Selasa, 02 Februari 2016

REVIEW JURNAL

Can policy analysis theories predict and inform policy change? Reflections on the battle for legal abortion in Indonesia

Indonesia merupakan salah satu Negara yang mempunyai jumlah penduduk terbesar ke-empat di dunia. Selain jumlah penduduk yang banyak Indonesia juga salah satu Negara yang manyoritas berpenduduk islam, dimana ajaran islam di Indonesia sangat teguh dipegang oleh masyarakat. Akhir-akhir ini masyarakat di Indonesia diributkan dengan perbincangan kontroversi tentang legalnya aborsi di negeri ini. Dengan munculnya UU aborsi tersebut maka secara tidak langsung aborsi di Indonesia dilegalkan akan tetapi dengan syarat, seperti korban pemerkosaan, kehamilan yang tidak diinginkan oleh pasangan suami istri dan lain-lain. Dengan munculnya UU aborsi ini justru menimbulkan ambiguitas bagi masyarakat Indonesia, karena dalam hukum pidana aborsi diperbolehkan oleh pemerintah dengan beberapa syarat, sedangkan di hukum syariah aborsi tidak diperbolehkan.
Produk hukum di Indonesia memang belum sepenuhnya konsisten dimana dalam UU kesehatan menyatakan bahwa untuk aborsi adalah 15 tahun penjara, dengan denda 500 juta rupiah (sekitar £ 28 000) (Pasal 8) (Republik Indonesia 1992), dakwaan ini didasarkan pada KUHP. Tetapi dalam pasal 348 untuk orang yang menjadi fasilitas aborsi secara illegal dihukum penjara selama 5,5 tahun sedangkan untuk wanita yang melakukan aborsi dipenjara selama 4 tahun. Dari dua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwasannya penegakan hukum di negeri ini belum berdiri secara maksimal dan tegas. Hal inilah yang banyak menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat dan pada akhirnya masyarakat negeri ini tidak patuh terhadap hukum. Jika yang terjadi seperti itu maka masyarakat tidak sepenuhnya salah karena penegakan hukum dinegeri ini belum bias berdiri sendiri dan masih mudah diinterpensi. Pada 1970-an, sebuah 'pemahaman' tercapai oleh para profesional medis, atas saran Ketua Mahkamah Pengadilan Tinggi, bahwa aborsi bisa dilakukan untuk mempertahankan kehidupan wanita atau kesehatan (Utomo et al 1982; Hull et al 1993). Sejak tahun 1970-an ada upaya pemerintah untuk mereformasi undang-undang aborsi, akan tetapi hal ini terganjal oleh kepentingan-kepentingan kelompok politik, agama dan social. Ada dua pandangan yang berbeda dalam pemahamana aborsi menurut islam, dimana dipandang dari sudut Syiah dan Sunni. Syiah berpandangan bahwa aborsi itu illegal kecuali hanya untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu. Sedangkan menurut sunni aborsi boleh dilakukan dengan catatan ada alasan yang tepat. Dalam menentukan sebuah kebijakan yang menyangkut tentang agama dan social, Indonesia mempunyai 3 tokoh dan organisasi yang berpengaruh untuk merubah sikap kebijakan tersebut, diantara organisasi tertsebut adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah. Ketiga organisasi islam ini sangat berpengaruh dalam penentuan kebijakan yang menyangkut agama dan social.  
Munculnya UU kesehatan yang baru saja disahkan menimbulkan banyak pertanyaan dikalangan ulama baik NU maupaun Muhammadiyah. Dimana ada sebagian organisasi islam yang memperbolehkan aborsi dengan syarat dan ada organisasi islam yang tidak memperbolehkan. NU, organisasi wanita dan beberapa universitas islam memperbolehkan aborsi, karena kehamilan yang tidak diinginkan sangat membahayakan kehidupan seorang ibu (Baramuli, 2004). Sedangkan Muhammadiyah yang notabennya organisasi islam modern dan skalanya di Indonesia tidak terlalu besar tetapi sangat berpengaruh secara nasional karena mempunyai beberapa banyak bidang kesehatan dan pendidikan, Muhammadiyah tidak memperbolehkan aborsi dengan alasan aborsi akan menghancurkan masa depan orang tersebut (Dzuhayatin 2006).
Konsesi hukum pertama aborsi muncul di 1999 ratifikasi Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Perlakuan atau Penghukuman, Presiden BJ Habibie (UU No. 39/1999, Republik Indonesia 1999). Dan setelah di era Megawati pada tahun 2001 aborsi mulai diambil dari bagian dari kesehatan bukan kriminal. Dan pada tahun itu mulailah dibuat RUU kesehatan yang mengatur tentang aborsi di dalamnya. Diera presiden Megawati dalam pembahasan UU kesehatan ini melibatkan LSM, Ormas, lembaga pemerintah, dan akademisi serta tenaga medis. UU kesehatan yang telah disahkan beberapa bulan yang lalu ini memang menimbulkan banyak kontroversi terutama pada ayat yang membahasa legalisasi pelaksanaan aborsi. Akan tetapi sebelum UU ini disahkan pasti ada pertarungan yang sangat sengit di parlemen, dimana ada beberapa fraksi yang setuju dan ada beberapa fraksi yang tidak setuju dengan ayat yang membahas masalah legalisasi aborsi. Hal ini dapat dilihat pada table 3 yang menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku utama aborsi yang dilakukan secara tidak legal ini merupakan masalah yang sangat serius oleh karena itu dibentuklan pasal yang mengatur legalisasi aborsi akan tetapi dengan beberapa syarat tersebut. Tetapi dengan terbitnya UU kesehatan ini tidak lantas menyelesaikan masalah tentang aborsi, saat ini yang timbul adalah aborsi ini bagian dari penyelesaian masalah apa sebagai hak asasi manusia, pertanyaan ini muncul ketika UU kesehatan disahkan. Aborsi adalah salah satu isu hak asasi manusia yang mana kampanye legalisasi aborsi secara tidak langsung telah mendukung liberalisasi kea rah akses aborsi. Dimana aborsi diisukan sebagai salah satu factor untuk mengurangi angka kematian ibu (AKI), pada kenyataannya tidak ada korelasi antara banyaknya kematian ibu dengan proses pelaksanaan aborsi.
Dari beberapa pendapat organisasi islam yang ada ini pada akhirnya menimbulkan suhu politik yang semakin naik, dimana pergulatan dalam pengambilan kepentingan baik agama-politik sangat kuat. Oleh karena itu, MUI selaku organisasi tertinggi yang diwakili oleh para ulama dan perwakilan dari organisasi-organisasi islam pada bulan November tahun 2006 menyatakan bahwa aborsi boleh dilakukan pada kehamilan kasus perkosaan selama kehamilan tersebut kurang dari 40 hari. Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI ini berdasarkan hasil diskusi dan konsultasi antara MUI dengan ahli medis yang bersangkutan. Setelah fatwa MUI dikeluarkan maka kelompok agama progresif dan garis keras, bias mengkonsolidasikan bersama-sama dari media yang memiliki potensi untuk mempengaruhi pandangan masyarakat tentang legalisasi aborsi. Sehingga aborsi bias diterima ditengah-tengah kalangan masyarakat dengan persyaratan yang tercantum.
Setelah pergolakan yang alot di parlemen dalam perdebatan tentang UU kesehatan ini maka timbulah hokum yang jelas dimana pada pasal 194 yang berbunyi melakukan aborsi tidak sesuai dengan keadaan yang tercantum dalam UU maka akan dipenjara selama 10 tahun dan denda 1 miliar, dan semoga penegak hokum bias menjalankan dengan benar dan baik. Pembahasan UU kesehatan ini bukan menjadi pembahasan di parlemen semata karena dalam UU kesehatan Indonesia ini dibahas masalah reproduksi dan aborsi. Pembahasan reproduksi dan aborsi ini juga menjadi salah satu perdebatan di dalam sebuah agama, budaya masyarakat, hal ini dikarenakan Indonesia mempunyai masyarakat yang sangat heterogen, jadi pembahasan maslah reproduksi dan aborsi harus disesuaikan dan pembahasannya harus melibatkan tokoh agama, tokoh budaya, dan tokoh masyarakat serta suku-suku yang ada di Indonesia. Dalam penelitian ini telah ditemukan bahwa pelegalan aborsi telah didukung sesuai dengan perseimbangan politik, agama dan budaya yang beroprasi di makro politik Indonesia. Permasalahan aborsi dan reproduksi merupakan sebuah medan perang diantara pertemuan dua idiologi antara agama dan politik. Temuan dari studi ini menunjukkan bahwa analisis kebijakan teori dan alat pemetaan pemangku kepentingan dapat diterapkan untuk memprediksi kemungkinan perubahan kebijakan dan menginformasikan strategis pendekatan untuk mencapai perubahan tersebut. Selain itu juga harus ada keterlibatan pihak akademisi untuk mengawal perancangan UU kesehatan tersebut, sehingga UU yang diproduksi tetpat pada sasaran dan tidak disalahgunakan oleh setiap warga Negara. Perlu adanya pengawasan dalam praktek pelaksanaan aborsi disetiap rumah sakit, demi menghindari hal-hal yang tidak diatur dalam UU kesehatan.
Referensi
Baramuli MA. 2004. Aspirasi DPR untuk Amandemen UU Kesehatan (Parliament Initiative to Amend the Health Law). Paper presented in the seminar ‘Recent Finding on Pregnancy Termination in Indonesia’, Jakarta, Indonesia, 11 August 2004.
Dzuhayatin SR. 2006. Gender in contemporary Islamic studies. In: Pye M, Franke E, Wasim AT, Ma’sud A (eds). Religious Harmony Problems: Indonesia Practice and Education. Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co.KG, pp. 161–7.
Utomo B, Jatiputra S, Tjokronegoro A. 1982. Abortion in Indonesia: A Review of the Literature. Jakarta: Faculty of Public Health, University of Indonesia.
Republic of Indonesia. 1992. Law No. 23/1992 concerning Health, 17 September 1992, State Gazette Number 100 of 1992, Additional State Gazette Number 3495.

Jurnal. Surjadjaja Claudia, and H Mayhew Susannah, Can policy analysis theories predict and inform policy change? Reflections on the battle for legal abortion in Indonesia, published December 22, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar