oleh sumber daya aparatur yang kurang professional, (b) mekanisme kerja yang sentralistik masih mewarnai kinerja birokrasi pemerintah, (c) kontrol terhadap birokrasi pemerintah masih dilakukan oleh pemerintah, untuk pemerintah dan dari pemerintah, (d) patronkline (KKN) dalam birokrasi pemerintah merupakan halangan terhadap upaya mewujudkan merirokrasi dalam birokrasi, (e) tidak jelas bahkan cenderung tidak ada “sense of accountability” baik secara kelembagaan maupun secara individu, (f) jabatan birokrasi yang hanya menampung jabatan struktural dan oengisiannya sering kali tidak berdasarkan kompetensi yang dibutuhkan, (g) penataan sumber daya aparatur tidak disesuaikan dengan kebutuhan dan penataan kelembagaan birokrasi. Ini adalah sebagaian contoh buruknya proses birokrasi di Indonesia.  

B.     KERANGKA TEORITIK
1.      Rekruitmen
Menurut Malayu Hasibuan (2005:27), Pengadaan karyawan harus didasarkan pada prinsip apa baru siapa, apa artinya kita harus terlebih dahulu menetapkan pekerjaan-pekerjaannya berdasarkan uraian pekerjaan (job description). Siapa artinya kita baru mencari orang-orang yang tepat untuk menduduki jabatan tersebut berdasarkan spesifikasi pekerjaan (job specification). Hal ini mengisyaratkan bahwa pengadaan pegawai merupakan langkah pertama dan yang mencerminkan berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya
Simamora (1997) mengartikan rekruitmen sebagai serangkaian aktivitas mencari dan memikat pelamar kerja dengan motivasi, kemampuan, keahlian, dan pengetahuan yang diperlukan guna menutupi kekurangan yang diidentifikasi dalam perencanaan kepegawaian. Rekruitmen sebagai suatu proses pengumpulan calon pemegang jabatan yang sesuai dengan rencana sumber daya manusia untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam fungsi pemekerjaan (employee function). Rekrutmen Pejabat diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 100/2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 13/2002.
2.      Birokrasi
Max Weber (dalam Delly Mustafa 2013:10) mengatakan birokrasi adalah suatu hirarki yang ditetapkan secara jelas dimana pemegang kantor mempunyai fungsi yang sangat spesifik dan mengaplikasikan atau menerapkan aturan universal dalam semangat impersonalitas yang formalistic. Birokrasi diperlukan agar penyelenggaraan tugas pemerintahan tersebut dapat terlaksana secara efisien, efektif dan ekonomis.
Weber merumuskan beberapa karasteristik birokrasi (dalam Jurnal Zulhaidir), yang meliputi: Pertama, hirarki yaitu pejabat yang lebih tinggi mengkoordinir dan mengarahkan aktivitas bawahannya. Dengan hirarki, organisasi yang besar dan kompleks dapat mengendalikan pegawainya agar senantiasa bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kedua, spesialisasi, yaitu biorkrasi menjadi efisien karena setiap pegawai mengkhususkan diri dalam bidang/ kegiatan yang spesifik dalam bekerja sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimilikinya. Hal ini sangat berhubungan dengan perencanaan dan penempa-tan pegawai sesuai dengan keahlian pada jabatan atau tugas yang diembannya dalam organisasi. Ketiga, pekerjaan sebagai karir, karir artinya adalah jabatan, pekerjaan, profesi dan penghidupan. Biorkrat adalah pegawai karir pada pekerjaan/jabatan yang mereka pegang. Birokrasi adalah pekerjaan yang stabil dan jika dalam melaksanakan tugas dilakukan tanpa penyimpangan, missalnya korupsi, maka akan sulit bagi seorang birokrat kehilangan pekerjaan itu. Keempat, perekrutan berdasarkan merit artinya rekrutmen dalam pekerjaan dilakukan berdasarkan standar kelulusan bakat, pendidikan atau pengalaman. Sistem merit dalam birokrasi menolak adanya sistem patronase, yaitu keadaan dimana seseorang mendapatkan pekerjaan karena bantuan patron dan mengabaikan kompetensi seseorang. Kelima, aturan formal, artinya berdasarkan peraturan dalam birokrasi setiap orang diharapkan dapat memenuhi standar kinerja dan perilaku yang telah ditetapkan oleh organisasi. Dalam birokrasi, segala sesuatu adalah tentang bagaimana aturan berlaku, bukan orangnya. Orang atau pegawai tidak bisa diubah sebelum dilakukan perubahan kebijakan. Keenam, impersonal adalah semua peraturan dalam suatu organisasi harus diterapkan secara impersonal dan sama untuk semua orang.
C.     PEMBAHASAN
Sebelum bicara mengenai rekrutmen birokrasi kita harus terlebih dahulu mengetahui tentang konteks sejarah birokrasi yang ada di Indonesia. Sejarah birokrasi Indonesia terbentuk sejak zaman dahulu kala, dimana konteks sejarah birokrasi Indonesia ada empat masa yaitu: masa kerajaan, masa colonial, masa orde baru dan masa reformasi. Dari empat masa ini lah sejarah birokrasi Indonesia terbentuk sampai saat ini. Kalau dilihat secara jelas sejara terbentuknya birokrasi Indonesia tidak pernah lepas dari pengeruh system politik yang berlangsung. Apapun sistem politik yang diterapkan selama kurun waktu sejarah pemerintahan Indonesia, birokrasi tetap memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat. baik dalam system politik sentralistik maupun system politik yang demokratis birokrasi sulit melepaskan diri dari jaringan-jaringan kepentingan politik praktis (Delly Mustafa, 2013:22).
Birokrasi di masa kerajaan dipimpin langsung oleh seorang raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal atau absolute. Dimana masa kerajaan seluruh keputusan diambil oleh raja dan masyarakat harus tunduk dan patuh terhadap kehendak raja. Birokrasi masa kolonial tidak terlepasa dari system administrasi pemerintahan yang berlangsung dan tidak banyak merubah birokrasi yang sudah berjalan di Indonesia. Dalam birokrasi kolonial struktur pemerintahan dipimpin langsung oleh gubernur jendral dalam melaksanakan tugasnya dan dibantu oleh para gubernur dan rasiden. Dimana gubernur jendral merupakan pemerintah pusat dan gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat yang ada di tiap provinsi, dan sedangkan ditingkat kabupaten pemerintahan dipegang oleh asisten rasiden dan pengawas. Birokrasi masa orde baru muncul dengan ditopang oleh tiga pilar kekuatan utamanya yaitu militer, golkar dan birokrasi pemerintah. Pada masa pemerintahan orde baru semua kekauasaan ditangan Presiden sebagai pimpinan Negara/pimpinan pemerintahan, akan tetapi birokrasi masa orde baru bersifat sentralistik semua keputusan diambil oleh pemerintah pusat. Birokrasi era reformasi dipimpin langsung oleh presiden, dimana birokrasi di era reformasi ini lembaga pemerintahan di pusat dan daerah masih tergolong besar. Pada era reformasi birokrasi sudah bersifat desentralisasi dimana kewenangan tidak seluruhnya diambil oleh pemerintah pusat melainkan pemerintah daerahpun mempunyai kewenangan. Ada beberapa hal yang memang tidak didistribusikan kepada pemerintah daerah seperti pertahanan nasional, politik luar negeri, dan agama hal ini dipegang oleh pemerintah pusat.
Untuk menjalankan roda pemerintahan harus ada sebuah organisasi sebagai wadah dan sumber daya manusia sebagai pelaksana, dalam hal ini adalah birokrasi/pemerintahan dan Pegawai Negeri Sipil. Kemajuan suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh kemampuan aparatur birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya yaitu, sebagai pelayan publik kepada masyarakat secara profesional dan akuntabel. Apabila masyarakat sudah bisa terlayani dengan baik maka dengan sendirinya birokrasi mampu menempatkan dengan sendirinya sebagai public service. Rekruitmen birokrasi merupakan salah satu bentuk dari manajemen pegawai dimana hal ini sangat penting untuk mewujudkan pegawai yang mempunyai kompetensi serta dapat bekerja dengan efektif, efesien dan professional.
Birokrasi merupakan salah satu faktor yang mempunyai peran penting untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan pemerintahan yang baik/good governance. Birokrasi juga sebagai penentu dalam pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik, serta birokrasi juga sangat menentukan efisensi dan kualitas pelayanan kepada masyarakat serta efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Selain birokrasi proses perekruitan juga salah satu faktor penting dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih, serta mewujudkan pelayanan publik yang efektif, efesien dan akuntabel. Dengan proses rekruitmen yang baik dan transparan maka akan menghasilkan pegawai yang baik dan berkualitas, serta pegawai yang diterima sesuai dengan apa yang dibutuhkan sehingga dapat menciptakan pelayanan publik yang efektif, efesien dan akuntabel. 
Indonesia sebagai salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia, dimana untuk membangun sebuah Negara dibutuhkan sebuah birokrasi dan orang-orang yang mempunyai kompetensi. Untuk mewujudkan birokrasi dan orang-orangnyang mempunyai kompetensi maka diperlukan proses rekruitmen yang bagus. Jika berbicara tentang birokrasi maka yang pertama kali terbenak dalam pikiran adalah proses yang berbelit-belit, kurangnya transparan dan lain-lain, hal inilah yang menjadi gambaran birokrasi di Indonesia. Wajah birokrasi Indonesia sudah sangat kusam, karena kebanyakan orang-orang yang duduk di birokrasi tidak mempunyai kompetensi yang sesuai dengan bidangnya. Hal semacam ini sudah banyak sekali terjadi di berbagai dinas dan bindang birokrasi pemerintahan sampai di birokrasi yang paling bawah yaitu kelurahan. Sistem birokrasi yang berbelit-belit dan tidak jelas, membuat masyarakat bosan dan enggan berurusan dengan birokrasi. Hal inilah yang lama-kelamaan menjadi cikal bakal KKN, dengan berbelit-belitnya urusan maka masyarakat lebih memilih jalan praktis dengan cara membayar hal ini dianggap cara yang paling benar dan cepat. Sehingga ketika masyarakat datang ke birokrasi yang ada dalam benak mereka adalah membayar biar cepat selesai urusannya. Ini salah satu efek dari proses prekruitan yang tidak benar, karna kebanyakan yang terjadi proses rekruitmen di Indonesia memakai system patronage dimana dengan kedekatan emosional dan faktor keluargalah yang akan menjadi birokrasi di negari ini.
Jika kita berbicara masalah birokrasi maka tidak lepas dari yang namanya pelayanan publik, akan tetapi orang-orang yang duduk dijajajran birokrasi bukan melayani masyarakat akan tetapi sebaliknya masyarakatlah yang melayani birokrat, hal ini sudah sangat melenceng jauh dari tujuan birokrasi. Banyak sekali potret dari birokrasi Indonesia, contohnya untuk mendapatkan KTP masyarakat harus membayar dengan beberapa variable dari yang paling cepat sampai lambat, ketika masyarkat mengurus KTP pasti ada penawaran mau cepat atau lambat, jika cepat masyarakat harus membayar dengan harga 100 ribu dengan jangka waktu 3 hari, ketika lambat dengan waktu 1 minggu terkadang bisa lebih masyarakat harus membayar 30 ribu. Dari contoh ini sudah membuktikan bahwasannya birokrasi kita sudah tidak sehat, serta bentuk pungutan liar/korupsi sudah terjadi di birokrasi tingkat bawah, apalagi dibirokrasi tingkat atas? Hal ini menunjukkan bahwasannya proses rekruitmen birokrasi sudah tidak benar, karena rekruitmen birokrasi merupakan salah satu kunci keberhasilan untuk menciptakan birokrasi yang baik sehingga akan terjadi pelayanan publik yang efektif, efesien dan akuntabel.
Rekruitmen birokrasi merupakan salah satu bentuk dari manajemen pegawai, dimana hal ini sangat penting untuk dilakukan. Dalam pelaksanaan rekruitmen birokrasi ada beberapa hal yang harus dilakukan adalah tahap penyusunan formasi yang dasarnya adalah pemetaan jabatan. Proses ini sangat penting untuk menentukan kebutuhan dan sepesifikasi pegawai yang diperlukan, sehingga pegawai yang diterima bisa menjalankan tugasnya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi pegawai. Untuk melaksanakan rekruitmen birokrasi sudah ada isntitusi yang berwenang mengadakan hal tersebut, ditingkat pusat ada biro/bagian kepegawaian dari masing-masing instans, sedangkan di daerah yang bertanggungjawab adalah Badan Kepegawaian Daerah. Pelaksanaan rekrutmen pegawai di Indonesia tidak bisa dilakukan setiap tahun akan tetapi harus melihat formasi yang ada dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Karena dalam pengadaan rekruitmen birokrasi di pemerintah daerah menggunakan pendekatan zero growth dimana pengadaan pegawai didasarkan untuk menggantikan pegawai yang pensiun.
Selama ini, proses pelaksanaan rekrutmen birokrasi pemerintah atau pemerintah daerah masih sangat kental dengan nuansa KKN, tertutup, kurang terbuka, kurang transparan, dan akuntabel. Proses rekruitmen birokrasi di sebagian besar instansi Negara ini baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dinilai belum efektif dan belum menunjukkan ketransparansian, serta masih sangat kental dengan hubungan kekerabatan, ikatan emosional, jaringan kewilayahan, nuansa kekeluargaan, dan aspek primordialisme. Hal ini menunjukkan bahwasannya proses rekruitmen di Negara kita menggunakan sistem patronage, sedangkan untuk sistem merit sangat jarang bahkan hampir tidak digunakan untuk proses rekruitmen birokrasi di negeri ini. Oleh karena itu, yang terjadi pada saat ini adalah birokrasi-birokrasi yang ada di Indonesia mengalami perubahan paradigma dalam hal pelayanan, yang seharusnya birokrasi memberikan pelayanan kepada masyarakat akan tetapi untuk riilnya hal ini sangat jarang terjadi, karena jika sebuah birokrasi melayani masyarakat pasti ada sebuah jasa/imbalan yang dimintanya seperti halnya pungutan liar. Tetapi yang terjadi di Indonesia seorang pejabatlah yang sering dilayani oleh pegawai birokrasi karena dengan adanya koneksitas kepada atasan akan lebih menguntungkan bagi karir mereka, jabatan, dan golongan dari pada memberikan pelayanan kepada masyarakat.  
Meskipun di era modernisasi sebagian besar pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah menggunakan teknologi informasi khususnya internet, dalam proses rekruitmen birokrasi  agar supaya transparan dan akuntabel, sebagai wujud nyata dari aplikasi e-goverment, namun dalam prakteknya, masih banyak sekali praktek-praktek kecurang yang terjadi. Hal ini menunjukkan bahwasannya proses rekruitmen birokrasi dengan sistem yang baik sekalipun dan apabila orang yang menjalankan tidak bisa bersifat professional maka sistem tersebut sulit dijalankan dengan baik dan berkesan seperti sia-sia. Dengan diterapkannya sistem e-government sebenarnya untuk meminimalisir kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam perekrutan birokrasi, karena dengan proses rekruitmen birokrasi yang curang maka akan membentuk pegawai yang tidak professional kinerja pegawai dalam hal pelayanan pegawai.
Pelaksanaan rekruitmen birokrasi yang terjadi di Indonesia selama ini hanya diperuntukkan oleh orang-orang yang mempunyai uang, dan koneksi/jaringan dengan orang-orang dalam birokrasi tersebut, sedangkan bagi masyarakat yang tidak mempunyai uang sepertinya tidak boleh menduduki jabatan birokrasi.  Hal semacam ini sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat, bahwa siapa saja yang ingin menjadi seorang birokrat dan masuk ke dalam sebuah instansi birokrasi maka harus memiliki puluhan juta sampai ratusan juta untuk lolos dalam seleksi tersebut. Sepertinya sepandai apapun dan sebaik apapun prestasinya sangat sulit sekali untuk masuk ke dalam birokrasi kalau tidak mempunyai uang dan koneksitas dalam birokrasi tersebut. Hal inilah yang banyak terjadi di Indonesia karena birokrasi Indonesia lebih sering menggunakan sistem patronage dimana menerima seseorang berdasarkan ikatan emosional, koneksitas dan lain-lain, sedangkan sistem merit yang lebih mengedepankan perekruitan dari segi kecerdasan sangat jarang dilakukan oleh birokrasi kita.
Sebelum dilaksanakannya proses pelaksanaan rekruitmen birokrasi maka hal utama yang harus dilakukan adalah proses formasi pegawai. Untuk penyusunan formasi pegawai ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1976 tentang Pokok-Pokok Penyusunan Formasi Pegawai Negeri Sipil untuk mengisi birokrasi pemerintah baik pusat maupun daerah. Menurut Miftah Thoha (2010) formasi yang dimaksud disini adalah jumlah dan susunan pangkat pegawai negeri sipil yang diperlukan oleh suatu satuan organisasi Negara untuk mampu melaksanakan tugas pokok untuk jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab dalam bidang penertiban dan penyempurnaan aparatur Negara. Tujuan ditentukan formasi terlebih dahulu maka birokrasi dapat mempunyai jumlah dan mutu pegawai yang cukup sesuai dengan beban kerja yang diperlukan dalam instansi tersebut.
Tujuan penetapan formasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 54 tahun 2003 ada beberapa tahapan dan persyaratan diantaranya yaitu:
1.      Dasar Penyusunan Formasi
Pada umumnya dalam penyusunan formasi ada beberapa hal yang harus diperhatikan, sesuai birokrasi yang membutuhkannya diantaranya yaitu:
a)      Jenis pekerjaan, yaitu: Macam-macam pekerjaan yang harus dilakukan oleh suatu unit organisasi dalam melaksanakan tugas pokoknya, umpamanya pekerjaan mengetik, jaga malam, mengobati penyakit, dan lain-lain. Jenis-jenis pekerjaan yang ada dalam setiap departemen dan lembaga harus dikumpulkan, dikelompokkan, dan disusun secara sistematis, sehingga mudah dicari apabila diperlukan. Pada pokoknya, jenis-jenis pekerjaan itu dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua kelompok, yaitu jenis-jenis pekerjaan yang bersifat umum dan jenis-jenis pekerjaan yang bersifat khusus. Jenis-jenis pekerjaan yang bersifat umum, yaitu jenis-jenis pekerjaan yang ada di setiap departemen dan lembaga seperti mengetik, urusan kepegawaian, urusan keuangan dan lain-lain. Jenis pekerjaan yang bersifat khusus, yaitu jenis-jenis pekerjaan yang hanya ada pada departemen atau lembaga tertentu, seperti pekerjaan mengobati penyakit hanya ada pada lingkungan Departemen Kesehatan, memeriksa perkara hanya ada pada lingkungan kejaksaan dan pengadilan, dan lain-lain.
b)      Sesudah jenis pekerjaan yang diketahui, maka harus pula diketahui sifat dari masing-masing pekerjaan itu. Dalam menentukan sifat pekerjaan dapat ditinjau dari beberapa sudut, umpamanya dari sudut waktu kerja, sudut pemusatan perhatian, sudut resiko pribadi yang mungkin timbul dalam melaksanakan pekerjaan, dan lain-lain.
c)      Perkiraan beban kerja, yaitu frekuensi kegiatan rata-rata dari masing-masing jenis pekerjaan dalam jangka waktu tertentu. Pada umumnya beban kerja itu dapat dibagi dalam beban kerja yang dapat diukur, beban kerja yang sulit diukur, dan beban kerja yang tidak mungkin diukur.
d)      Perkiraan kapasitas pegawai, yaitu perkiraan kemampuan rata-rata seorang pegawai untuk menyelesaikan suatu jenis pekerjaan dalam jangka waktu tertentu. Perkiraan kapasitas pegawai perlu diketahui untuk menentukan jumlah pegawai yang diperlukan untuk masing-masing jenis pekerjaan. Walaupun jenis pekerjaan sama, tetapi beban kerja dan perkiraan kapasitas pegawai berlainan pula jumlah pegawai yang diperlukan.
e)      Kebijaksanaan pelaksanaan pekerjaan, yaitu kebijakan pelaksanaan pekerjaan apakah dilakukan sendiri ataupun diborongkan (outsourcing). Kebijaksanaan pelaksanaan pekerjaan untuk suatu jenis pekerjaan sangat besar pengaruhnya terhadap penentuan jumlah pegawai.
f)       Jenjang dan jumlah jabatan dan pangkat yang tersedia dalam suatu organisasi mempunyai pengaruh dalam penyusunan formasi, karena piramida jabatan dan pangkat yang serasi adalah merupakan salah satu syarat mutlak untuk dipelihara oleh suatu organisasi yang baik. Sebagaimana diketahui, bahwa semakin tinggi suatu pangkat atau jabatan semakin terbatas jumlahnya, oleh sebab itu, makin terbatas pula jumlah Pegawai yang mungkin mencapai jabatan atau pangkat yang lebih tinggi itu.
g)      Alat yang tersedia atau diperkirakan dalam melaksanakan tugas. Makin tinggi mutu peralatan dan tersedia dalam jumlah yang cukup, dapat mengakibatkan makin sedikit jumlah Pegawai yang diperlukan untuk mengerjakan suatu jenis pekerjaan tertentu. Tetapi makin menghendaki kualitas yang makin tinggi.
2.      Sistem Penyusunan Formasi
Dalam menentukan formasi pada umumnya ada 2 sistem yang biasanya digunakan yaitu:
a)      Sistem sama yakni sistem yang menentukan jumlah dan kualitas yang sama baik semua unit organisasi yang sama, dengan tidak memerhatikan besar kecilnya beban kerja. Sistem ini biasanya digunakan pada organisasi yang sudah distandarisasikan.
b)      Sistem ruang lingkup yakni suatu sistem yang menentukan jumlah dan kualitas berdasarkan jenis, sifat, dan beban kerja yang dipikulkan pada unit organisasi itu. Menurut sistem ini, walaupun tingkat satuan organisasi sama, tetapi kalau beban kerjanya berlainan, maka berlainan pula jumlah pegawai yang ditentukan bagi masing-masing unit organisasi itu.
3.      Analisis Kebutuhan Pegawai
Untuk dapat menyusun formasi yang tepat, maka harus disusun lebih dahulu “analisis kebutuhan pegawai”. Analisis kebutuhan pegawai adalah suatu proses menganalisis secara logis dan teratur untuk dapat mengetahui jumlah dan kualitas pegawai yang diperlukan oleh suatu unit organisasi agar mampu melaksanakan tugasnya serta berdaya guna, berhasil guna, dan berkelangsungan. Tujuan dari analisis kebutuhan pegawai adalah sebagai salah satu usaha agar setiap pegawai yang ada pada setiap unit organisasi mempunyai pekerjaan. Salah satu alat untuk membuat analisis kebutuhan Pegawai adalah adanya uraian jabatan (job description) yang tersusun rapi. Dengan adanya uraian jabatan, maka dapatlah diketahui jenis jabatan, ruang lingkup tugas yang dapat dilaksanakan, sifat pekerjaan, syarat-syarat pejabat, dan dapat pula diketahui perkiraan kapasitas pegawai dalam jangka waktu tertentu
4.      Anggaran Belanja Negara
Anggaran Belanja yang dapat disediakan oleh negara sangat menentukan pelaksanaan pemenuhan formasi. Karena, walaupun formasi telah disusun secara tepat berdasarkan norma-norma yang rasional, tetapi akhirnya tetaplah anggaran belanja yang dapat disediakan negara yang menetukan, apakah formasi yang telah disusun itu dapat terpenuhi atau tidak.

Hasil rekruitmen birokrasi memang sangat berpengaruh terhadap pelayanan publik yang dirasakan oleh masyarakat. Jika proses rekruitmen birokrasi dilaksanakan dengan baik dan benar maka pegawai yang dihasilkan juga mempunyai kualitas dan kuantitas serta profesionalisme dalam bekerja. Selain rekruitmen juga hal yang harus diperhatikan untuk meningkatkan pelayanan publik adalah emosional bagi pegawai. Dimana kecerdasan emosional merupakan konsep yang multiinterpretatif. Dalam buku Agus Dwiyanto (2009:325) ada tiga hal yang bisa digunakan untuk menjelaskan pentingnya kecerdasan emosional birokrat agar bisa meningkatkan kineja dan pelayanan publik. Pertama, dengan memahami kondisi emosi dirinya sendiri dan kondisi emosi masyarakat yang dilayani, seorang birokrat akan mampu menjaga hubungan baik dengan masyarakat yang dilayani. Kedua, dengan kecerdasan emosional seorang birokrat akan mampu mengontrol dan mengelola stress sehingga dampaknya tidak sampai kemasyarakat yang dilayanai. Ketiga, kecerdasan emosional akan membantu seorang birokrat untuk berkomunikasi dengan baik dan lancar.
Buruknya proses rekruitmen di Indonesia dan sudah menjadi kebiasaan dan budaya yang sangat sulit untuk dihilangkan dengan waktu yang sangat singkat. Budaya proses rekruitmen birokrasi yang tidak transparan, akuntabel serta tidak professional akan mengakibatkan kinerja birokrasi sangat rendah dan tidak berkualitas. Jika proses rekruitmen tersebut dilaksanakan tarus menerus maka yang akan dihasilkan adalah birokrasi-birokrasi yang bermental korup dan lemahnya kinerja dan inovasi. Dengan proses rekruitmen yang sudah membudaya di Indonesia akan sulit untuk membentuk birokrasi yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang tinggi serta pegawai yang mempunyai keterampilan, keahlian serta inovasi dan profesionalissme kerja. Jika proses rekruitmen birokrasi sudah baik maka pegawai yang dihasilkan juga baik dalam hal kualitas dan kuantitas.
Dengan lahirnya Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara semoga menjadi titik perubahan bagi sistem kepegawaian di Indonesia, yang paling utama adalah perubahan dalam sistem rekruitmen birokrasi. Berdasarkan kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi pada tahun 2014 sistem rekruitmen birokrasi yang akan diadakan menggunakan sistem CAT. Dengan adanya sistem baru dan Undang-Undang baru yang akan digunakan dalam sistem kepegawaian baik dari proses rekruitmen sampai pensiunan, semoga menjadi awal perubahan birokrasi di Indonesia.  Dengan sistem kepegawaian yang kuat dan proses rekruitmen birokrasi yang baik maka akan menghasilkan pegawai yang mempunyai kualitas dan kuantitas, baik dari segi keterampilan, inovasi maupun professionalisme dalam bekerja.
D.     KESIMPULAN
1.      Proses rekrutmen birokrasi di Indonesia berjalan dengan kurang transparan, kurang akuntabel, dan kurang professional. Hal ini ditandai dengan masih adanya indikasi KKN dalam penerimaan birokrasi di Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Rekrutmen pegawai yang tidak professional tentunya akan menimbulkan sosok birokrasi yang kurang bermutu dan kurang berkualitas.
2.      Masih banyaknya proses rekruitmen birokrasi yang mengedepankan sistem patronage/faktor keluarga, koneksitas dalam birokrasi dan lain-lain. Hal ini ditandai banyaknya dinasti politik serta dinasti birokrasi yang ada di hampir setiap daerah. Dengan sistem patronage maka yang terjadi hak-hak setiap warga negara mulai terkikis, apalagi bagi orang yang tidak mempunyai ikatan keluarga atau koneksitas dalam sebuah birokrasi.
3.      Belum adanya rekruitmen birokrasi yang mengedepankan merit sistem/berdasarkan prestasi yang dicapai. Hal ini menjadi salah satu pemicu buruknya birokrasi di Indonesia. Jika proses rekruitmen birokrasi menggunakan merit sistem setidaknya pegawai yang dihasilkan mempunyai professionalisme dalam bekerja dan kualitas pegawai birokrasi lebih baik dari pada pegawai yang proses rekruitmennya menggunakan patronage sistem.  

E.     REKOMENDASI
1.      Melaksanakan reformasi birokrasi besar-besaran terhadap birokrasi yang mempunyai banyak masalah.
2.      Sistem rekruitmen birokrasi harus bersifat transfaran dan akuntabel sehingga masyarakat luas bisa mengakses dengan mudah, serta menghilangkan sistem rekruitmen atas dasar keluarga, kedekadatan emosional, dan lain-lain. sistem rekruitmen yang harus diutamakan adalah merit sistem/berdasarkan prestasi. Berdasarkan merit sistem seluruh kesempatan bagi warga negara mempunyai peluang yang sama.
3.      Membuat dan menerapkan punishment serta reward bagi seluruh pegawai birokrasi, memberi punishment/sanksi bagi pegawai birokrasi yang melanggar dan memberi reward/penghargaan bagi pegawai birokrasi yang mempunyai prestasi tinggi.






REFERENSI
Dwiyanto, Agus, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, Gava Media, Yogyakarta, 2009.
Hasibun. Malayu S.P, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta, 2005.
Mahfud MD, Moh, Hukum Kepegawaian Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1998.
Mustaffa, Delly, Birokrasi Pemerintahan, Bandung, Alfabeta, 2013.
Simamora, Henri. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta. 1997.
Thoha, Miftah, Manajemen Kepegawaian Sipil Di Indonesia, Jakarta, Kencana , 2010. 


IMPLEMENTASI PROGRAM DANA DESA 1 MILIAR UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN DAERAH

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur desentralisasi di Negara Republik Indonesia, dimana UU ini telah member kewenangan kepada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri. Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya berarti pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskreksi) kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian wewenang dan keleluasaan yang luas tersebut harus diikuti dengan pengawasan yang kuat. Otonomi daerah seyogyanya dilakukan oleh pemerintah daerah ditingkat provinsi/kabupaten dan kota. Akan tetapi esensi dari pembangunan daerah itu dimulai dari pemerintahan yang paling bawah yaitu pemerintah desa. Akan tetapi dalam pelaksanaan pembangunan desa sangatlah tergantung dengan pendapatan asli desa dan swadaya, oleh karena itu jika pembangunan desa hanya mengandalakan dari sumber dana yang ada maka sulit rasanya realisasi untuk pembangunan desa.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah pemerintah kabupaten/kota dituntut untuk memberikan sumber dana kepada desa, supaya pembangunan desa lebih cepat terealisasi serta berguna bagi kemandirian daerah. Dimana memang esensi kemandirian sebuah daerah adalah dari pembangunan sebuah desa, jika pembangunan desa berjalan dengan baik dan cepat maka tidak menutup kemungkinan kemandirian daerah kabupaten/kota bias terealisasi dengan baik. Selain itu PP No. 72 tahun 2005 tentang Desa sangat jelas mengatur tentang pemerintahan desa, termasuk didalamnya tentang kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh pemerintah kabupaten untuk merumuskan dan membuat peraturan daerah tentang Alokasi Dana Desa (ADD) sebagai bagian dari kewenangan fiskal desa untuk mengatur dan mengelola keuangannya. Guna mewujudkan otonomi daerah dan pembangunan daerah yang dimulai dari desa maka pemerintah desa mempunyai sumber-sumber pembiayaan untuk memajukan sebuah desa.
Setelah berjalan beberapa tahun maka terbentuklah UU No 6 tahun 2014 yang mengatur tentang desa, dimana dalam UU tersebut desa mendapatkan kucuran dana maksimal sebesar 1 M untuk kemandirian desa. Dana yang diberikan oleh pemerintah ke desa sangatlah berfariasi, dimana pemberian dana tersebut melihat dari luas wilayah desa dan banyaknya jumlah penduduk, adapun fariasi dana yang diberikan pemerintah sebesar 1-1,4 M. Pemberian dana sebesar 1 M ini disambut sangat antusias oleh pemerintah baik desa maupun pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan PP No 60 tahun 2014 tentang dana desa, maka disebutkan bahwa dana desa yang akan dikucurkan langsung kepada pemerintah desa bersumber dari APBN.  
Dengan disahkannya UU yang mengatur tentang pemberian dana 1 M ke desa secara langsung maka timbullah pro dan kontra dikalangan masyarakat, dimana banyak sekali yang tidak setuju akan adanya pemberian dana sebesar 1 M secara langsung kepada kepala desa hal ini disebabkan pola pengawasan yang masih sangat lemah, bias saja dana sebesar itu disalah gunakan oleh kepala desa untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan yang lain hal semacam inilah yang ditakutkan oleh kalangan masyarakat. Ada juga yang setuju dengan pemberian langsung dana sebesar 1 M, pemberian dana ini guna percepatan pembangunan daerah yang seyogyanya pembangunan daerah diawali dari kemandirian desa. Jika pembangunan dan kemandirian desa sudah terlakansa maka secara otomatis kemajuan suatu daerah akan terlihat, hal ini juga untuk menjawab UU tentang desentralisasi, dimana daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya untuk melaksanakan pembangunan daerahnya sendiri.
Setelah mengkaji banyaknya pro-kontra terhadap dana alokasi desa sebesar 1 M ini maka akan menimbulkan banyak sekali permasalahan. Dana sebesar 1 M jika benar-benar dilakukan dengan baik dan dilaksanakan sesuai untuk kepentingan masyarakat maka akan membantu percepatan pembangunan daerah dan kemandirian daerah. Akan tetapi jika dana ini diberikan begitu saja dan tidak ada tindak lanjut dari pemerintah maka yang akan terjadi adalah banyaknya penyelewengan yang tidak diinginkan oleh masyarakt secara luas. Dimana dana yang diberikan oleh pemerintah ini seharusnya digunakan untuk program-program yang menyangkut hajat hidup orang banyak, program yang berkelanjutan dan bisa menjadikan masyarakat mandiri, sehingga dengan adanya dana yang dialokasikan disetiap desa bisa membantu mengurangi angka kemiskinan yang ada di desa. Adapun cara pengurangan angka kemiskinan tersebut adalah dengan membuat program yang bisa dikembangkan oleh masyarakat sehingga terciptanya ekonomi kreatif bagi masyarakat dan desa tersebut. Dengan hal tersebut maka secara tidak langsung pelatihan-pelatihan yang diberikan demi menunjang ekonomi kreatif masyarakat akan meningkatkan pendapatan asli daerah.
Akan tetapi, dengan luasnya Negara ini dan banyaknya jumlah desa yang tersebar di seluruh plosok negeri serta belum adanya dukungan dari sumber daya manusia yang baik maka akan menimbulkan permasalahan yang sangat komplek. Sumber daya manusia merupakan pokok yang paling utama dalam hal mengelola keuangan yang diberikan oleh pemerintah, jika sumber daya manusianya belum siap maka yang akan terjadi adalah penyelewengan penggunaan dana tersebut. Melihat bahwa sumber daya manusia yang ada di setiap desa tidak sama, oleh karena itu perlunya pengawasan dan pelatihan dari pemerintah sebelum mengimplementasikan pemberian dana alokasi desa sebesar 1 M. Sehingga dengan adanya pengawasan dan pelatihan maka dana alokasi desa akan digunakan dengan sebaik-baiknya dan dapat mempercepat pembangunan daerah serta mewujudkan kemandirian masyarakat sesuai dengan cita-cita bangsa ini. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo khawatir jika adanya dana bantuan dari APBN ke desa justru mengakibatkan banyaknya kepala desa yang masuk ke penjara. Pendapat Gubernur Jateng Ganjar yang mengatakan, mengelola dana Rp 140 juta saja sudah ada kepala desa yang di penjara. Apalagi, jika ada dana dari APBN untuk desa yang besarnya kira-kira Rp 1,4 miliar. Hal ini diperkuat pendapat Bupati Wonosobo Kholik Arif yang mengatakan “ada 11 kepala desa yang di penjara karena penyelewengan alokasi dana desa yang notebnya hanya sebesar 140 juta (http://wikidpr.org/news/tempo-salah-gunakan-amanat-uu-desa-terkait-dana-apbn-untuk-desa-ganjar-khawatir-banyak-kades-dipenjara).

Dengan adanya pemerintahan baru maka besar harapan masyarakat terhadap peran pemerintah dalam proses pencairan sampai pengawasan pengalokasian dana  untuk desa. Mengingat alokasi dana desa sebesar 1 M ini baru akan diimplementasikan pada awal tahun 2015, oleh karena itu pemerintah perlu bekerja keras sebelum memberikan dana ini kepada seluruh kepala desa yang ada di pelosok negeri ini (Koran Harian Kedaulatan Rakyat). Yang paling utama untuk dilakukan pemerintah adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia yang memadai serta memberi pelatihan-pelatihan sehingga ketika dana ini turun maka pemerintah desa tidak kebingungan dan ketakutan akan masuk bui. Oleh karena itu, penting kiranya diadakan penelitian yang mengkaji tentang pemberian dana desa sebesar 1 M. maka penulis sangat tertarik untuk membahas tentang kebijakan pemerintah dalam menerapkan UU No 6 tahun 2014 tentang desa dan pemberian dana kepada desa.
Referensi
Koran Harian Kedaulatan Rakyat, diakses tanggal 12 November 2014, hlm 1, jam 09.00 WIB. 
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Minggu, 09 November 2014

Negara dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Fakta membuktikan bahwa Bangsa Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Secara fisik, Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau, dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, yakni 81.000 km. Wilayah lautannya meliputi 5,8 juta km2 atau 70 persen dari luas teritorial Indonesia (Dahuriet dkk:2001). Potensi sumber daya alam Indonesia tersebut dapat menjadi kekuatan utama (prime mover) perekonomian bangsa, mulai dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) sampai yang tidak dapat diperbaharui (non renewable) (Jurnal Mangrove dan Pesisir IX, Februari 2009, Tajerin). Banyak sekali jenis perekonomi yang ada di Indonesia dari mulai sektor minerba, pertanian, perkebunan sampai sektor kelautan yang potensi ekonominya tidak kalah penting.
Berdasarkan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia seharusnya masyarakat Indonesia hidup dengan kesejahteraan. Akan tetapi yang terjadi pada saat ini banyak sekali sumber daya alam yang dikelola tetapi masyarakatnya hidup dalam ketepurukan dan kemiskinan hal inilah yang terjadi di Negara Indonesia saat ini. Seharusnya sumber daya alam yang ada di sebuah Negara harus dikuasai oleh Negara tersebut demi kesejahteraan masyarakatnya. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dalam pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi bahan hukum berdasarkan konsep hak menguasai negara. Negara berfungsi sebagai pengatur, pengurus dan pengawas juga hubungannya dengan relasi negara terhadap ekonomi (Jurnal, Indah Dwi Qurbani). Dengan undang-undang tersebut sebenarnya sudah jelas sebenarnya Negara dan pemerintah mempunyai peran penting dalam mensejahterakan masyarakatnya dan memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sumberdaya alam pada umumnya dan tambang pada khususnya sebagai kekayaan yang tak ternilai harganya tersebut wajib dikelola secara bijaksana agar dapat dimanfaatkan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berkelanjutan demi kesejahteraan rakyat, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang (Jurnal, Marilang Volume 11).  
Hingga tahun ini kebijakan pemerintah terhadap tata kelola yang baik (good governance) dalam hal pengelolaan sumberdaya alam dirasakan masih jauh dari hasil yang memuaskan. Dimana tata kelola sumber daya alam (SDA) yang selama ini belum berpijak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan telah mengakibatkan meningkatnya kemiskinan yang ada di Indonesia. Selain itu distribusi dan pemanfaatan SDA yang belum merata juga menyebabkan banyak masyarakat termasuk masyarakat hukum adat menjadi penonton dalam pemanfaatan sumberdaya alam sekitarnya. Sudah banyak sekali contoh dimana masyarakat menjadi saksi pengembilan tanah lingkungannya sendiri, seperti yang terjadi belum lama ini konflik di Mesuji antara pengusaha dan masyarakat dimana pengusaha melalui pemeintah setempat ingin membuat perkebunan dan menyerobot tanah masyarakat sekitar yang berakhir dengan konflik yang berkepanjangan. Sedangkan yang paling baru adalah penggundulan hutan lindung yang terjadi di Jambi, dimana hutan tersebut sebenarnya menjadi tempat mata pencaharian masyarakat suku anak dalam.
Untuk mengelola sumber daya alam yang ada di Indonesia sebenarnya pemerintah mempunyai peran yang sangat sentral, hal ini sesuai dengan UUD 1945 dimana kewenangan Negara dalam mengelola sumber daya alam melalui pemerintah. Sesuai dengan amanat konstitusi pemerintah yang “legitimate’ diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup sesuai dengan amanat konstitusi tersebut. Hal ini sudah jelasa sekali dimana peran pemerintah dalam mengelola sumber daya alam sangatlah dibutuhkan. Jika pengelolaan sumber daya alam dikelola oleh asing pemerintah mempunyai kewenangan dalam hal perjanjian kontrak, yang seharusnya perjanjian kontrak pengelolaan sumber daya alam tidak merugikan masyarakatnya sendiri dan tidak merusak lingkungan hidup. Sumber daya alam sebenarnya mempunyai peran ganda dalam kehidupan manusia yaitu, sebagai sektor perekonomian dan sekaligus sebagai penyeimbang system kehidupan. Maka dari itu sumber daya alam di Indonesia hingga saat ini masih menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Maka sangatlah perlu diadakannya pengelolaan sumber daya alam yang baik sehingga dalam pengelolaan sumber daya alam juga harus melihat faktor lingkungan hidup.
Pengelolaan sumber daya alam Indonesia memang banyak dikuasai oleh asing, berdasarkan harian kompas pada tahun 2012 dari total pertambangan yang ada di Indonesia pihak Pertamina selaku perusahaan yang mempunyai hak untuk mengelola minerba hanya menguasai 30% dari seluruh pertambangan. Pengelolaan sumber daya alam yang tidak memihak kepada masyarakat Indonesia sendiri disinyalir kurang percayanya pemerintah terhadap perusahaan yang mengelola sumber daya alam khususnya minerba. Banyak sekali perusahaan asing yang menguasai kekayaan alam Indonesia sehingga masyarakat negeri ini seperti tidak bisa menikmati kekayaan alamnya sendiri. Sebenarnya sudah dijelaskan dalam UUD 1945 pada pasal 33 dimana bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk kemakmuran masyarakatnya sendiri. Akan tetapi pada kenyataannya hal ini tidak pernah terjadi kekayaan alam yang kita miliki diberikan kepada asing melalui investor-investor asing yang menanamkan sahamnya di Indonesia.
Kurang percaya apemerintah terhadap anak bangsa sendiri disinyalir menjadi salah satu kelasalahan besar, dimana kalau kita lihat bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai jumlah penduduk terbesar ke 4 di dunia. Banyaknya perguruan tinggi dan banyaknya anak bangsa yang mempunyai kemampuan dalam bidang-bidang tertentu seakan-akan tidak digunakan oleh pemerintah untuk memajukan negaranya. Selain kurang percayanya pemerintah terhadap anak bangsa sendir adalah kurang tegasnya pemerintah dalam hal menegakkan peraturan hokum yang sesuai dengan UU. Pemerintah lebih takut kehilangan investor asing dibandingkan dengan mensejahterakan masyarakatnya sendiri. jika hal ini tidak diperbaiki terutama dalam hal pengelolaan sumber daya alam maka tidak menutup kemungkinan Indonesia yang sekarang menjadi Negara kaya akan sumber daya alam, pada beberapa tahun kedepan akan menjadi salah satu Negara termiskin karena kegagalan pemerintah dalam memanfaatkan sumber daya alam yang dimilikinya.
B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan maka permasalahan yang ada dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana peran Negara dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia?”



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
C.    TINJAUAN PUSTAKA
No
Judul
Nama
Hasil Penelitian
1.
Otonomi Daerah Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam :
Kasus Pengelolaan Hutan Di Sulawesi Selatan
Baharuddin Nurkin
Masih banyaknya tumpang tindih peraturan tentang pengelolaan sumber daya alam. Untuk mencegah kerusakan lingkungan maka Pemda harus menerapkan prinsip sebagai berikut: prinsip tanggungjawab atas kerusakan lintas batas, Rasionalisasi dan persamaan pemanfaatan sumberdaya.
2.
Pengelolaan Sumberdaya Tidak Pulih Berbasis Ekonomi Sumberdaya (Studi Kasus: Tambang Minyak Blok Cepu )
Irmadi Nahib
Pengelolaan tambang minyak berdasarkan pendekatan teori ekonomi sumber daya dibagi menjadi 3 diantaranya adalah: Menjaga ilkim investasi, Pendekatan ekonomi mikro, Pengaruh discaunt rate (suku bunga) terhadap ekstraksi sumber daya alam, Penurunan kesejahteraan masyarakat akibat eksploitasi sumber daya alam oleh asing.
3.
Peran Ekonomi Politik Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu Dalam Mendorong Pembangunan Berkelanjutan
Tajerin
Dalam pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan masih terjadinya tumpang tindih antar kelembagaan yang ada serta lemahnya penegakan hukum. Masih adanya kendalam dimana pemerintah belum menerapkan prinsip-prinsip good governance.
4.
Good Governance Dalam Pengelolaan Energi Dan Sumberdaya Mineral
Tridoyo Kusumastanto
Arief Budi Purwanto
Luky Adrianto
Pemanfaatan sumber daya energy dan sumber daya mineral harus berpijak pada kaidah-kaidah pembangunan yang bertumpu pada masyarakat. Dengan adanya desentralisasi maka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya harus diperhatikan terutama menyangkut pengelolaan lingkungan yang terkait dengan aktivitas pemanfaatan energi dan sumberdaya mineral, serta menyangkut hajat hidup orang banyak.
5.
Pengelolaan Sumber Daya Alam
Berbasis Kelembagaan Lokal
Hidayat
Ada 2 paradigma dalam pengelolaan sumber daya yaitu paradigma mekanistis-reduksionis dan paradigma ekologis. Dalam hubungannya dengan sumberdaya alam, pendekatan ekologi lebih multidimensi, tidak hanya memperhitungkan aspek dan manfaat ekonomi, tetapi juga berbagai aspek dan dimensi selain manfaat ekonomi. Maka pendekatan ekologis inilah yang sering digunakan dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis kelembagaan local.
6
Pengelolaan Sumber Daya Alam Tambang
Marilang
Prinsip-prinsip hukum pengelolaan sumberdaya alam tambang seharusnya didasarkan pada asas-asas: Tanggung jawab negara, asas manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan, dan asas keberlanjutan. Asas-asas ini seyigyanya terwujud demi kesejahteraan masyarakat.
7
Pengelolaan Penambangan Bahan Galian Golongan C di Kabupaten Merauke
Frida Rissamasu, Rahim Darma dan Ambo Tuwo
Belum adanya kawasan khusus untuk penambangan bahan galian C, serta masih adanya kendala yang mempengaruhi pengelolaan hasil tambangan golongan C diantaranya adalah peraturan daerah yang belum ada, kemampuan sumber daya manusia, status ekonomi dan tingkat pendidikan.
8
Peran Negara dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Dwi Condro Triono
Persoalan sumber daya alam di Indonesia bukan terletak pada kelangkaan, kemahalan dan kesulitan mendapatkan sumber daya alam. Akan tetapi bermuara kepada keputusan politik ekonomi dari pengelolaan sumber daya itu sendiri. apakah pengelolaan akan berpihak kepada kepentingan segelintir kaum kapitalis ataukah akan mengabdi kepada kepentingan rakyat sebagai pemilik hakiki dari SDA.
9
Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam (Tinjauan Yuridis Kekhususan Suatu Daerah Dalam Sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia)
Dwi Kherisna Payadnya, dan
I Wayan Suarbha
Pemberian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal pengelolaan sumber daya alam, hal tersebut sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemberian kewenangna ini berdasarkan asas desentralisasi dimana asas ini melimpahkan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.




10
Politik Hukum Pengelolaan Minyak Dan Gas Bumi Di Indonesia
Indah Dwi Qurbani
Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dalam pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi bahan hukum berdasarkan konsep hak menguasai negara. Negara berfungsi sebagai pengatur, pengurus dan pengawas juga hubungannya dengan relasi negara terhadap ekonomi. Periodisasi perkembangan politik hukum minyak dan gas bumi di Indonesia, telah memberi penekanan pendekatan yang berbeda.

D.    KERANGKA TEORI
1.      Ekonomi Politik
Ekonomi politik merupakan sebuah pandangan yang tidak dapat dipisahkan, dimana kedua disiplin ilmu tersebut saling berkaitan. Sering sekali diasumsikan bahwa ekonomi politik adalah integrasi antara ilmu ekonomi dengan politik. Jika ilmu ekonomi dan ilmu politik disatukan secara konseptual, maka ekonomi politik tidak dapat lagi dipandang sebagai hubungan antara dua jenis telaah yang berbeda. Jikalau ekonomi dan politik dibedakan, hal ini tidak berarti bahwa keduanya benar-benar terpisah sepenuhnya, terisolasi dari yang lain atau tidak peduli terhadap yang lain.
Ekonomi politik Keynesian merupakan salah satu kritik lanjutan terhadap ekonomi politik klasik/nonklasik yang menempatkan pasar mandirisebgai instrument yang dianggap bisa memandu terciptanya kesejahteraan setiap umat manusia. Caporaso dan Levine mengatakan dalam bukunya Ahmad Erani Yustika (2014) bahwa dalam pandangan para penganut mazhab Keynesian, ketiadaan regulasi yang diciptakan oleh Negara pasti menyebabkan terjadinya eskploitasi terhadap sumber daya produktif masyarakat tertentu. Pendekatan ekonomi politik Keynesian dalam derajat tertentu menghendaki adanya peran Negara dalam aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, sepanjang mekanisme pasar tidak mengalami kegagalan, Negara tidak diizinkan untuk mengintervensi pasar. Lebih lanjut, fokus utama dari ekonomi politik Keynesian adalah terciptanya fokus utama stabilitas proses produksi dan pertumbuhan yang dikelola oleh kelompok pemodal. Dengan aktivitas ini dipastikan kegiatan prosuksi sekaligus transaksi perdagangan yang dipelopori dengan aktor utama pemilik modal akan dapat mendonasikan pendapatan yang besar bagi Negara.
Dalam pandangan keynesian ini peran negara dalam mencampuri aktifitas ekonomi dibatasi dalam hal ketika mekanisme pasar mengalami kegagalan dalam. Oleh karena itu selama mekanisme pasar masih normal peran negara dalam mencampuri aktifitas ekonomi tidak diperbolehkan. Bagi keynes, dalam mekanisme pasar diyakini akan terjadi kegagalan pembelian. Dengan membiarkan terus aktifitas produksi secara bebas akan menciptakan penawaran produk yang berlimpah, sehingga terjadi akumulasi penawaran. Pada sisi lain, dengan terus mendorong aktifitas produksi mengakibatkan daya beli masyarakat tidak kunjung meningkat. Namun dalam hal ini keynes sangat berbeda pandangan dengan Adam Smith dimana Adam Smith sangat anti dengan campur tangan pemerintah.
Kritik dari pendektan Keyneisian mengatakan bahwa kegagalan untuk menemukan pembeli bisa jadi merupakan masalah sistemik yang tidak ada hubungannya dengan ketidakcocokan antara apa yang diproduksi dengan apa yang diperlukan, melainkan bisa disebabkan karena kegagalan dari mekanisme pasar itu sendiri untuk menarik pembeli-pembeli yang memiliki daya beli yang cukup. Dengan kata lain pasar gagal dalam mempertemukan permintaan dengan pasokan, sehingga berhasil atau tidak berhasil memanfaatkan keseluruhan kapasitas produksi yang tersedia dalam masyarakat. Dimana kritik dari teori Keyneisian ini akan berusahan untuk mempertimbangkan kembali hubungan antara politik dan pasar. Namun banyak sekali para pakar ekonomi politik yang menganut aliran Keyneisian menyimpulkan bahwa kegagalan dalam permintaan agregat kegagalan dari pasar untuk menarik konsumen-konsumen dalam jumlah yang sesuai dengan pasokan yang ada dalam pasar-pent tidak harus diperlakukan sebagai sebuah masalah politik. Para ekonomi Keyneisian mengajukan argument bahwa stabilitas dan kecukupan dari fungsi pasar bisa didapatkan dengan menggunakan mekanisme-mekanisme otomatis, yaitu dengan menggunakan sarana administrasi dan bukan dengan cara politik.
Dalam teori Keyneisian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pasar, tenaga kerja, dan tabungan, dimana ketiga unsur tersebut mempunyai implikasi yang luas aterhadap ekonomi politik. Dari ketiga unsure tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perlu adanya intervensi Negara untuk membantu mendefinisikan peran dari Negara dalam hubungannya dengan perekonomian. Negara bertindak untuk mewujudkan kondisi makro ekonomi yang diperlukan agar upaya individu-individu untuk mengejar kepentingan pribadinya sendiri tidak membawa dampak yang negatife. Maka menurut James A. Caporaso dan David P. Levine, (2008:286) mengatakan bahwa kebijakan stabilitas yang dapat dilakukan Negara difokuskan terutama pada kondisi-kondisi  sistematik dalam tiga bidang: (a) permintaan agregat, (b) sektor finansial, dan (c) harga. Dalam hal ini Negara terhubung lewat titik dengan aliran sirkular diantarany adalah sebagai berikut:
·         Pengeluaran pemerintah. Pemerintah menggunakan pendapatannya untuk membeli barang dari sektor swasta, menyerap tenaga kerja, memberikan pendapatan bagi konsumen dan terhadap berbagai lembaga tanpa memperhitungkan apa kegiatan ekonomi yang dilakukan individu dan lembaga.
·         Pinjaman pemerintah. Salah satu sumber pendapatan Negara yang digunakan untuk melakukan pengeluaran pemerintah yang sudah disebutkan di atas adalah dengan meminjam dari sektor swasta.
·         Pajak. Negara dapat mendanai kegiatan-kegiatannya tanpa harus meminjam yaitu dengan cara mencetak uang atau lewat pajak.

2.      Sumber Daya Alam
Rees (1990) diacu Fauzi (2004), sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai sumber daya harus :1) ada pengetahuan, teknologi atau keterampilan untuk memanfaatkannya dan 2) harus ada permintaan (demand) terhadap sumberdaya tersebut. Dengan kata lain sumberdaya alam adalah faktor produksi yang digunakan untuk menyediakan barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi. Secara umum sumberdaya alam dapat diklasifikasi kedalam dua kelompok, yaitu :
1.      Kelompok Stok (Non Renewable)
Sumberdaya ini dianggap memiliki cadangan yang terbatas, sehingga eksploitasinya terhadap sumberdaya tersebut akan menghabiskan cadangan sumberdaya, sumber stok dikatakan tidak dapat diperbaharui (non renewable) atau terhabiskan (exhuastible)
2.      Kelompok flow
Jenis sumberdaya ini dimana jumlah dan kualitas fisik dari sumberdaya berubah sepanjang waktu. Berapa jumlah yang kita manfaatkan sekarang, bisa mempengaruhi atau bisa juga tidak mempengaruhi ketersediaan sumberdaya di masa mendatang. Sumberdaya ini dikatakan dapat diperbaharui (renewable) yang regenerasinya ada yang tergantung pada proses biologi dan ada yang tidak.
Sumberdaya alam tidak dapat terbarukan atau sering juga disebut sebagai sumberdaya terhabiskan adalah sumberdaya alam yang tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis. Sumberdaya alam ini terbentuk melalui proses geologi yang memerlukan waktu sangat lama untuk dapat dijadikan sebagai sumberdaya alam yang siap diolah atau siap pakai. Jika diambil (eksploitasi) sebagian, maka jumlah yang tinggal tidak akan pulih kembali seperti semula. Salah satu yang termasuk dalam golongan sumberdaya tidak dapat terbarukan adalah tambang minyak. Tambang minyak memerlukan waktu ribuan bahkan jutaan tahun untuk terbentuk karena ketidakmampuan sumberdaya tersebut untuk melakukan regenerasi. Sumberdaya ini sering kita sebut juga sebagai sumberdaya yang mempunyai stok yang tetap. Sifat-sifat tersebut menyebabkan masalah eksploitasi sumberdaya alam tidak terbarukan (non renewable) berbeda dengan ekstrasi sumberdaya terbarukan (renewable). Pengusaha pertambangan atau perminyakan, harus memutuskan kombinasi yang tepat dari berbagai faktor produksi untuk menentukan produksi yang optimal, dan juga seberapa cepat stok harus diekstraksi dengan kendala stok yang terbatas.







BAB III
PEMBAHASAN
A.    PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
Kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia sangatlah melimpah, dimana sumber daya alam yang dimiliki bukan hanya disektor minerba saja akan tetapi masih banyak sekali sumber daya alam, seperti halnya di sektor pertanian dan perkebunan, sektor perikanan dan kelautan. Hal itu merupakan sebuah anugrah yang sangat besar bagi sebuah negera. Indonesia negera yang kaya akan sumber daya alam dan mempunyai keanekaragaman hayati, serta Indonesia dijuluki sebagai Negara surga dengan suburnya tanah dan banyaknya lautan yang ada di Indonesia mengakibatkan banyak masyarakat Indonesia yang bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Pada kenyataannya dengan suburnya tanah dan melimpahnya kekayaan laut, serta mata pencaharian sebagian besar masyarakat adalah petani dan nelayan tetapi pemerintah masih saja impor akan kebutuhan sehari-hari seperti halnya kedelai, garam dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwasannya pemerintah tidak percaya terhadap masyarakat negerinya sendiri, sehingga hasil pertanian dari dalam negeri tidak digunakan sama sekali.
Persahabatan antara alam dengan manusia berakhir bila kerakusan telah mengalahkan akal sehat. Hal inilah yang terjadi di Indonesia saat ini, sehingga dengan hamparan sumber daya alam yang melimpah seakan menjadi kutukan/curse bagi Indonesia. Dalam konteks ekonomi, sudah lama disimpulkan bahwa kelimpahan sumber daya alam suatu Negara malah menjerumuskan Negara tersebut dalam jurang kemiskinan yang dalam, sehingga muncul istilah resource curse hypothesis. Menurut Stiglitz dalam bukunya Amien Rais (2008:42) kutukan sumber daya alam yang harus dihilangkan dari Negara-negara berkembang. Yang maksudnya setiap Negara berkembang yang mempunyai kekayaan alam melimpah pasti masyarakatnya hidup dengan kemiskinan, dimana hal itu sudah terjadi hampir diseluruh negera berkembang contohnya saja Indonesia, Subhara Afrika dan lain sebagainya. Jika suatu Negara tidak bisa membatasi masuknya era globalisasi maka sebuah Negara tersebut akan terjerumus dalam kemiskinan dan kurangnya kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Dengan adanya kutukan sumber daya alam diberbagai Negara berkembang menunjukkan bahwa adanya paradox of plenty. Paradok antara sumber daya alam yang melimpah disebuah Negara dan kemelaratan rakyat yang merata di dalam tubuh bangsa yang bersangkutan. Karena dengan kekayaan alam yang dimiliki sebuah Negara seringkali membuat sebuah bangsa menjadi miskin, tidak produktif, cenderung malas, dan memerosotkan industry manufakatur, industry pertanian, dan gilirannya menurunkan ekspor pertanian. Selain itu juga yang paling berbahaya bagi sebuah Negara yang mempunyai kekayaan alam melimpah adalah korupsi yang dilakukan oleh para petinggi-petinggi Negara baik pusat maupun daerah. Menurut Ahmad Erani Yustika (2014:201-202) ada dua hal mengapa Negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam mengalami kutukan sumber daya alam yang pertama, bahwa biasanya Negara yang dikaruniai sumber daya alam pemerintahnya terlambat memulai proses insdustrialisasi. Kedua, pemerintah suatu Negara yang kaya akan sumber daya alam cenderung terjerumus dalam formulasi kebijakan yang buruk (bad poliies). Dua sebab inilah yang menyebabkan asset sumber daya alam yang dimiliki justru menjadi kutukan (curse) bagi sebagian besar Negara yang memiliki kekayaan ekonomi berbasis sumber daya alam.
Kutukan pengelolaan sumber daya alam tersebut akibat dari ulah pemerintah yang menerima system liberalisasi secara mentah-mentah, sehingga mengakibatkan banyaknya penjajahan-penjajahan yang dilakukan oleh Negara asing melalui lubang tambang. Hal ini sungguh sangat memprihatinkan dimana sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia tidak bisa dinikmati oleh masyarakatnya secara langsung. Jika pemerintah tidak menerima system liberalisasi secara mentah mungkin masyarakat Indonesia bisa menikmati kekayaan alam yang dimiliki Negara ini. Akibat dari penerapan system dan pengelolaan sumber daya alam yang diserahkan kepada asing mengakibatkan banyaknya masyarakat yang miskin, sehingga hal ini sangat mempunyai dampak bagi perekonomian Indonesia. Sumber daya alam merupakan sumber ekonomi bagi sebuah bangsa, dimana dengan pengelolaan sumber daya alam yang baik dan dikelola oleh Negara sendiri maka secara tidak langsung dampak yang akan dirasakan adalah pendapatan Negara dan  kesejahteraan masyarkat yang semakin meningkat.
 Pengelolaan sumber daya alam yang terjadi di Indonesia saat ini adalah pengelolaan yang mengedepankan kepentingan para pejabat dan Negara asing dibandingkan kepentingan bagi kesejahteraan masyarakatnya sendiri. Indonesia sebagai Negara berkembang yang mempunyai kekayaan alam melimpah seharusnya mempunyai strategi sendiri dalam menghadapi globalisasi, sehingga asset Negara seperti kekayaan alam baik yang dapat diperbaharui maupun tidak dapat diperbaharui bisa terselamatkan. Contoh Negara yang menghadapi globalisasi dengan caranya sendiri dan kini menjadi Negara yang maju adalah sebagai berikut: Norwegia adalah salah satu Negara maju dan sekarang menjadi model pertambangan yang baik. Dimana Negara ini bisa memperkirakan kekayaan alam yang dimilikinya sehingga mereka bisa menyisakan penghasilan kekayaan alam untuk stabilisasi perekonomian Negara. Banyak sekali contoh Negara yang mempunyai kekayaan alam dan sekarang menjadi salah satu Negara maju dalam perindustrian.
Dari era orde baru sampai sekarang pengelolaan sumber daya alam yang kita  miliki lebih banyak dikuasai oleh asing, hal ini sudah terlihat dari banyaknya perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia serta menguasai aset-aset Negara yang strategis. Sudah banyak sekali contoh sumber daya alam yang dikuasai oleh asing seperti pertambangan emas terbesar di Indonesia yang dikuasai oleh freport dan Newmont serta masih banyak lagi perusahaan asing yang menguasai sumber daya alam sektor pertambangan dan migas. Berdasarkan harian kompas pada tahun 2012 dari total seluruh sumber daya alam yang dikuasai oleh asing Indonesia sebagai Negara yang mempunyai kekayaan alam tersebut hanya menguasai 30% dari total sumber daya alam sektor minerba. Dengan banyaknya jumlah sumber daya alam yangdikuasai oleh asing rata-rata masyarakat disekitarnya berkehidupan dengan kemiskinan, hal ini disinyalir bahwasannya perusahaan asing yang menguasai sumber daya alam di Indonesia lebih memilih pegawai dari negaranya sendiri dibandingkan dengan memanfaatkan masyarakat sekitarnya.
Sumber daya alam Indonesia yang dikuasai oleh asing bukan hanya sumber daya alam disektor minerba akan tetapi disektor kehutanan dan perkebunan juga sangat banyak, seperti halnya perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di Sumatra dan Kalimantan serta banyak lagi perusahaan asing yang menguasai sumber daya alam di Indonesia. Terjadinya penguasaan sumber daya alam oleh asing ini juga dipengaruhi oleh sikap pemerintah baik pusat maupun daerah. Dimana era otonomi daerah ini seluruh daerah berhak mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Oleh karena itu pemerintah daerah juga mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pemberian ijin penambangan maupun pembukaan hutan untuk dijadikan sebuah perkebunan. Selain pemberian ijin dalam pembukaan perkebunan pemerintah juga mempunyai wewenang untuk menentukan sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah akan dikelola oleh asing atau dikelola oleh perusahaan BUMN.
Banyaknya penguasaan asing terhadap sumber daya alam di Indonesia tidak lantas menjadikan kehidupan dan perekonomian masyarkat menjadi lebih baik. Oleh karena itu pengausaan asing terhadap sumber daya alam harus dikaji ulang demi masa depan bangsa dan Negara, serta demi keberlangsungan perekonomian bagi masyarakat dan pemerintah. Jika pemerintah tidak berani mengkaji ulang sistek kontrak kerja perusahaan asing yang ada di Indonesia maka kemungkinan besar anak cucu bangsa ini tidak bisa menikmati hasil sumber daya alam yang ada di negerinya sendiri, serta tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia yang terkenal dengan kaya akan sumber daya alam akan menjadi sebuah Negara gagal dan kemiskinan melanda masyarakat negeri ini. Oleh karena itu penting bagi pemerintah selain mengkaji ulang kontrak kerja perusahaan asing yang menguasai sumber daya alam baik yang diperbaharui maupun tidak dapat diperbaharui, maka pemerintah harus mempunyai inisiatif untuk mengembangkan proses pengelolaan terhadap sumber daya alam yang telah diproduksi di Indonesia, khususnya disektor pertanian, perikanan dan perkebunan. Kasus dalam hal industry manufactur adalah, Indonesia sebagai Negara terbesar ke dua eksportir minyak sawit, akan tetapi Indonesia menjal produk dalam bentuk bahan mentah sehingga tidak terlalu memiliki nilai tambah. Hal ini juga terjadi disektor perikanan dan pertambangan, padahal jika hal ini dikembangkan maka implikasi yang dapat dirasakan adalah penyerapan tenaga kerja , peningkatan perekonomian bagi masyarakat, mengurangi pengangguran serta peningkatan nilai tambah sungguh sangat besar.
Dalam pengelolaan pertambangan terjadi lemahnya penerapan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan baik di level Pusat maupun Daerah. Oleh karena itu jika dilihat dari prinsip-prinsip good governance pengelolaan sumber daya ekonomi strategis yang ada di Indonesia, maka prinsip-prinsi transparansi, akuntabilitas, partisipasi dan keadilan/hukum belum diterapkan dengan benar. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut:
·         Transparansi, dalam pemberian perizinan pertambangan  seharusnya diikuti dengan  keterbukaan yang berbentuk  kemudahan akses  informasi bagi masyarakat terhadap proses pemberian perizinan pertambangan dan juga dalam melihat dampak dari pemberian izin tersebut. Dalam hal pemberian izin pertambangan pemerintah lebih mudah memberikan izin kepada investor asing dengan alasan investor asing lebih menjanjikan.
·         Akuntabilitas, belum adanya rasa tanggungjawab perusahaan asing yang mengelola pertambangan sebagai sektor ekonomi di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari banyaknya pembuangan limbah pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan asing, sehingga terjadi pencemaran lingkungan dan lain-lain. Dalam hal ini negera Indonesia dan  masyarakatlah yang merasakan dampak dari pengelolaan pertambangan yang tidak bertanggungjawab. Selain merasakan dampak dari pengelolaan pertambangan generasi masa depan negeri ini telah dirugaikan, dimana kekayaan alam yang seyogyanyabisa digunakan untuk masa depan bangsa telah habis dirampok Negara asing.
·         Partisipasi, belum adanya keterlibatan masyarakat dalam pembentukan kebijakan publik yang akan diimplementasikan kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak bisa berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Hal ini sudah terbukti dengan UU no.10/2001, belum memberikan sarana untuk partisipasi masyarakat dlm pembuatan berbagai perat perund-undangan. UU no. 11/1967, tidak memberikan sama sekali kesempatan kepada masy utk turut berpartisipasi di bidang pertambangan. UU no.4/2009, tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilanm kebijakan di bidang pertambangan.
·         Rule of law atau ketidakadilan, rumitnya regulasi-regulasi pertambangan dalam mengontrol perusahaan-perusahaan tambang. Regulasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang seringkali dibuat tidak komperehensif dengan mempertimbangan kepentingan semua pihak. Banyak peraturan daerah juga kerap tumpang tindih dengan regulasi yang ada sebelumnya, dan tidak sedikit pula yang bertolak belakang satu sama lain. Selain itu penerapan hukum terhadap pembagian hasil pertambangan masih simpang siur, dimana masyarakat sekitar area pertambangan tidak mendapatkan apa-apa sedangkan pejabat-pejabatlah yang mendapatkan pembagian hasil tersebut.
Pertambangan sebagai sumber ekonomi nasional tidak luput dari kelemahan dan kekuatan. Dimana sektor pertambangan seperti buah simalakama, yang membawa keuntungan dan kerugian bagi suatu negara. Pada awalnya, setiap orang akan merasa gembira ketika suatu lahan pertambangan dibuka di daerahnya. Mereka akan berharap bahwa mereka akan mendapat pekerjaan yang layak, terjadi peningkatan anggaran daerah dan peningkatan ekonomi masyarakat. Namun pada akhirnya industri pertambangan yang dipromosikan menunjukan awal suatu keburaman masa depan generasi yang akan datang daerah. Satu persatu kasus pertambangan batubara menunjukan petaka bagi warganya, mulai dari polusi udara, polusi suara, polusi air, polusi tanah, banjir dan longsor. Pengelolaan sumberdaya alam harus tetap mengedepankan kelestarian sumberdaya alam dan kesejahteraan rakyat. Proses penyusunan undang-undang dan juga implementasi teknis (seperti kontrak karya) harus transparan (Jurnal, Irmadi Nahib).
B.     WEWENANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM ANTARA PUSAT DAN DAERAH
1.      Regulasi Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pemerintah memang mempunyai wewenang yang sangat sentral dalam pengelolaan sumber daya alam, dimana pemerintah sebagai wakil Negara untuk mengelola sumber daya alam haruslah bersikap adil. Karena yang terjadi selama ini pengelolaan sumber daya alam di Indonesia tidak terlalu merata, dimana pemerintah pusat lebih mendapatkan hasil yang banyak dibandingkan dengan daerah yang mempunyai sumber daya alam tersebut. Dalam bidang lingkungan hidup kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah sangat menentukan akan tetapi dengan adanya UU No 22 tahun 1999, tentang Otonomi Daerah maka kewenangan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup menjadi terbagi dua hal ini dapat dicermati dalam pasal 7 UU No 22 tahun 1999, yaitu:
·         Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintah, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
·         Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat(1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
Dengan adanya UU otonomi daerah yang sekarang dirubah menjadi UU No 32 Tahun 2004, ini telah dibagi kewenangan antara puat dan daerah. Dimana daerah bisa mengelola sumber daya alam sendiri tanpa campur tangan pemerintah pusat. Dengan adanya desentralisasi maka kemampuan masyarakat dan sumberdaya yang ada dapat dimobilisasi dengan lebih baik. Dengan cara seperti ini maka program seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, upaya rehabilitasi hutan dan lahan, dan pembangunan pertanian dapat direalisasi lebih cepat dan lebih terarah. Bertumpu pada kemampuan lokal dari masyarakat dan sumberdaya ini maka upaya menolong diri sendiri akan lebih menonjol dalam mengatasi masalah lokal, tidak tergantung kepada bantuan dari pusat dan dari luar.
Adanya kebijakan desentralisasi yang didorong pemerintah juga akan membawa beberapa konsekuensi. Daerah yang kaya sumber daya alam akan banyak menikmati manfaat dari bentuk pembagian pendapatan daerah yang baru ini. Misalnya, daerah penghasil produk pertambangan, kehutanan dan perikanan, kini akan menerima 80% dari penerimaan pendapatan tersebut, sementara pemerintah pusat hanya menerima sisanya, yaitu 20%. Daerah penghasil minyak akan menerima 15% dari seluruh pendapatan yang diterima dari eksploitasi kekayaan alam ini, sedangkan daerah penghasil gas alam menerima 30% (Jurnal, Tridoyo Kusumastanto Dkk). Dengan adanya pembagian wewenang dalam pengelolaan sumber daya alam ini maka harapannya adalah untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam menerapkan dan mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik karena para pengambil keputusan berada dan lebih dekat dengan masyarakat setempat. Karena pemerintah daerah lebih mengetahui permasalahan masyarakatnya sendiri dibandingkan dengan pemerintah pusat.
Kewenangan pemerintah daerah di Indonesia dalam pengelolaan sumber daya alam menggunakan asas desentralisasi dimana asas ini melimpahkan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Jurnal, Dwi Kherisna Payadnya dan I Wayan Suarbha). Dengan demikian pelimpahan wewenang dalam hal pengelolaan sumber daya alam akan mewujudkan pembangunan daerah yang partisipatif, pemerataan pendapatan, pengentasan kemiskinan, karena dengan adanya sumber daya alam yang dimanfaatkan dan dikelola oleh daerah maka harapan paling besar adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu juga pemanfaatan sumber daya alam juga harus bertanggung jawab dalam menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan memperhatikan lingkungan hidup. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan dengan adanya pembagian wewenang pengelolaan sumber daya alam di daerah ini terdapat kelemahan yang diakibatkan dari penerapan desentralisasi yang dapat menyebabkan penyimpangan (Jurnal Baharudin Nurkin). Adapun kelemahannya adalah:
·         Apabila tidak disertai tangung jawab dalam kewenangan dan kemampuan dalam pengelolaan serta dukungan kapasistas kelembagaan yang memadai.
·         Kecenderungan untuk meningkatakan pendapatan daerah menyebabkan pengurasan dan ketidakberlajutan pemanfaatan sumber daya alam.
·         Eskternalitas yang timbul tidak hanya merugikan satu sektor atau daerah itu sendiri tetapi menyebabkan kerugian yang bersifat multisektor dan melampui batas-batas administrasi suatu daerah hingga memberikan dampak yang bersifat regional bahkan rasional.
Hal tersebutlah yang menjadi kelemahan dalam desentralisasi pemanfaatan sumber daya alam, sehingga tidak menutup kemungkinan akan timbul proses kebebasan yang tidak terkendali dari pemerintah-pemerintah daerah termasuk dalam pemanfaatan sumberdaya alam berupa hutan yang ada di dalam wilayah administratif mereka. Hal ini sudah banyak terjadi, setelah adanya UU otonomi daerah maka pembagian kewenangna pengelolaan sumber daya alam memang dibagi, akan tetapi dalam pembagian ini pemerinah daerah lebih memanfaatkan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Contohnya kita lihat kabupaten Kutai salah satu kabupaten dengan PAD terbesar di Indonesia, akan tetapi banyak sekali masyarakatnya yang belum merasakan kesejahteraan, dimana masih banyak masyarakat yang berekonomi rendah dan lain sebagainya. Oleh karena itu desentralisasi pengelolaan sumber daya alam belum bisa menjamin kesejahteraan masyarakat sekitarnya, karena kebanyakan yang terjadi adalah hasil sumber daya alam tersebut dikuasai oleh pejabat-pejabat daerah dan pejabat pusat. Oleh karena itu masih banyak sekali masyarakat yang berekonomi rendah.
2.      Implementasi Pengelolaan Sumber Daya Alam
 Pengelolaan sumber daya alam yang ada di Indonesia memang lebih banak dikuasai oleh asing, hal ini dapat dilihat dari banyaknya perusahaan asing yang megnelola sektor pertambangan baik batubara, emas, maupun minyak dan gas, selain dari banyaknya perusahaan asing hal ini dapa didukung juga dengan data dari Harian Kompas pada tahun 2012 dimana jumlah perusahaan asing yang menguasai pertambangan di Indonesia adalah sebesar 70% sedangkan Pertamina hanya 30% menguasai total dari jenis pertambangna di negeri sediri. Penguasaan sumber daya lam yang ada memang dirasakan tidak adil, dimana Negara yang kaya akan sumber daya alam seperti dikuasai oleh Negara asing. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi dimana jika tidak segera diselesaikan maka secara berlahan Indonesia akan menajdi Negara miskin dan secara tidak langsung Indonesia pada saat ini belum merdeka secara utuh. Dengan banyaknya penguasaan asing terhadap sumber daya ala mini tidak lantas membuat pemerintah menjadi sadar, hal ini diperparah dengan pengelolaan sumber daya alam minyak blok Cepu.
Implementasi pengelolaan sumber daya alam memang sangat memprihatinkan, dimana pengelolaan sumber daya alam merupakan lahan basah bagi pejabat-pejabat tinggi Negara hal ini dapat dilihat dari proses pengelolaan minyak blok Cepu. Dimana pengelolaan minyak Blok Cepu dikuasai oleh Exxon Mobil sampai 2036 hal ini sungguh sangat menyedihkan, dimana acadangan minyak yang melimpah yang seharusnya bisa dikuasai oleh Negara dan untuk kepentingan masyarakat malah diberikan kepada Negara asing. Ikatan sarjanah Geologi Indonesia sudah menyatakan bahwa mereka lebih dari mampu untuk menjadi operator tambang minyak di Blok Cepu dikatakan dalam bukunya Amien Rais tentang Selamatkan Indonesia (2008:51), selain ikatan sarjanah geologi sebeleumnya Pertamina yang notabennya sebagai perusahaan Negara menyatakan juga sanggup akan tetapi semuanya ditolak dan pada akhirnya pemerintah menunjuk Exxon Mobile sebagai pengelola. Hal ini sungguh sulit diterima, dimana secara tidak langsung pasti ada dugaan yang mengatakan pasti ada oknum-oknum yang memberikan sogokan/suap besar kepada sejumlah petinggi Indonesia sehingga pengelolaan jatuh ketangan Exxon Mobile sampai tahun 2036.
Dengan adanya pelimpahan wewenang dari pusat dan daerah tidak lantas merubah kebijakan pembagian hasil dalam pengelolaan sumber daya alam. Masih banyak sekali pembagian hasil pengelolaan sumber daya alam yang ada di Indonesia yang berpihak kepada Negara asing. Banyaknya Negara asing yang menguasai sumber daya alam Indonesia menjadi bukti bahwasannya dalam pembagian hasil pengelolaan belum berpihak kepada masyarakat, hal ini didukung juga dengan banyaknya kemiskinan di Indonesia. Kebijakan desentralisasi yang didorong pemerintah juga akan membawa beberapa konsekuensi. Daerah yang kaya sumber daya alam akan banyak menikmati manfaat dari bentuk pembagian pendapatan daerah yang baru ini. Misalnya, daerah penghasil produk pertambangan, kehutanan dan perikanan, kini akan menerima 80% dari penerimaan pendapatan tersebut, sementara pemerintah pusat hanya menerima sisanya, yaitu 20%. Daerah penghasil minyak akan menerima 15% dari seluruh pendapatan yang diterima dari eksploitasi kekayaan alam ini, sedangkan daerah penghasil gas alam menerima 30% (Jurnal, Tridoyo Kusumastanto Dkk).
Tujuan dibentuknya desentralisasi adalah untuk mensejahterakan masyarakat daerah, dimana dalam desetralisasi pemerintah daerah diberi kewenangan seluas-luasany untuk mengelola dan membentuk daerahnya sesuai dengan kearifan lokal. Akan tetapi yang terjadi di daerah adalah para elit politik dan pejabat daerah lebih memperkaya disi sendiri dibandingkan dengan mensejahterakan masyarakatnya. Dimana dengan adanya keleluasaan dalam pengeliolaan sumber daya alam maka para elit daerah bisa bergerak sesuka hati memikirkan masyarakatnya. Seperti halnya yang terjadi di Kabupaten Mesuji, dimana investor asing yang akan membuka lahan perkebunan sawit diberikan ijin, sedangkan tanah yang akan ditanami sawit adalah tanah masyarakat sekitar, dan pada akhirnya tejadilah bentrok dan konflik yang sampai saat ini belum selesai. Ini adalah salah satu bukti bahwa elit politik di negeri ini lebih mementingkan perutnya disbanding masyarakat. Ini adalah salah satu implementasi yang terjadi di republik ini, dimana pembagian hasil pengelolaan sumber daya alam belum bisa berpihak kepada masyarakat. Contoh yang lain adalah pertambangan batu bara di Papua, dimana PT Freport adalah PT pertambangan terbesar dan menghasilkan sumber daya alam yang sangat besar dari kandungan bumi Papua. Akan tetapi pada kenyatannya Provinsi Papua masih sangat tertinggal jauh dibangkan dengan provinsi yang tidak mempunyai kekayaan alam melimpah.
3.      Dampak Pengelolaan Sumber Daya Alam Bagi Masyarakat
Sumber daya alam memang sebagai sumber ekonomi nasional, akan tetapi dampak dari pemanfaatan sumber daya alam sangatlah banyak sekali. Dimana dampak dari pemanfaatan sumber daya alam ini lebih dirasakan oleh masyarakat. Dampak dari sumber daya alam pada saat ini sudah dirasakan oleh masyarakat sekitar penambangan, selain itu dampak ini juga dirasakan oleh beberapa daerah dimana sudah banyak sekali bencana alam yang terjadi di Indonesia. seperti yang dirasakan warga Riau dan sekitarnya beberapa bulan yang lalu, dimana kabut asap yang mengepung Riau dan hampir seluruh pulau Sumatra terkepung oleh asap. Hal ini tidak lain adalah bentuk dari eksploitasi sumber daya alam yang ada di Indonesia. selain itu di NTB adanya pencemaran sungai yang diakibatkan oleh pembuangan hasil limbah pertambangan Newmont, hal ini sangat meresahkan warga sekitar. Oleh karena itu pemerintah mempunyai peran penting dalam hal pengelolaan sumber daya alam baik hutan, pertambangan dan lain sebagainya, agar tidak terjadi illegal loging, pencemaran lingkungan serta kerusakan lingkungan. Dengan adanya kontrol dari pemerintah maka pelanggaran dalam hal membuang limbah ini akan sedikit berkurang, apalagi ditambah dengan penegakan hukum tentang kerusakan lingkungan hidup ini akan membantu masyarakat. Karena jika hal ini tidak ditangani maka akan membahayakan bagi masyarakat dan generasi masa datang.
Dampak sosial dari ekstraksi minyak, gas, dan mineral akhir-akhir ini semakin banyak disoroti dunia. Pertama, kegiatan ekstraksi ini biasanya memberikan manfaat ekonomi yang sangat besar, tetapi tidak kepada masyarakat yang tinggal di sekitar tempat ekstraksi. Kegiatan ekstraksi ini biasanya dilakukan dalam bentuk enclave, tanpa ada upaya mengintegrasikan dengan kegiatan sosial-ekonomi di sekitarnya. Sumbangan sektor energi dan sumberdaya mineral terhadap kerekatan sosial di Indonesia dapat diukur melalui indikator-indikator berikut ini (Jurnal, Tridoyo Kusumastanto, Dkk). Pengelolaan sumber daya alam yang berbentuk apapun akan mempunyai dampak lingkungan dalam bentuk polusi dan pengurangan sumber daya alam. Dimana rata-rata pengelolaan sumber daya alam terjadi di tempat-tempat yang ekosistemnya rentan seperti pertambangan di wilayah hutan lindung, dimana eksploitasi sumber daya alam tambang memang sangat menguntungkan akan tetapi meninggalkan dampak yang sangat besar, seperti polusi udara, kerusakan lingkungan hidup, kerusakan hutan yang mengakibatkan bencana alam dan lain-lain (Jurnal, Frida Rissamasu dkk).
C.    EKONOMI POLITIK DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM
Berdasarkan fakta yang ada saat ini memang telah terjadi perkembangan yang sangat mecemaskan dalam hal pemanfaatan sumber daya alam. Dimana sumber daya alam yang ada di Indonesia sudah hamper habis, seperti sumber daya alam tidak terbarukan yang semakin lama semakin habis sehingga sumbangannya terhadap pendapatan nasional kian sedikit. Selain berkurangnya sumber daya alam, maka dampak yang dirasakan dalam eksploitasi sumber daya alam secara besar-besarana adalah kerusakan lingkungan dan banyaknya bencana alam yang tidak tertanggulangi. Dengan banyaknya sumber daya alam yang dieksploitasi maka yang terjadi adalah kerusakan lingkungan dan banyaknya bencana, selain itu juga masa depan anak bangsa yang tidak bisa menikmati kekayaan alam yang kita punyai. Dalam hal pemanfaatan sumber daya alam yang melimpah ada hal yang harus diwaspadai dimana dengan ketidakberdayaan Negara untuk memompa aktivitas ekonomi akibat sumber daya alam yang telah habis, padahal kegiatan ekonomi alternative yang berbasis teknologi belum bisa dijamah.
Akibat banyaknya eksploitasi sumber daya alam yang terjadi maka Indonesia secara tidak langsung sudah merasakan dampaknya. Seperti banyaknya kandungan cadangan minyak bumi yang telah di eksploitasi maka dampaknya pada saat ini adalah Indonesia harus impor minyak untuk memenuhi kebutuhan domestic, sementara pendapatan dari sumber daya alam yang lain semakin menurun. Hal semacam inilah yang dinamakan sebuah kutukan bagi Negara berkembang dengan kekayaan alam yang melimpah menurut Stiglzt. Dimana dalam jangka panjang Negara akan dihantui dengan banyaknya bencana alam, modal Negara yang semakin menipis akibat banyaknya sumber daya alam yang dikuasai serta diambil oleh asing, dan kemiskinan yang kian kronik. Oleh karena itu perlu adanya evaluasi terhadap kepemilikan asing dalam eksploitasi pengelolaan sumber daya alam baik sumber daya alam yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui.
Eksploitasi perusahaan asing terhadap sumber daya alam di Indonesia akan sangat merugikan bangsa dan Negara, dimana dengan banyaknya ekspolitasi asing terhadap sumber daya alam Indonesia setidaknya akan menimbulkan tiga pokok permasalahan. Pertama, kontrak karya-karya cenderung menempatkan Indonesia dalam posisi yang lemah, sehingga bagi hasil atas sumber daya alam tersebut sebagian besar lari kenegara asing. Implikasinya Indonesialah yang menerima hasil limbahnya dari proses eksploitasi sumber daya alam tersebut yakni dengan rusaknya lingkungan hidup. Kedua, selalu terdapat ruang bagi pelaku operasi ekspoitasi sumber daya alam untuk melakukan manipulasi atas hasil operasi yang dilakukan akibat ketiadaan akses bagi pemerintah untuk melakukan pengawasan secara regular. Ketiga, menyangkut aspek etis dan konstitusi bahwa sumber daya alam yang menguasai hajat hidup rakyat harus dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah.
Persoalan yang paling krusial menyangkut permasalahan sumber daya alam di negeri Indonesia ini sesungguhnya bukan terletak pada masalah langka atau tidaknya sumber daya ini, bukan juga pada masalah mahal atau tidaknya harga sumber daya alam ini di tingkat dunia. Termasuk juga, bukan masalah sulit atau tidaknya untuk mendapatkannya. Akan tetapi, semuanya hanya bermuara kepada keputusan politik ekonomi dari pengelolaan sumber daya itu sendiri (Jurnal, Dwi Condro Triono). Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia memang berpihak kepada segelintir elit politik dan kapitalisme dibandingkan dengan kepentingan masyarakat Indonesia.
D.    PETA EKSPLOITASI SUMBER DAYA ALAM INDONESIA
Dari banyaknya sumber daya alam yang ada di Indonesia hampir seluruh sumber daya alam dikuasai dan dikelola oleh asing. Berdasarkan dari harian kompas tahun 2012 penguasaan asing terhadap sumber daya alam di Indonesia mencapai 70% dan Indonesia sendiri hanya menguasai 30% melalaui BUMN Pertamina. Dimana sumber daya alam yang notabennya mempunyai kandungan yang cukup besar dikuasai oleh asing dari pada perusahaan Pertamina. Hal ini menunjukkan bahwasannya pemerintah Indonesia lebih mempercayai asing dibandingkan dengan perusahaan BUMN yang dikelola oleh anak bangsa sendiri. Dengan banyaknya penguasaan asing terhadap aset-aset Negara maka lambat laun seluruh asset akan jatuh kepada pihak asing, dan masyarakat Indonesia hanya sebagai penonton saja. Dimana masyarakat sebenarnya mempunyai hak untuk menikmati hasil bumi yang ada di atas Negara mereka, akan tetapi Negara sebagai wakil dari masyarakat lebih berpihak kepada asing, dengan dalih asing lebih menguntungkan dalam hal pengelolaan. Tetapi pada kenyataannya sekian lama sumber daya alam yang dikelola oleh asing tidak ada dampak yang positif bagi bangsa dan Negara ini, melainkan dampak yang negatiflah yang mereka tinggalkan. Asset penting Negara ini sudah hampir seluruhnya dikuasai oleh asing, dan tinggal menunggu waktu saja Negara Indonesia yang kaya akan sumber daya alam akan menjadi dongen semata. Hal ini akan benar terjadi jika pemerintah tidak segera bertindak dlam hal pengembilan kekuasaan pengelolaan sumber daya alam. 

 BAB IV
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Pemanfaatan sumberdaya alam haruslah tetap berpijak pada kaidah-kaidah pembangunan yang bertumpu pada masyarakat. Hal ini akan tercermin dalam implementasi good governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Dalam pengelolaan sumber daya alam pemerintah pusat dan daerah mempunyai kewenangan penuh, sehingga untuk kedepannya harus berhati-hati dalam menentukan kerjasama dengan investor asing. Sumber daya alam yang ada di Indonesia harus berpihak kepada kemakmuran masyarakat dan kesejahteraan masyarak, peningkatan ekonomi masyarakat, serta kesejahteraan masyarakat Indonesia sendiri.
Pengelolaan sumber daya alam yang kebanyakan dikelola oleh asing hanya akan meninggalkan dampak bagi bangsa ini, dan hasilnyapun masyarakat tidak bisa menikmati kekayaannya sendiri. Kebanyakan daerah yang mempunyai kekayaan alam di Indonesia berpenduduk miskin, contohnya adalah Papua dimana Provinsi Papua mempunyai tambang batu bara terbesar di Indonesia akan tetapi masyarakat disekitarnya tidak bisa merasakan dari hasil pengelolaan tambang persebut. Ini adalah pembagian hasil pengelolaan usmber daya alam  di indonesia, daerah penghasil produk pertambangan, kehutanan dan perikanan, kini akan menerima 80% dari penerimaan pendapatan tersebut, sementara pemerintah pusat hanya menerima sisanya, yaitu 20%. Daerah penghasil minyak akan menerima 15% dari seluruh pendapatan yang diterima dari eksploitasi kekayaan alam ini, sedangkan daerah penghasil gas alam menerima 30%.
Eksploitasi perusahaan asing terhadap sumber daya alam di Indonesia akan sangat merugikan bangsa dan Negara, dimana dengan banyaknya ekspolitasi asing terhadap sumber daya alam Indonesia setidaknya akan menimbulkan tiga pokok permasalahan. Pertama, kontrak karya-karya cenderung menempatkan Indonesia dalam posisi yang lemah, sehingga bagi hasil atas sumber daya alam tersebut sebagian besar lari kenegara asing. Implikasinya Indonesialah yang menerima hasil limbahnya dari proses eksploitasi sumber daya alam tersebut yakni dengan rusaknya lingkungan hidup. Kedua, selalu terdapat ruang bagi pelaku operasi ekspoitasi sumber daya alam untuk melakukan manipulasi atas hasil operasi yang dilakukan akibat ketiadaan akses bagi pemerintah untuk melakukan pengawasan secara regular. Ketiga, menyangkut aspek etis dan konstitusi bahwa sumber daya alam yang menguasai hajat hidup rakyat harus dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah.
B.     SARAN
Adapun saran yang ditawarkan oleh penulis tentang pengelolaan sumber daya alam di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.      Pemimpin alternatife, pemimpin yang mempunyai jiwa ketegasan dalam penegakan hukum, mempunyai wawasan nasional dan internasional, berani untuk menegakan kemandirian nasional dan memahami arti kekuasaan yang sesungguhnya.
2.      Peninjauan kembali kontrak kerjasama dengan perusahaan asing, baik disektor minerba maupun disektor yang lainnya. Peninjauan ini dilakukan terhadap semua perusahaan asing yang menguasai sumber daya alam di Indonesia yang benar-benar merugikan kepentingan bangsa dan merebut kesejahteraan masyarakat.
3.      Pemimpin harus mengutamakan kepentingan bangsa dibandingkan dengan kepentingan investor asing yang nantinya merugikan masyarakat dan bangsa itu sendiri.
4.      Peninjauan ulang undang-undang strategis seperti UU dibidang pertambangan, penananman modal, pertanian, perkebunan dan kehutanan serta undang-undang yang menyangkut hajat orang banyak.








DAFTAR PUSTAKA
Amien Rais, Mohammad. 2008. Agenda Mendesak bangsa Selamatkan Indonesia. Yogyakarta, PPSK Press.
Caporaso, James A. dan Levine David P. 2008. Teori-Teori Ekonomi Politik. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta, PT. Pradnya Paramita.
Erani Yustika, Ahmad. 2014. Ekonomi Politik Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Fauzi, Akhmad. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Jurnal
Jurnal, Burhanudin Nurkin, Otonomi Daerah Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam : Kasus Pengelolaan Hutan Di Sulawesi Selatan. Jurnal Perennial, 2(1) : 25-30.
Jurnal, Dwi Condro Triono, Peran Negara dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Posted on Jun 3, 2008.
Jurnal, Dwi Kherisna Payadnya dan I Wayan Suarbha. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam  (Tinjauan Yuridis Kekhususan Suatu Daerah Dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Jurnal, Indah Dwi Qurbani. Politik Hukum Pengelolaan Minyak Dan Gas Bumi Di Indonesia. Volume 6, Nomor 2, Agustus 2012.
Jurnal, Marilang, Pengelolaan Sumber Daya Alam Tambang, Volume 11 Nomor 1 Mei 2011.
Jurnal, Tajerin, Peran Ekonomi Politik Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu Dalam Mendorong Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Mangrove dan Pesisir IX (1), Februari 2009.
Jurnal, Tridoyo Kusumastanto, Arief Budi Purwanto, Luky Adrianto, Good Governance Dalam Pengelolaan Energi Dan Sumberdaya Mineral.
Jurnal, Irmadi Nahib. Pengelolaan Sumberdaya Tidak Pulih Berbasis Ekonomi Sumberdaya (Studi Kasus : Tambang Minyak Blok Cepu) . Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 12 No. 1 Agustus 2006.
Jurnal, Frida Rissamasu, Rahim Darma Dan Ambo Tuwo. Pengelolaan Penambangan Bahan Galian Golongan C Di Kabupaten Merauke.
Jurnal, Hidayat. Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kelembagaan Lokal. Vol. XV, No. 1 Februari 2011: 19-32.