Can policy analysis theories predict and inform policy change? Reflections on the battle for legal abortion in Indonesia
Indonesia merupakan salah satu Negara
yang mempunyai jumlah penduduk terbesar ke-empat di dunia. Selain jumlah
penduduk yang banyak Indonesia juga salah satu Negara yang manyoritas
berpenduduk islam, dimana ajaran islam di Indonesia sangat teguh dipegang oleh
masyarakat. Akhir-akhir ini masyarakat di Indonesia diributkan dengan
perbincangan kontroversi tentang legalnya aborsi di negeri ini. Dengan
munculnya UU aborsi tersebut maka secara tidak langsung aborsi di Indonesia
dilegalkan akan tetapi dengan syarat, seperti korban pemerkosaan, kehamilan
yang tidak diinginkan oleh pasangan suami istri dan lain-lain. Dengan munculnya
UU aborsi ini justru menimbulkan ambiguitas bagi masyarakat Indonesia, karena dalam
hukum pidana aborsi diperbolehkan oleh pemerintah dengan beberapa syarat,
sedangkan di hukum syariah aborsi tidak diperbolehkan.
Produk hukum di Indonesia memang belum
sepenuhnya konsisten dimana dalam UU kesehatan menyatakan bahwa untuk aborsi
adalah 15 tahun penjara, dengan denda 500 juta rupiah (sekitar £ 28 000) (Pasal
8) (Republik Indonesia 1992), dakwaan ini didasarkan pada KUHP. Tetapi dalam
pasal 348 untuk orang yang menjadi fasilitas aborsi secara illegal dihukum
penjara selama 5,5 tahun sedangkan untuk wanita yang melakukan aborsi dipenjara
selama 4 tahun. Dari dua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwasannya penegakan
hukum di negeri ini belum berdiri secara maksimal dan tegas. Hal inilah yang
banyak menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat dan pada akhirnya
masyarakat negeri ini tidak patuh terhadap hukum. Jika yang terjadi seperti itu
maka masyarakat tidak sepenuhnya salah karena penegakan hukum dinegeri ini
belum bias berdiri sendiri dan masih mudah diinterpensi. Pada 1970-an, sebuah 'pemahaman'
tercapai oleh para profesional medis, atas saran Ketua Mahkamah Pengadilan
Tinggi, bahwa aborsi bisa dilakukan untuk mempertahankan kehidupan wanita atau
kesehatan (Utomo et al 1982; Hull et al 1993). Sejak tahun 1970-an ada upaya
pemerintah untuk mereformasi undang-undang aborsi, akan tetapi hal ini
terganjal oleh kepentingan-kepentingan kelompok politik, agama dan social. Ada
dua pandangan yang berbeda dalam pemahamana aborsi menurut islam, dimana
dipandang dari sudut Syiah dan Sunni. Syiah berpandangan bahwa aborsi itu
illegal kecuali hanya untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu. Sedangkan menurut
sunni aborsi boleh dilakukan dengan catatan ada alasan yang tepat. Dalam
menentukan sebuah kebijakan yang menyangkut tentang agama dan social, Indonesia
mempunyai 3 tokoh dan organisasi yang berpengaruh untuk merubah sikap kebijakan
tersebut, diantara organisasi tertsebut adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI),
Nahdatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah. Ketiga organisasi islam ini sangat
berpengaruh dalam penentuan kebijakan yang menyangkut agama dan social.
Munculnya UU kesehatan yang baru saja
disahkan menimbulkan banyak pertanyaan dikalangan ulama baik NU maupaun
Muhammadiyah. Dimana ada sebagian organisasi islam yang memperbolehkan aborsi
dengan syarat dan ada organisasi islam yang tidak memperbolehkan. NU,
organisasi wanita dan beberapa universitas islam memperbolehkan aborsi, karena
kehamilan yang tidak diinginkan sangat membahayakan kehidupan seorang ibu
(Baramuli, 2004). Sedangkan Muhammadiyah yang notabennya organisasi islam
modern dan skalanya di Indonesia tidak terlalu besar tetapi sangat berpengaruh
secara nasional karena mempunyai beberapa banyak bidang kesehatan dan
pendidikan, Muhammadiyah tidak memperbolehkan aborsi dengan alasan aborsi akan
menghancurkan masa depan orang tersebut (Dzuhayatin 2006).
Konsesi hukum pertama aborsi muncul di
1999 ratifikasi Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Lain yang
Kejam, Tidak Manusiawi dan Perlakuan atau Penghukuman, Presiden BJ Habibie (UU
No. 39/1999, Republik Indonesia 1999). Dan setelah di era Megawati pada tahun
2001 aborsi mulai diambil dari bagian dari kesehatan bukan kriminal. Dan pada
tahun itu mulailah dibuat RUU kesehatan yang mengatur tentang aborsi di
dalamnya. Diera presiden Megawati dalam pembahasan UU kesehatan ini melibatkan
LSM, Ormas, lembaga pemerintah, dan akademisi serta tenaga medis. UU kesehatan
yang telah disahkan beberapa bulan yang lalu ini memang menimbulkan banyak
kontroversi terutama pada ayat yang membahasa legalisasi pelaksanaan aborsi.
Akan tetapi sebelum UU ini disahkan pasti ada pertarungan yang sangat sengit di
parlemen, dimana ada beberapa fraksi yang setuju dan ada beberapa fraksi yang
tidak setuju dengan ayat yang membahas masalah legalisasi aborsi. Hal ini dapat
dilihat pada table 3 yang menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku utama aborsi
yang dilakukan secara tidak legal ini merupakan masalah yang sangat serius oleh
karena itu dibentuklan pasal yang mengatur legalisasi aborsi akan tetapi dengan
beberapa syarat tersebut. Tetapi dengan terbitnya UU kesehatan ini tidak lantas
menyelesaikan masalah tentang aborsi, saat ini yang timbul adalah aborsi ini
bagian dari penyelesaian masalah apa sebagai hak asasi manusia, pertanyaan ini
muncul ketika UU kesehatan disahkan. Aborsi adalah salah satu isu hak asasi
manusia yang mana kampanye legalisasi aborsi secara tidak langsung telah
mendukung liberalisasi kea rah akses aborsi. Dimana aborsi diisukan sebagai
salah satu factor untuk mengurangi angka kematian ibu (AKI), pada kenyataannya
tidak ada korelasi antara banyaknya kematian ibu dengan proses pelaksanaan
aborsi.
Dari beberapa pendapat organisasi
islam yang ada ini pada akhirnya menimbulkan suhu politik yang semakin naik,
dimana pergulatan dalam pengambilan kepentingan baik agama-politik sangat kuat.
Oleh karena itu, MUI selaku organisasi tertinggi yang diwakili oleh para ulama
dan perwakilan dari organisasi-organisasi islam pada bulan November tahun 2006
menyatakan bahwa aborsi boleh dilakukan pada kehamilan kasus perkosaan selama
kehamilan tersebut kurang dari 40 hari. Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI ini
berdasarkan hasil diskusi dan konsultasi antara MUI dengan ahli medis yang
bersangkutan. Setelah fatwa MUI dikeluarkan maka kelompok agama progresif dan
garis keras, bias mengkonsolidasikan bersama-sama dari media yang memiliki
potensi untuk mempengaruhi pandangan masyarakat tentang legalisasi aborsi.
Sehingga aborsi bias diterima ditengah-tengah kalangan masyarakat dengan
persyaratan yang tercantum.
Setelah pergolakan yang alot di
parlemen dalam perdebatan tentang UU kesehatan ini maka timbulah hokum yang
jelas dimana pada pasal 194 yang berbunyi melakukan aborsi tidak sesuai dengan
keadaan yang tercantum dalam UU maka akan dipenjara selama 10 tahun dan denda 1
miliar, dan semoga penegak hokum bias menjalankan dengan benar dan baik.
Pembahasan UU kesehatan ini bukan menjadi pembahasan di parlemen semata karena
dalam UU kesehatan Indonesia ini dibahas masalah reproduksi dan aborsi.
Pembahasan reproduksi dan aborsi ini juga menjadi salah satu perdebatan di
dalam sebuah agama, budaya masyarakat, hal ini dikarenakan Indonesia mempunyai
masyarakat yang sangat heterogen, jadi pembahasan maslah reproduksi dan aborsi
harus disesuaikan dan pembahasannya harus melibatkan tokoh agama, tokoh budaya,
dan tokoh masyarakat serta suku-suku yang ada di Indonesia. Dalam penelitian
ini telah ditemukan bahwa pelegalan aborsi telah didukung sesuai dengan
perseimbangan politik, agama dan budaya yang beroprasi di makro politik
Indonesia. Permasalahan aborsi dan reproduksi merupakan sebuah medan perang
diantara pertemuan dua idiologi antara agama dan politik. Temuan dari studi ini
menunjukkan bahwa analisis kebijakan teori dan alat pemetaan pemangku
kepentingan dapat diterapkan untuk memprediksi kemungkinan perubahan kebijakan
dan menginformasikan strategis pendekatan untuk mencapai perubahan tersebut. Selain
itu juga harus ada keterlibatan pihak akademisi untuk mengawal perancangan UU
kesehatan tersebut, sehingga UU yang diproduksi tetpat pada sasaran dan tidak
disalahgunakan oleh setiap warga Negara. Perlu adanya pengawasan dalam praktek
pelaksanaan aborsi disetiap rumah sakit, demi menghindari hal-hal yang tidak
diatur dalam UU kesehatan.
Referensi
Baramuli MA. 2004.
Aspirasi DPR untuk Amandemen UU Kesehatan (Parliament Initiative to Amend the
Health Law). Paper presented in the seminar ‘Recent Finding on Pregnancy
Termination in Indonesia’, Jakarta, Indonesia, 11 August 2004.
Dzuhayatin SR. 2006.
Gender in contemporary Islamic studies. In: Pye M, Franke E, Wasim AT, Ma’sud A
(eds). Religious Harmony Problems: Indonesia Practice and Education. Berlin:
Walter de Gruyter GmbH & Co.KG, pp. 161–7.
Utomo B, Jatiputra S,
Tjokronegoro A. 1982. Abortion in Indonesia: A Review of the Literature.
Jakarta: Faculty of Public Health, University of Indonesia.
Republic of Indonesia.
1992. Law No. 23/1992 concerning Health, 17 September 1992, State Gazette
Number 100 of 1992, Additional State Gazette Number 3495.
Jurnal. Surjadjaja
Claudia, and H Mayhew Susannah, Can
policy analysis theories predict and inform policy change? Reflections on the
battle for legal abortion in Indonesia, published December 22, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar