Rabu, 19 November 2014

REKRUTMEN BIROKRASI DI INDONESIA

A.     PENDAHULUAN
Indonesia salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah penduduk terbanyak ke 4 di dunia. Demi mewujudkan Negara yang tertib dan pemerintahan yang baik maka diperlukan sebuah birokrasi yang baik. Untuk melaksanakna birokrasi disetiap Negara berbeda-beda hal itu tergantung system pemerintahan apa yang digunakan oleh Negara tersebut. Berhasil tidaknya sebuah Negara dalam hal birokrasi/pemerintahan itu dapat dilihat dari bentuk pelayanan yang diberikan kepada seluruh lapisan masyarakatnya. Akan tetapi berbeda halnya dengan di Indonesia, buruknya proses rekrutmen dan  kinerja birokrasi sudah lazim diketahui oleh masayarakat secara luas.
Berbicara mengenai kinerja birokrasi di Indonesia memang sangat menarik untuk terus diperdebatkan. Banyak kalangan menyatakan bahwa kinerja pegawai di Indonesia yang bekerja di berbagai departemen, kementerian negara, lembaga negara, komisi negara, sampai dengan pemerintah daerah, tidak menunjukkan kinerja yang optimal (www.kabarIndonesia.-com). Beberapa hasil survei yang dilakukan oleh lembaga ilmiah menunjukkan bahwa para pegawai lebih banyak mengedepankan materi, uang, kekuasaan, dan jabatan saat bekerja, tanpa adanya upaya menunjukkan prestasi/performance/kinerja yang baik (Jipolis, Vol. II, No. 21 Tahun 2007).
Masalah birokrasi di Indonesia memang sangatlah komplek dari mulai rekrutmen, kinerja, sampai dengan KKN, hal ini sudah menjadi wajah birokrasi Indonesia. Jika kita menyebutkan nama birokrasi hal yang paling utama ada dalam pikiran masyarakat secara luas adalah birokrasi itu berbelit-belit, hal ini sudah sangat melekat dibenak masyarakat Indonesia. Hal ini sudah terjadi sejak zaman orde lama sampai era reformasi, dimana birokrasi kita masih berorientasi pada materi dan jabatan. Kalau kita berbicara sejarah birokrasi di Indonesia sangatlah panjang dari zaman berdirinya Negara ini sampai sekarang ada perbedaan yang sangat signifikan. Pada masa Orde Lama, kekuatan birokrasi yang didalamnya terdapat unsur pegawai/PNS, telah terkotak-kotak dalam pertarungan politik dalam garis ideologi nasionalisme, agama, dan komunisme (Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS). Pada masa Orde Baru, wajah birokrasi sangat kental dengan kekuatan politik Golongan Karya (Golkar) yang tergabung dalam elemen ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) dalam sistem korporatisme negara (Governance, No. II, Vol. 5 Tahun 2008). Sedangkan di era reformasi birokrasi lebih sering diintervensi oleh kepentingan-kepentingan politik.
Sejak tahun 1998 paradigma pembangunan di Indonesia mulai bergeser dari model yang sentralistik menjadi desentralistik. Dimana pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah menjadi salah satu bagian dari kebijakan otonomi daerah. Hal ini ditandai dengan diberlakukannya UU No 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dengan adanya UU ini maka telah membawa implikasi penambahan jumlah pegawai, beban anggaran untuk pegawai semakin meningkat dan ruang lingkup kewenangan semakin luas. Agar nantinya birokrasi di daerah maupun pusat bisa menjadi lebih baik, akan tetapi proses otonomi daerah malah menimbulkan banyak masalah dalam perekrutan birokrasi ditingkat daerah maupun pusat. Birokrasi merupakan salah satu untusur pembangunan nasional, dimana dengan birokrasi yang baik maka akan tercipta pembangunan nasional yang baik juga.
Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk membentuk suatu masyarakat adil dan makmur, seimbang material dan sepiritual berdasarkan Pancasila di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kelancaran pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan nasional itu terutama sekali tergantung pada kesempurnaan aparatur negara yang pada pokoknya tergantung dari kesempurnaan Pegawai Negeri sebagai abdi negara (Moh. Mahfud MD, 1998:2).
Untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional birokrasi merupakan salah satu faktor terpenting untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Selain birokrasi sumber daya manusia dalam birokrasi juga merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam pembangunan nasional. hal inilah yang saat ini telah gencar dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan “Reformasi Birokrasi” demi terwujudnya birokrasi pemerintaha dan pelayanan publik yang sesuai harapan masyarakat. Untuk melaksanakan reformasi birokrasi agar terciptanya pegawai yang mempunyai kompetensi maka kuncinya terdapat posisi kunci pengambil keputusan di setiap level pemerintahan, baik dipemerintah daerah maupun pusat. Hal ini bisa terlaksana jika seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab, mempunyai skill yang sesuai dengan jabatannya. Sebenarnya dalam melaksanakan reformasi birokrasi bukan hanya orang yang mempunyai jabatan strategis saja yang berpengaruh, akan tetapi seluruh pegawai berpengaruh dalam pelaksanaan reformasi birokrasi tetapi pegawai tersebut sesuai dengan karakteristik jabatan dan kompetensi yang dimiliki.
Beragam permasalahan yang sering terjadi dalam birokrasi di Indonesia dari banyaknya jumlah birokrasi di Indonesia yang tidak mempunyai skill dan pada akhirnya tidak tahu apa yang harus dikerjakan, pendistribusian birokrasi yang tidak merata dan sesuai dengan kebutuhan sehingga sering penempatan sering terjadi menumpuk di perkotaan, buruknya proses rekruitmen yang mengandung unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).  Dengan adanya permasalahan tersebut maka dapat mengakibatkan buruknya birokrasi sehingga mengakibatkan buruknya pelayanan publik kepada masyarakat. selain itu tidak sedikit program pembangunan yang tidak berjalan dengan efektif dan tidak sesuai dengan tujuan dan sasaran. Proses rekruitmen yang tidak baik mengakibatkan birokrasi yang tidak baik juga, hal ini sudah banyak terjadi di Indonesia, dimana proses rekruitmen birokrasi yang kurang transparan dan banyaknya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam tubuh birokrasi pemerintahan. Selain itu faktor buruknya proses rekruitmen di Indonesia adalah faktor kedekatan emosional dan keluarga serta berhutang budi, hal ini sudah marak di tubuh birokrasi di Indonesia. Hal-hal yang seperti iniseharusnya tidak boleh terjadi, karena jika menginginkan birokrasi dan pelayanan publik yang baik serta bisa menciptakan good governance maka proses rekruitmen harus bersifat transparan dan tidak mengenal rasa berhutang budi dan faktor keluarga.
Menurut Miftah Thoha (2010) permasalahan birokrasi yang di hadapi Indonesia ialah (a) kelembagaan birokrasi pemerintah yang besar dan didukung oleh sumber daya aparatur yang kurang professional, (b) mekanisme kerja yang sentralistik masih mewarnai kinerja birokrasi pemerintah, (c) kontrol terhadap birokrasi pemerintah masih dilakukan oleh pemerintah, untuk pemerintah dan dari pemerintah, (d) patronkline (KKN) dalam birokrasi pemerintah merupakan halangan terhadap upaya mewujudkan merirokrasi dalam birokrasi, (e) tidak jelas bahkan cenderung tidak ada “sense of accountability” baik secara kelembagaan maupun secara individu, (f) jabatan birokrasi yang hanya menampung jabatan struktural dan oengisiannya sering kali tidak berdasarkan kompetensi yang dibutuhkan, (g) penataan sumber daya aparatur tidak disesuaikan dengan kebutuhan dan penataan kelembagaan birokrasi. Ini adalah sebagaian contoh buruknya proses birokrasi di Indonesia.  

B.     KERANGKA TEORITIK
1.      Rekruitmen
Menurut Malayu Hasibuan (2005:27), Pengadaan karyawan harus didasarkan pada prinsip apa baru siapa, apa artinya kita harus terlebih dahulu menetapkan pekerjaan-pekerjaannya berdasarkan uraian pekerjaan (job description). Siapa artinya kita baru mencari orang-orang yang tepat untuk menduduki jabatan tersebut berdasarkan spesifikasi pekerjaan (job specification). Hal ini mengisyaratkan bahwa pengadaan pegawai merupakan langkah pertama dan yang mencerminkan berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya
Simamora (1997) mengartikan rekruitmen sebagai serangkaian aktivitas mencari dan memikat pelamar kerja dengan motivasi, kemampuan, keahlian, dan pengetahuan yang diperlukan guna menutupi kekurangan yang diidentifikasi dalam perencanaan kepegawaian. Rekruitmen sebagai suatu proses pengumpulan calon pemegang jabatan yang sesuai dengan rencana sumber daya manusia untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam fungsi pemekerjaan (employee function). Rekrutmen Pejabat diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 100/2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 13/2002.
2.      Birokrasi
Max Weber (dalam Delly Mustafa 2013:10) mengatakan birokrasi adalah suatu hirarki yang ditetapkan secara jelas dimana pemegang kantor mempunyai fungsi yang sangat spesifik dan mengaplikasikan atau menerapkan aturan universal dalam semangat impersonalitas yang formalistic. Birokrasi diperlukan agar penyelenggaraan tugas pemerintahan tersebut dapat terlaksana secara efisien, efektif dan ekonomis.
Weber merumuskan beberapa karasteristik birokrasi (dalam Jurnal Zulhaidir), yang meliputi: Pertama, hirarki yaitu pejabat yang lebih tinggi mengkoordinir dan mengarahkan aktivitas bawahannya. Dengan hirarki, organisasi yang besar dan kompleks dapat mengendalikan pegawainya agar senantiasa bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kedua, spesialisasi, yaitu biorkrasi menjadi efisien karena setiap pegawai mengkhususkan diri dalam bidang/ kegiatan yang spesifik dalam bekerja sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimilikinya. Hal ini sangat berhubungan dengan perencanaan dan penempa-tan pegawai sesuai dengan keahlian pada jabatan atau tugas yang diembannya dalam organisasi. Ketiga, pekerjaan sebagai karir, karir artinya adalah jabatan, pekerjaan, profesi dan penghidupan. Biorkrat adalah pegawai karir pada pekerjaan/jabatan yang mereka pegang. Birokrasi adalah pekerjaan yang stabil dan jika dalam melaksanakan tugas dilakukan tanpa penyimpangan, missalnya korupsi, maka akan sulit bagi seorang birokrat kehilangan pekerjaan itu. Keempat, perekrutan berdasarkan merit artinya rekrutmen dalam pekerjaan dilakukan berdasarkan standar kelulusan bakat, pendidikan atau pengalaman. Sistem merit dalam birokrasi menolak adanya sistem patronase, yaitu keadaan dimana seseorang mendapatkan pekerjaan karena bantuan patron dan mengabaikan kompetensi seseorang. Kelima, aturan formal, artinya berdasarkan peraturan dalam birokrasi setiap orang diharapkan dapat memenuhi standar kinerja dan perilaku yang telah ditetapkan oleh organisasi. Dalam birokrasi, segala sesuatu adalah tentang bagaimana aturan berlaku, bukan orangnya. Orang atau pegawai tidak bisa diubah sebelum dilakukan perubahan kebijakan. Keenam, impersonal adalah semua peraturan dalam suatu organisasi harus diterapkan secara impersonal dan sama untuk semua orang.
C.     PEMBAHASAN
Sebelum bicara mengenai rekrutmen birokrasi kita harus terlebih dahulu mengetahui tentang konteks sejarah birokrasi yang ada di Indonesia. Sejarah birokrasi Indonesia terbentuk sejak zaman dahulu kala, dimana konteks sejarah birokrasi Indonesia ada empat masa yaitu: masa kerajaan, masa colonial, masa orde baru dan masa reformasi. Dari empat masa ini lah sejarah birokrasi Indonesia terbentuk sampai saat ini. Kalau dilihat secara jelas sejara terbentuknya birokrasi Indonesia tidak pernah lepas dari pengeruh system politik yang berlangsung. Apapun sistem politik yang diterapkan selama kurun waktu sejarah pemerintahan Indonesia, birokrasi tetap memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat. baik dalam system politik sentralistik maupun system politik yang demokratis birokrasi sulit melepaskan diri dari jaringan-jaringan kepentingan politik praktis (Delly Mustafa, 2013:22).
Birokrasi di masa kerajaan dipimpin langsung oleh seorang raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal atau absolute. Dimana masa kerajaan seluruh keputusan diambil oleh raja dan masyarakat harus tunduk dan patuh terhadap kehendak raja. Birokrasi masa kolonial tidak terlepasa dari system administrasi pemerintahan yang berlangsung dan tidak banyak merubah birokrasi yang sudah berjalan di Indonesia. Dalam birokrasi kolonial struktur pemerintahan dipimpin langsung oleh gubernur jendral dalam melaksanakan tugasnya dan dibantu oleh para gubernur dan rasiden. Dimana gubernur jendral merupakan pemerintah pusat dan gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat yang ada di tiap provinsi, dan sedangkan ditingkat kabupaten pemerintahan dipegang oleh asisten rasiden dan pengawas. Birokrasi masa orde baru muncul dengan ditopang oleh tiga pilar kekuatan utamanya yaitu militer, golkar dan birokrasi pemerintah. Pada masa pemerintahan orde baru semua kekauasaan ditangan Presiden sebagai pimpinan Negara/pimpinan pemerintahan, akan tetapi birokrasi masa orde baru bersifat sentralistik semua keputusan diambil oleh pemerintah pusat. Birokrasi era reformasi dipimpin langsung oleh presiden, dimana birokrasi di era reformasi ini lembaga pemerintahan di pusat dan daerah masih tergolong besar. Pada era reformasi birokrasi sudah bersifat desentralisasi dimana kewenangan tidak seluruhnya diambil oleh pemerintah pusat melainkan pemerintah daerahpun mempunyai kewenangan. Ada beberapa hal yang memang tidak didistribusikan kepada pemerintah daerah seperti pertahanan nasional, politik luar negeri, dan agama hal ini dipegang oleh pemerintah pusat.
Untuk menjalankan roda pemerintahan harus ada sebuah organisasi sebagai wadah dan sumber daya manusia sebagai pelaksana, dalam hal ini adalah birokrasi/pemerintahan dan Pegawai Negeri Sipil. Kemajuan suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh kemampuan aparatur birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya yaitu, sebagai pelayan publik kepada masyarakat secara profesional dan akuntabel. Apabila masyarakat sudah bisa terlayani dengan baik maka dengan sendirinya birokrasi mampu menempatkan dengan sendirinya sebagai public service. Rekruitmen birokrasi merupakan salah satu bentuk dari manajemen pegawai dimana hal ini sangat penting untuk mewujudkan pegawai yang mempunyai kompetensi serta dapat bekerja dengan efektif, efesien dan professional.
Birokrasi merupakan salah satu faktor yang mempunyai peran penting untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan pemerintahan yang baik/good governance. Birokrasi juga sebagai penentu dalam pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik, serta birokrasi juga sangat menentukan efisensi dan kualitas pelayanan kepada masyarakat serta efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Selain birokrasi proses perekruitan juga salah satu faktor penting dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih, serta mewujudkan pelayanan publik yang efektif, efesien dan akuntabel. Dengan proses rekruitmen yang baik dan transparan maka akan menghasilkan pegawai yang baik dan berkualitas, serta pegawai yang diterima sesuai dengan apa yang dibutuhkan sehingga dapat menciptakan pelayanan publik yang efektif, efesien dan akuntabel. 
Indonesia sebagai salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia, dimana untuk membangun sebuah Negara dibutuhkan sebuah birokrasi dan orang-orang yang mempunyai kompetensi. Untuk mewujudkan birokrasi dan orang-orangnyang mempunyai kompetensi maka diperlukan proses rekruitmen yang bagus. Jika berbicara tentang birokrasi maka yang pertama kali terbenak dalam pikiran adalah proses yang berbelit-belit, kurangnya transparan dan lain-lain, hal inilah yang menjadi gambaran birokrasi di Indonesia. Wajah birokrasi Indonesia sudah sangat kusam, karena kebanyakan orang-orang yang duduk di birokrasi tidak mempunyai kompetensi yang sesuai dengan bidangnya. Hal semacam ini sudah banyak sekali terjadi di berbagai dinas dan bindang birokrasi pemerintahan sampai di birokrasi yang paling bawah yaitu kelurahan. Sistem birokrasi yang berbelit-belit dan tidak jelas, membuat masyarakat bosan dan enggan berurusan dengan birokrasi. Hal inilah yang lama-kelamaan menjadi cikal bakal KKN, dengan berbelit-belitnya urusan maka masyarakat lebih memilih jalan praktis dengan cara membayar hal ini dianggap cara yang paling benar dan cepat. Sehingga ketika masyarakat datang ke birokrasi yang ada dalam benak mereka adalah membayar biar cepat selesai urusannya. Ini salah satu efek dari proses prekruitan yang tidak benar, karna kebanyakan yang terjadi proses rekruitmen di Indonesia memakai system patronage dimana dengan kedekatan emosional dan faktor keluargalah yang akan menjadi birokrasi di negari ini.
Jika kita berbicara masalah birokrasi maka tidak lepas dari yang namanya pelayanan publik, akan tetapi orang-orang yang duduk dijajajran birokrasi bukan melayani masyarakat akan tetapi sebaliknya masyarakatlah yang melayani birokrat, hal ini sudah sangat melenceng jauh dari tujuan birokrasi. Banyak sekali potret dari birokrasi Indonesia, contohnya untuk mendapatkan KTP masyarakat harus membayar dengan beberapa variable dari yang paling cepat sampai lambat, ketika masyarkat mengurus KTP pasti ada penawaran mau cepat atau lambat, jika cepat masyarakat harus membayar dengan harga 100 ribu dengan jangka waktu 3 hari, ketika lambat dengan waktu 1 minggu terkadang bisa lebih masyarakat harus membayar 30 ribu. Dari contoh ini sudah membuktikan bahwasannya birokrasi kita sudah tidak sehat, serta bentuk pungutan liar/korupsi sudah terjadi di birokrasi tingkat bawah, apalagi dibirokrasi tingkat atas? Hal ini menunjukkan bahwasannya proses rekruitmen birokrasi sudah tidak benar, karena rekruitmen birokrasi merupakan salah satu kunci keberhasilan untuk menciptakan birokrasi yang baik sehingga akan terjadi pelayanan publik yang efektif, efesien dan akuntabel.
Rekruitmen birokrasi merupakan salah satu bentuk dari manajemen pegawai, dimana hal ini sangat penting untuk dilakukan. Dalam pelaksanaan rekruitmen birokrasi ada beberapa hal yang harus dilakukan adalah tahap penyusunan formasi yang dasarnya adalah pemetaan jabatan. Proses ini sangat penting untuk menentukan kebutuhan dan sepesifikasi pegawai yang diperlukan, sehingga pegawai yang diterima bisa menjalankan tugasnya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi pegawai. Untuk melaksanakan rekruitmen birokrasi sudah ada isntitusi yang berwenang mengadakan hal tersebut, ditingkat pusat ada biro/bagian kepegawaian dari masing-masing instans, sedangkan di daerah yang bertanggungjawab adalah Badan Kepegawaian Daerah. Pelaksanaan rekrutmen pegawai di Indonesia tidak bisa dilakukan setiap tahun akan tetapi harus melihat formasi yang ada dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Karena dalam pengadaan rekruitmen birokrasi di pemerintah daerah menggunakan pendekatan zero growth dimana pengadaan pegawai didasarkan untuk menggantikan pegawai yang pensiun.
Selama ini, proses pelaksanaan rekrutmen birokrasi pemerintah atau pemerintah daerah masih sangat kental dengan nuansa KKN, tertutup, kurang terbuka, kurang transparan, dan akuntabel. Proses rekruitmen birokrasi di sebagian besar instansi Negara ini baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dinilai belum efektif dan belum menunjukkan ketransparansian, serta masih sangat kental dengan hubungan kekerabatan, ikatan emosional, jaringan kewilayahan, nuansa kekeluargaan, dan aspek primordialisme. Hal ini menunjukkan bahwasannya proses rekruitmen di Negara kita menggunakan sistem patronage, sedangkan untuk sistem merit sangat jarang bahkan hampir tidak digunakan untuk proses rekruitmen birokrasi di negeri ini. Oleh karena itu, yang terjadi pada saat ini adalah birokrasi-birokrasi yang ada di Indonesia mengalami perubahan paradigma dalam hal pelayanan, yang seharusnya birokrasi memberikan pelayanan kepada masyarakat akan tetapi untuk riilnya hal ini sangat jarang terjadi, karena jika sebuah birokrasi melayani masyarakat pasti ada sebuah jasa/imbalan yang dimintanya seperti halnya pungutan liar. Tetapi yang terjadi di Indonesia seorang pejabatlah yang sering dilayani oleh pegawai birokrasi karena dengan adanya koneksitas kepada atasan akan lebih menguntungkan bagi karir mereka, jabatan, dan golongan dari pada memberikan pelayanan kepada masyarakat.  
Meskipun di era modernisasi sebagian besar pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah menggunakan teknologi informasi khususnya internet, dalam proses rekruitmen birokrasi  agar supaya transparan dan akuntabel, sebagai wujud nyata dari aplikasi e-goverment, namun dalam prakteknya, masih banyak sekali praktek-praktek kecurang yang terjadi. Hal ini menunjukkan bahwasannya proses rekruitmen birokrasi dengan sistem yang baik sekalipun dan apabila orang yang menjalankan tidak bisa bersifat professional maka sistem tersebut sulit dijalankan dengan baik dan berkesan seperti sia-sia. Dengan diterapkannya sistem e-government sebenarnya untuk meminimalisir kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam perekrutan birokrasi, karena dengan proses rekruitmen birokrasi yang curang maka akan membentuk pegawai yang tidak professional kinerja pegawai dalam hal pelayanan pegawai.
Pelaksanaan rekruitmen birokrasi yang terjadi di Indonesia selama ini hanya diperuntukkan oleh orang-orang yang mempunyai uang, dan koneksi/jaringan dengan orang-orang dalam birokrasi tersebut, sedangkan bagi masyarakat yang tidak mempunyai uang sepertinya tidak boleh menduduki jabatan birokrasi.  Hal semacam ini sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat, bahwa siapa saja yang ingin menjadi seorang birokrat dan masuk ke dalam sebuah instansi birokrasi maka harus memiliki puluhan juta sampai ratusan juta untuk lolos dalam seleksi tersebut. Sepertinya sepandai apapun dan sebaik apapun prestasinya sangat sulit sekali untuk masuk ke dalam birokrasi kalau tidak mempunyai uang dan koneksitas dalam birokrasi tersebut. Hal inilah yang banyak terjadi di Indonesia karena birokrasi Indonesia lebih sering menggunakan sistem patronage dimana menerima seseorang berdasarkan ikatan emosional, koneksitas dan lain-lain, sedangkan sistem merit yang lebih mengedepankan perekruitan dari segi kecerdasan sangat jarang dilakukan oleh birokrasi kita.
Sebelum dilaksanakannya proses pelaksanaan rekruitmen birokrasi maka hal utama yang harus dilakukan adalah proses formasi pegawai. Untuk penyusunan formasi pegawai ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1976 tentang Pokok-Pokok Penyusunan Formasi Pegawai Negeri Sipil untuk mengisi birokrasi pemerintah baik pusat maupun daerah. Menurut Miftah Thoha (2010) formasi yang dimaksud disini adalah jumlah dan susunan pangkat pegawai negeri sipil yang diperlukan oleh suatu satuan organisasi Negara untuk mampu melaksanakan tugas pokok untuk jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab dalam bidang penertiban dan penyempurnaan aparatur Negara. Tujuan ditentukan formasi terlebih dahulu maka birokrasi dapat mempunyai jumlah dan mutu pegawai yang cukup sesuai dengan beban kerja yang diperlukan dalam instansi tersebut.
Tujuan penetapan formasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 54 tahun 2003 ada beberapa tahapan dan persyaratan diantaranya yaitu:
1.      Dasar Penyusunan Formasi
Pada umumnya dalam penyusunan formasi ada beberapa hal yang harus diperhatikan, sesuai birokrasi yang membutuhkannya diantaranya yaitu:
a)      Jenis pekerjaan, yaitu: Macam-macam pekerjaan yang harus dilakukan oleh suatu unit organisasi dalam melaksanakan tugas pokoknya, umpamanya pekerjaan mengetik, jaga malam, mengobati penyakit, dan lain-lain. Jenis-jenis pekerjaan yang ada dalam setiap departemen dan lembaga harus dikumpulkan, dikelompokkan, dan disusun secara sistematis, sehingga mudah dicari apabila diperlukan. Pada pokoknya, jenis-jenis pekerjaan itu dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua kelompok, yaitu jenis-jenis pekerjaan yang bersifat umum dan jenis-jenis pekerjaan yang bersifat khusus. Jenis-jenis pekerjaan yang bersifat umum, yaitu jenis-jenis pekerjaan yang ada di setiap departemen dan lembaga seperti mengetik, urusan kepegawaian, urusan keuangan dan lain-lain. Jenis pekerjaan yang bersifat khusus, yaitu jenis-jenis pekerjaan yang hanya ada pada departemen atau lembaga tertentu, seperti pekerjaan mengobati penyakit hanya ada pada lingkungan Departemen Kesehatan, memeriksa perkara hanya ada pada lingkungan kejaksaan dan pengadilan, dan lain-lain.
b)      Sesudah jenis pekerjaan yang diketahui, maka harus pula diketahui sifat dari masing-masing pekerjaan itu. Dalam menentukan sifat pekerjaan dapat ditinjau dari beberapa sudut, umpamanya dari sudut waktu kerja, sudut pemusatan perhatian, sudut resiko pribadi yang mungkin timbul dalam melaksanakan pekerjaan, dan lain-lain.
c)      Perkiraan beban kerja, yaitu frekuensi kegiatan rata-rata dari masing-masing jenis pekerjaan dalam jangka waktu tertentu. Pada umumnya beban kerja itu dapat dibagi dalam beban kerja yang dapat diukur, beban kerja yang sulit diukur, dan beban kerja yang tidak mungkin diukur.
d)      Perkiraan kapasitas pegawai, yaitu perkiraan kemampuan rata-rata seorang pegawai untuk menyelesaikan suatu jenis pekerjaan dalam jangka waktu tertentu. Perkiraan kapasitas pegawai perlu diketahui untuk menentukan jumlah pegawai yang diperlukan untuk masing-masing jenis pekerjaan. Walaupun jenis pekerjaan sama, tetapi beban kerja dan perkiraan kapasitas pegawai berlainan pula jumlah pegawai yang diperlukan.
e)      Kebijaksanaan pelaksanaan pekerjaan, yaitu kebijakan pelaksanaan pekerjaan apakah dilakukan sendiri ataupun diborongkan (outsourcing). Kebijaksanaan pelaksanaan pekerjaan untuk suatu jenis pekerjaan sangat besar pengaruhnya terhadap penentuan jumlah pegawai.
f)       Jenjang dan jumlah jabatan dan pangkat yang tersedia dalam suatu organisasi mempunyai pengaruh dalam penyusunan formasi, karena piramida jabatan dan pangkat yang serasi adalah merupakan salah satu syarat mutlak untuk dipelihara oleh suatu organisasi yang baik. Sebagaimana diketahui, bahwa semakin tinggi suatu pangkat atau jabatan semakin terbatas jumlahnya, oleh sebab itu, makin terbatas pula jumlah Pegawai yang mungkin mencapai jabatan atau pangkat yang lebih tinggi itu.
g)      Alat yang tersedia atau diperkirakan dalam melaksanakan tugas. Makin tinggi mutu peralatan dan tersedia dalam jumlah yang cukup, dapat mengakibatkan makin sedikit jumlah Pegawai yang diperlukan untuk mengerjakan suatu jenis pekerjaan tertentu. Tetapi makin menghendaki kualitas yang makin tinggi.
2.      Sistem Penyusunan Formasi
Dalam menentukan formasi pada umumnya ada 2 sistem yang biasanya digunakan yaitu:
a)      Sistem sama yakni sistem yang menentukan jumlah dan kualitas yang sama baik semua unit organisasi yang sama, dengan tidak memerhatikan besar kecilnya beban kerja. Sistem ini biasanya digunakan pada organisasi yang sudah distandarisasikan.
b)      Sistem ruang lingkup yakni suatu sistem yang menentukan jumlah dan kualitas berdasarkan jenis, sifat, dan beban kerja yang dipikulkan pada unit organisasi itu. Menurut sistem ini, walaupun tingkat satuan organisasi sama, tetapi kalau beban kerjanya berlainan, maka berlainan pula jumlah pegawai yang ditentukan bagi masing-masing unit organisasi itu.
3.      Analisis Kebutuhan Pegawai
Untuk dapat menyusun formasi yang tepat, maka harus disusun lebih dahulu “analisis kebutuhan pegawai”. Analisis kebutuhan pegawai adalah suatu proses menganalisis secara logis dan teratur untuk dapat mengetahui jumlah dan kualitas pegawai yang diperlukan oleh suatu unit organisasi agar mampu melaksanakan tugasnya serta berdaya guna, berhasil guna, dan berkelangsungan. Tujuan dari analisis kebutuhan pegawai adalah sebagai salah satu usaha agar setiap pegawai yang ada pada setiap unit organisasi mempunyai pekerjaan. Salah satu alat untuk membuat analisis kebutuhan Pegawai adalah adanya uraian jabatan (job description) yang tersusun rapi. Dengan adanya uraian jabatan, maka dapatlah diketahui jenis jabatan, ruang lingkup tugas yang dapat dilaksanakan, sifat pekerjaan, syarat-syarat pejabat, dan dapat pula diketahui perkiraan kapasitas pegawai dalam jangka waktu tertentu
4.      Anggaran Belanja Negara
Anggaran Belanja yang dapat disediakan oleh negara sangat menentukan pelaksanaan pemenuhan formasi. Karena, walaupun formasi telah disusun secara tepat berdasarkan norma-norma yang rasional, tetapi akhirnya tetaplah anggaran belanja yang dapat disediakan negara yang menetukan, apakah formasi yang telah disusun itu dapat terpenuhi atau tidak.

Hasil rekruitmen birokrasi memang sangat berpengaruh terhadap pelayanan publik yang dirasakan oleh masyarakat. Jika proses rekruitmen birokrasi dilaksanakan dengan baik dan benar maka pegawai yang dihasilkan juga mempunyai kualitas dan kuantitas serta profesionalisme dalam bekerja. Selain rekruitmen juga hal yang harus diperhatikan untuk meningkatkan pelayanan publik adalah emosional bagi pegawai. Dimana kecerdasan emosional merupakan konsep yang multiinterpretatif. Dalam buku Agus Dwiyanto (2009:325) ada tiga hal yang bisa digunakan untuk menjelaskan pentingnya kecerdasan emosional birokrat agar bisa meningkatkan kineja dan pelayanan publik. Pertama, dengan memahami kondisi emosi dirinya sendiri dan kondisi emosi masyarakat yang dilayani, seorang birokrat akan mampu menjaga hubungan baik dengan masyarakat yang dilayani. Kedua, dengan kecerdasan emosional seorang birokrat akan mampu mengontrol dan mengelola stress sehingga dampaknya tidak sampai kemasyarakat yang dilayanai. Ketiga, kecerdasan emosional akan membantu seorang birokrat untuk berkomunikasi dengan baik dan lancar.
Buruknya proses rekruitmen di Indonesia dan sudah menjadi kebiasaan dan budaya yang sangat sulit untuk dihilangkan dengan waktu yang sangat singkat. Budaya proses rekruitmen birokrasi yang tidak transparan, akuntabel serta tidak professional akan mengakibatkan kinerja birokrasi sangat rendah dan tidak berkualitas. Jika proses rekruitmen tersebut dilaksanakan tarus menerus maka yang akan dihasilkan adalah birokrasi-birokrasi yang bermental korup dan lemahnya kinerja dan inovasi. Dengan proses rekruitmen yang sudah membudaya di Indonesia akan sulit untuk membentuk birokrasi yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang tinggi serta pegawai yang mempunyai keterampilan, keahlian serta inovasi dan profesionalissme kerja. Jika proses rekruitmen birokrasi sudah baik maka pegawai yang dihasilkan juga baik dalam hal kualitas dan kuantitas.
Dengan lahirnya Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara semoga menjadi titik perubahan bagi sistem kepegawaian di Indonesia, yang paling utama adalah perubahan dalam sistem rekruitmen birokrasi. Berdasarkan kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi pada tahun 2014 sistem rekruitmen birokrasi yang akan diadakan menggunakan sistem CAT. Dengan adanya sistem baru dan Undang-Undang baru yang akan digunakan dalam sistem kepegawaian baik dari proses rekruitmen sampai pensiunan, semoga menjadi awal perubahan birokrasi di Indonesia.  Dengan sistem kepegawaian yang kuat dan proses rekruitmen birokrasi yang baik maka akan menghasilkan pegawai yang mempunyai kualitas dan kuantitas, baik dari segi keterampilan, inovasi maupun professionalisme dalam bekerja.
D.     KESIMPULAN
1.      Proses rekrutmen birokrasi di Indonesia berjalan dengan kurang transparan, kurang akuntabel, dan kurang professional. Hal ini ditandai dengan masih adanya indikasi KKN dalam penerimaan birokrasi di Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Rekrutmen pegawai yang tidak professional tentunya akan menimbulkan sosok birokrasi yang kurang bermutu dan kurang berkualitas.
2.      Masih banyaknya proses rekruitmen birokrasi yang mengedepankan sistem patronage/faktor keluarga, koneksitas dalam birokrasi dan lain-lain. Hal ini ditandai banyaknya dinasti politik serta dinasti birokrasi yang ada di hampir setiap daerah. Dengan sistem patronage maka yang terjadi hak-hak setiap warga negara mulai terkikis, apalagi bagi orang yang tidak mempunyai ikatan keluarga atau koneksitas dalam sebuah birokrasi.
3.      Belum adanya rekruitmen birokrasi yang mengedepankan merit sistem/berdasarkan prestasi yang dicapai. Hal ini menjadi salah satu pemicu buruknya birokrasi di Indonesia. Jika proses rekruitmen birokrasi menggunakan merit sistem setidaknya pegawai yang dihasilkan mempunyai professionalisme dalam bekerja dan kualitas pegawai birokrasi lebih baik dari pada pegawai yang proses rekruitmennya menggunakan patronage sistem.  

E.     REKOMENDASI
1.      Melaksanakan reformasi birokrasi besar-besaran terhadap birokrasi yang mempunyai banyak masalah.
2.      Sistem rekruitmen birokrasi harus bersifat transfaran dan akuntabel sehingga masyarakat luas bisa mengakses dengan mudah, serta menghilangkan sistem rekruitmen atas dasar keluarga, kedekadatan emosional, dan lain-lain. sistem rekruitmen yang harus diutamakan adalah merit sistem/berdasarkan prestasi. Berdasarkan merit sistem seluruh kesempatan bagi warga negara mempunyai peluang yang sama.
3.      Membuat dan menerapkan punishment serta reward bagi seluruh pegawai birokrasi, memberi punishment/sanksi bagi pegawai birokrasi yang melanggar dan memberi reward/penghargaan bagi pegawai birokrasi yang mempunyai prestasi tinggi.






REFERENSI
Dwiyanto, Agus, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, Gava Media, Yogyakarta, 2009.
Hasibun. Malayu S.P, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta, 2005.
Mahfud MD, Moh, Hukum Kepegawaian Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1998.
Mustaffa, Delly, Birokrasi Pemerintahan, Bandung, Alfabeta, 2013.
Simamora, Henri. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta. 1997.
Thoha, Miftah, Manajemen Kepegawaian Sipil Di Indonesia, Jakarta, Kencana , 2010. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar