A. PENDAHULUAN
Indonesia salah satu Negara
kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah penduduk terbanyak ke 4 di dunia. Demi
mewujudkan Negara yang tertib dan pemerintahan yang baik maka diperlukan sebuah
birokrasi yang baik. Untuk melaksanakna birokrasi disetiap Negara berbeda-beda
hal itu tergantung system pemerintahan apa yang digunakan oleh Negara tersebut.
Berhasil tidaknya sebuah Negara dalam hal birokrasi/pemerintahan itu dapat
dilihat dari bentuk pelayanan yang diberikan kepada seluruh lapisan
masyarakatnya. Akan tetapi berbeda halnya dengan di Indonesia, buruknya proses
rekrutmen dan kinerja birokrasi sudah
lazim diketahui oleh masayarakat secara luas.
Berbicara mengenai kinerja
birokrasi di Indonesia memang sangat menarik untuk terus diperdebatkan. Banyak
kalangan menyatakan bahwa kinerja pegawai di Indonesia yang bekerja di berbagai
departemen, kementerian negara, lembaga negara, komisi negara, sampai dengan
pemerintah daerah, tidak menunjukkan kinerja yang optimal (www.kabarIndonesia.-com).
Beberapa hasil survei yang dilakukan oleh lembaga ilmiah menunjukkan bahwa para
pegawai lebih banyak mengedepankan materi, uang, kekuasaan, dan jabatan saat
bekerja, tanpa adanya upaya menunjukkan prestasi/performance/kinerja yang baik
(Jipolis, Vol. II, No. 21 Tahun 2007).
Masalah birokrasi di Indonesia
memang sangatlah komplek dari mulai rekrutmen, kinerja, sampai dengan KKN, hal
ini sudah menjadi wajah birokrasi Indonesia. Jika kita menyebutkan nama
birokrasi hal yang paling utama ada dalam pikiran masyarakat secara luas adalah
birokrasi itu berbelit-belit, hal ini sudah sangat melekat dibenak masyarakat Indonesia.
Hal ini sudah terjadi sejak zaman orde lama sampai era reformasi, dimana
birokrasi kita masih berorientasi pada materi dan jabatan. Kalau kita berbicara
sejarah birokrasi di Indonesia sangatlah panjang dari zaman berdirinya Negara
ini sampai sekarang ada perbedaan yang sangat signifikan. Pada masa Orde Lama,
kekuatan birokrasi yang didalamnya terdapat unsur pegawai/PNS, telah
terkotak-kotak dalam pertarungan politik dalam garis ideologi nasionalisme,
agama, dan komunisme (Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS). Pada masa Orde Baru,
wajah birokrasi sangat kental dengan kekuatan politik Golongan Karya (Golkar)
yang tergabung dalam elemen ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) dalam sistem
korporatisme negara (Governance, No. II, Vol. 5 Tahun 2008). Sedangkan di era
reformasi birokrasi lebih sering diintervensi oleh kepentingan-kepentingan
politik.
Sejak tahun 1998 paradigma
pembangunan di Indonesia mulai bergeser dari model yang sentralistik menjadi
desentralistik. Dimana pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah
menjadi salah satu bagian dari kebijakan otonomi daerah. Hal ini ditandai
dengan diberlakukannya UU No 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No
34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dengan adanya UU ini maka telah
membawa implikasi penambahan jumlah pegawai, beban anggaran untuk pegawai
semakin meningkat dan ruang lingkup kewenangan semakin luas. Agar nantinya
birokrasi di daerah maupun pusat bisa menjadi lebih baik, akan tetapi proses
otonomi daerah malah menimbulkan banyak masalah dalam perekrutan birokrasi
ditingkat daerah maupun pusat. Birokrasi merupakan salah satu untusur
pembangunan nasional, dimana dengan birokrasi yang baik maka akan tercipta
pembangunan nasional yang baik juga.
Tujuan pembangunan Nasional
adalah untuk membentuk suatu masyarakat adil dan makmur, seimbang material dan
sepiritual berdasarkan Pancasila di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Kelancaran pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan nasional itu
terutama sekali tergantung pada kesempurnaan aparatur negara yang pada pokoknya
tergantung dari kesempurnaan Pegawai Negeri sebagai abdi negara (Moh. Mahfud
MD, 1998:2).
Untuk mewujudkan tujuan
pembangunan nasional birokrasi merupakan salah satu faktor terpenting untuk
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Selain birokrasi sumber daya manusia
dalam birokrasi juga merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam pembangunan
nasional. hal inilah yang saat ini telah gencar dilakukan oleh pemerintah dalam
melakukan “Reformasi Birokrasi” demi terwujudnya birokrasi pemerintaha dan
pelayanan publik yang sesuai harapan masyarakat. Untuk melaksanakan reformasi
birokrasi agar terciptanya pegawai yang mempunyai kompetensi maka kuncinya
terdapat posisi kunci pengambil keputusan di setiap level pemerintahan, baik
dipemerintah daerah maupun pusat. Hal ini bisa terlaksana jika seorang pemimpin
mempunyai tanggung jawab, mempunyai skill yang sesuai dengan jabatannya.
Sebenarnya dalam melaksanakan reformasi birokrasi bukan hanya orang yang
mempunyai jabatan strategis saja yang berpengaruh, akan tetapi seluruh pegawai
berpengaruh dalam pelaksanaan reformasi birokrasi tetapi pegawai tersebut sesuai
dengan karakteristik jabatan dan kompetensi yang dimiliki.
Beragam permasalahan yang sering
terjadi dalam birokrasi di Indonesia dari banyaknya jumlah birokrasi di Indonesia
yang tidak mempunyai skill dan pada akhirnya tidak tahu apa yang harus dikerjakan,
pendistribusian birokrasi yang tidak merata dan sesuai dengan kebutuhan
sehingga sering penempatan sering terjadi menumpuk di perkotaan, buruknya
proses rekruitmen yang mengandung unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dengan adanya permasalahan tersebut maka dapat
mengakibatkan buruknya birokrasi sehingga mengakibatkan buruknya pelayanan
publik kepada masyarakat. selain itu tidak sedikit program pembangunan yang
tidak berjalan dengan efektif dan tidak sesuai dengan tujuan dan sasaran. Proses
rekruitmen yang tidak baik mengakibatkan birokrasi yang tidak baik juga, hal
ini sudah banyak terjadi di Indonesia, dimana proses rekruitmen birokrasi yang
kurang transparan dan banyaknya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam tubuh
birokrasi pemerintahan. Selain itu faktor buruknya proses rekruitmen di Indonesia
adalah faktor kedekatan emosional dan keluarga serta berhutang budi, hal ini
sudah marak di tubuh birokrasi di Indonesia. Hal-hal yang seperti iniseharusnya
tidak boleh terjadi, karena jika menginginkan birokrasi dan pelayanan publik
yang baik serta bisa menciptakan good
governance maka proses rekruitmen harus bersifat transparan dan tidak
mengenal rasa berhutang budi dan faktor keluarga.
Menurut Miftah Thoha (2010)
permasalahan birokrasi yang di hadapi Indonesia ialah (a) kelembagaan birokrasi
pemerintah yang besar dan didukung oleh sumber daya aparatur yang kurang
professional, (b) mekanisme kerja yang sentralistik masih mewarnai kinerja
birokrasi pemerintah, (c) kontrol terhadap birokrasi pemerintah masih dilakukan
oleh pemerintah, untuk pemerintah dan dari pemerintah, (d) patronkline (KKN)
dalam birokrasi pemerintah merupakan halangan terhadap upaya mewujudkan
merirokrasi dalam birokrasi, (e) tidak jelas bahkan cenderung tidak ada “sense
of accountability” baik secara kelembagaan maupun secara individu, (f) jabatan
birokrasi yang hanya menampung jabatan struktural dan oengisiannya sering kali
tidak berdasarkan kompetensi yang dibutuhkan, (g) penataan sumber daya aparatur
tidak disesuaikan dengan kebutuhan dan penataan kelembagaan birokrasi. Ini
adalah sebagaian contoh buruknya proses birokrasi di Indonesia.
B. KERANGKA
TEORITIK
1. Rekruitmen
Menurut
Malayu Hasibuan (2005:27), Pengadaan karyawan harus didasarkan pada prinsip apa baru siapa, apa artinya kita harus terlebih dahulu menetapkan
pekerjaan-pekerjaannya berdasarkan uraian pekerjaan (job description). Siapa
artinya kita baru mencari orang-orang yang tepat untuk menduduki jabatan
tersebut berdasarkan spesifikasi pekerjaan (job
specification). Hal ini mengisyaratkan bahwa pengadaan pegawai merupakan
langkah pertama dan yang mencerminkan berhasil tidaknya suatu organisasi
mencapai tujuannya
Simamora (1997) mengartikan
rekruitmen sebagai serangkaian aktivitas mencari dan memikat pelamar kerja
dengan motivasi, kemampuan, keahlian, dan pengetahuan yang diperlukan guna
menutupi kekurangan yang diidentifikasi dalam perencanaan kepegawaian.
Rekruitmen sebagai suatu proses pengumpulan calon pemegang jabatan yang sesuai
dengan rencana sumber daya manusia untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam
fungsi pemekerjaan (employee function). Rekrutmen Pejabat diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 100/2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil
dalam Jabatan Struktural sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
No. 13/2002.
2. Birokrasi
Max Weber (dalam Delly Mustafa
2013:10) mengatakan birokrasi adalah suatu hirarki yang ditetapkan secara jelas
dimana pemegang kantor mempunyai fungsi yang sangat spesifik dan
mengaplikasikan atau menerapkan aturan universal dalam semangat impersonalitas
yang formalistic. Birokrasi diperlukan agar penyelenggaraan tugas pemerintahan
tersebut dapat terlaksana secara efisien, efektif dan ekonomis.
Weber merumuskan beberapa
karasteristik birokrasi (dalam Jurnal Zulhaidir), yang meliputi: Pertama, hirarki yaitu pejabat yang
lebih tinggi mengkoordinir dan mengarahkan aktivitas bawahannya. Dengan
hirarki, organisasi yang besar dan kompleks dapat mengendalikan pegawainya agar
senantiasa bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kedua, spesialisasi, yaitu biorkrasi
menjadi efisien karena setiap pegawai mengkhususkan diri dalam bidang/ kegiatan
yang spesifik dalam bekerja sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang
dimilikinya. Hal ini sangat berhubungan dengan perencanaan dan penempa-tan
pegawai sesuai dengan keahlian pada jabatan atau tugas yang diembannya dalam
organisasi. Ketiga, pekerjaan sebagai
karir, karir artinya adalah jabatan, pekerjaan, profesi dan penghidupan.
Biorkrat adalah pegawai karir pada pekerjaan/jabatan yang mereka pegang.
Birokrasi adalah pekerjaan yang stabil dan jika dalam melaksanakan tugas
dilakukan tanpa penyimpangan, missalnya korupsi, maka akan sulit bagi seorang
birokrat kehilangan pekerjaan itu. Keempat,
perekrutan berdasarkan merit artinya rekrutmen dalam pekerjaan dilakukan
berdasarkan standar kelulusan bakat, pendidikan atau pengalaman. Sistem merit
dalam birokrasi menolak adanya sistem patronase, yaitu keadaan dimana seseorang
mendapatkan pekerjaan karena bantuan patron dan mengabaikan kompetensi
seseorang. Kelima, aturan formal,
artinya berdasarkan peraturan dalam birokrasi setiap orang diharapkan dapat
memenuhi standar kinerja dan perilaku yang telah ditetapkan oleh organisasi.
Dalam birokrasi, segala sesuatu adalah tentang bagaimana aturan berlaku, bukan
orangnya. Orang atau pegawai tidak bisa diubah sebelum dilakukan perubahan
kebijakan. Keenam, impersonal adalah
semua peraturan dalam suatu organisasi harus diterapkan secara impersonal dan
sama untuk semua orang.
C. PEMBAHASAN
Sebelum bicara mengenai rekrutmen
birokrasi kita harus terlebih dahulu mengetahui tentang konteks sejarah
birokrasi yang ada di Indonesia. Sejarah birokrasi Indonesia terbentuk sejak
zaman dahulu kala, dimana konteks sejarah birokrasi Indonesia ada empat masa
yaitu: masa kerajaan, masa colonial, masa orde baru dan masa reformasi. Dari
empat masa ini lah sejarah birokrasi Indonesia terbentuk sampai saat ini. Kalau
dilihat secara jelas sejara terbentuknya birokrasi Indonesia tidak pernah lepas
dari pengeruh system politik yang berlangsung. Apapun sistem politik yang
diterapkan selama kurun waktu sejarah pemerintahan Indonesia, birokrasi tetap
memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat. baik dalam system politik
sentralistik maupun system politik yang demokratis birokrasi sulit melepaskan
diri dari jaringan-jaringan kepentingan politik praktis (Delly Mustafa,
2013:22).
Birokrasi di masa kerajaan
dipimpin langsung oleh seorang raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal atau
absolute. Dimana masa kerajaan seluruh keputusan diambil oleh raja dan masyarakat
harus tunduk dan patuh terhadap kehendak raja. Birokrasi masa kolonial tidak
terlepasa dari system administrasi pemerintahan yang berlangsung dan tidak
banyak merubah birokrasi yang sudah berjalan di Indonesia. Dalam birokrasi
kolonial struktur pemerintahan dipimpin langsung oleh gubernur jendral dalam
melaksanakan tugasnya dan dibantu oleh para gubernur dan rasiden. Dimana
gubernur jendral merupakan pemerintah pusat dan gubernur sebagai perwakilan
pemerintah pusat yang ada di tiap provinsi, dan sedangkan ditingkat kabupaten
pemerintahan dipegang oleh asisten rasiden dan pengawas. Birokrasi masa orde
baru muncul dengan ditopang oleh tiga pilar kekuatan utamanya yaitu militer,
golkar dan birokrasi pemerintah. Pada masa pemerintahan orde baru semua kekauasaan
ditangan Presiden sebagai pimpinan Negara/pimpinan pemerintahan, akan tetapi
birokrasi masa orde baru bersifat sentralistik semua keputusan diambil oleh
pemerintah pusat. Birokrasi era reformasi dipimpin langsung oleh presiden,
dimana birokrasi di era reformasi ini lembaga pemerintahan di pusat dan daerah
masih tergolong besar. Pada era reformasi birokrasi sudah bersifat
desentralisasi dimana kewenangan tidak seluruhnya diambil oleh pemerintah pusat
melainkan pemerintah daerahpun mempunyai kewenangan. Ada beberapa hal yang
memang tidak didistribusikan kepada pemerintah daerah seperti pertahanan
nasional, politik luar negeri, dan agama hal ini dipegang oleh pemerintah
pusat.
Untuk menjalankan roda
pemerintahan harus ada sebuah organisasi sebagai wadah dan sumber daya manusia
sebagai pelaksana, dalam hal ini adalah birokrasi/pemerintahan dan Pegawai
Negeri Sipil. Kemajuan suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh kemampuan
aparatur birokrasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya yaitu, sebagai pelayan
publik kepada masyarakat secara profesional dan akuntabel. Apabila masyarakat
sudah bisa terlayani dengan baik maka dengan sendirinya birokrasi mampu
menempatkan dengan sendirinya sebagai public service. Rekruitmen birokrasi
merupakan salah satu bentuk dari manajemen pegawai dimana hal ini sangat
penting untuk mewujudkan pegawai yang mempunyai kompetensi serta dapat bekerja
dengan efektif, efesien dan professional.
Birokrasi merupakan salah satu
faktor yang mempunyai peran penting untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih
dan pemerintahan yang baik/good
governance. Birokrasi juga sebagai penentu dalam pengelolaan kebijakan dan
pelayanan publik, serta birokrasi juga sangat menentukan efisensi dan kualitas
pelayanan kepada masyarakat serta efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan. Selain birokrasi proses perekruitan juga salah
satu faktor penting dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih, serta
mewujudkan pelayanan publik yang efektif, efesien dan akuntabel. Dengan proses
rekruitmen yang baik dan transparan maka akan menghasilkan pegawai yang baik
dan berkualitas, serta pegawai yang diterima sesuai dengan apa yang dibutuhkan
sehingga dapat menciptakan pelayanan publik yang efektif, efesien dan
akuntabel.
Indonesia sebagai salah satu
Negara demokrasi terbesar di dunia, dimana untuk membangun sebuah Negara
dibutuhkan sebuah birokrasi dan orang-orang yang mempunyai kompetensi. Untuk
mewujudkan birokrasi dan orang-orangnyang mempunyai kompetensi maka diperlukan
proses rekruitmen yang bagus. Jika berbicara tentang birokrasi maka yang
pertama kali terbenak dalam pikiran adalah proses yang berbelit-belit,
kurangnya transparan dan lain-lain, hal inilah yang menjadi gambaran birokrasi
di Indonesia. Wajah birokrasi Indonesia sudah sangat kusam, karena kebanyakan
orang-orang yang duduk di birokrasi tidak mempunyai kompetensi yang sesuai
dengan bidangnya. Hal semacam ini sudah banyak sekali terjadi di berbagai dinas
dan bindang birokrasi pemerintahan sampai di birokrasi yang paling bawah yaitu
kelurahan. Sistem birokrasi yang berbelit-belit dan tidak jelas, membuat
masyarakat bosan dan enggan berurusan dengan birokrasi. Hal inilah yang
lama-kelamaan menjadi cikal bakal KKN, dengan berbelit-belitnya urusan maka
masyarakat lebih memilih jalan praktis dengan cara membayar hal ini dianggap
cara yang paling benar dan cepat. Sehingga ketika masyarakat datang ke
birokrasi yang ada dalam benak mereka adalah membayar biar cepat selesai urusannya.
Ini salah satu efek dari proses prekruitan yang tidak benar, karna kebanyakan
yang terjadi proses rekruitmen di Indonesia memakai system patronage dimana
dengan kedekatan emosional dan faktor keluargalah yang akan menjadi birokrasi
di negari ini.
Jika kita berbicara masalah
birokrasi maka tidak lepas dari yang namanya pelayanan publik, akan tetapi
orang-orang yang duduk dijajajran birokrasi bukan melayani masyarakat akan
tetapi sebaliknya masyarakatlah yang melayani birokrat, hal ini sudah sangat melenceng
jauh dari tujuan birokrasi. Banyak sekali potret dari birokrasi Indonesia,
contohnya untuk mendapatkan KTP masyarakat harus membayar dengan beberapa
variable dari yang paling cepat sampai lambat, ketika masyarkat mengurus KTP
pasti ada penawaran mau cepat atau lambat, jika cepat masyarakat harus membayar
dengan harga 100 ribu dengan jangka waktu 3 hari, ketika lambat dengan waktu 1
minggu terkadang bisa lebih masyarakat harus membayar 30 ribu. Dari contoh ini
sudah membuktikan bahwasannya birokrasi kita sudah tidak sehat, serta bentuk
pungutan liar/korupsi sudah terjadi di birokrasi tingkat bawah, apalagi
dibirokrasi tingkat atas? Hal ini menunjukkan bahwasannya proses rekruitmen
birokrasi sudah tidak benar, karena rekruitmen birokrasi merupakan salah satu
kunci keberhasilan untuk menciptakan birokrasi yang baik sehingga akan terjadi
pelayanan publik yang efektif, efesien dan akuntabel.
Rekruitmen birokrasi merupakan
salah satu bentuk dari manajemen pegawai, dimana hal ini sangat penting untuk dilakukan.
Dalam pelaksanaan rekruitmen birokrasi ada beberapa hal yang harus dilakukan adalah
tahap penyusunan formasi yang dasarnya adalah pemetaan jabatan. Proses ini
sangat penting untuk menentukan kebutuhan dan sepesifikasi pegawai yang
diperlukan, sehingga pegawai yang diterima bisa menjalankan tugasnya sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi pegawai. Untuk melaksanakan rekruitmen birokrasi
sudah ada isntitusi yang berwenang mengadakan hal tersebut, ditingkat pusat ada
biro/bagian kepegawaian dari masing-masing instans, sedangkan di daerah yang
bertanggungjawab adalah Badan Kepegawaian Daerah. Pelaksanaan rekrutmen pegawai
di Indonesia tidak bisa dilakukan setiap tahun akan tetapi harus melihat
formasi yang ada dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Karena dalam
pengadaan rekruitmen birokrasi di pemerintah daerah menggunakan pendekatan zero growth dimana pengadaan pegawai
didasarkan untuk menggantikan pegawai yang pensiun.
Selama ini, proses pelaksanaan
rekrutmen birokrasi pemerintah atau pemerintah daerah masih sangat kental
dengan nuansa KKN, tertutup, kurang terbuka, kurang transparan, dan akuntabel.
Proses rekruitmen birokrasi di sebagian besar instansi Negara ini baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah dinilai belum efektif dan belum menunjukkan
ketransparansian, serta masih sangat kental dengan hubungan kekerabatan, ikatan
emosional, jaringan kewilayahan, nuansa kekeluargaan, dan aspek primordialisme.
Hal ini menunjukkan bahwasannya proses rekruitmen di Negara kita menggunakan
sistem patronage, sedangkan untuk sistem merit sangat jarang bahkan hampir
tidak digunakan untuk proses rekruitmen birokrasi di negeri ini. Oleh karena
itu, yang terjadi pada saat ini adalah birokrasi-birokrasi yang ada di Indonesia
mengalami perubahan paradigma dalam hal pelayanan, yang seharusnya birokrasi
memberikan pelayanan kepada masyarakat akan tetapi untuk riilnya hal ini sangat
jarang terjadi, karena jika sebuah birokrasi melayani masyarakat pasti ada
sebuah jasa/imbalan yang dimintanya seperti halnya pungutan liar. Tetapi yang
terjadi di Indonesia seorang pejabatlah yang sering dilayani oleh pegawai
birokrasi karena dengan adanya koneksitas kepada atasan akan lebih
menguntungkan bagi karir mereka, jabatan, dan golongan dari pada memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
Meskipun di era modernisasi
sebagian besar pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah menggunakan
teknologi informasi khususnya internet, dalam proses rekruitmen birokrasi agar supaya transparan dan akuntabel, sebagai
wujud nyata dari aplikasi e-goverment,
namun dalam prakteknya, masih banyak sekali praktek-praktek kecurang yang
terjadi. Hal ini menunjukkan bahwasannya proses rekruitmen birokrasi dengan
sistem yang baik sekalipun dan apabila orang yang menjalankan tidak bisa
bersifat professional maka sistem tersebut sulit dijalankan dengan baik dan
berkesan seperti sia-sia. Dengan diterapkannya sistem e-government sebenarnya untuk meminimalisir kecurangan-kecurangan
yang terjadi dalam perekrutan birokrasi, karena dengan proses rekruitmen
birokrasi yang curang maka akan membentuk pegawai yang tidak professional
kinerja pegawai dalam hal pelayanan pegawai.
Pelaksanaan rekruitmen birokrasi
yang terjadi di Indonesia selama ini hanya diperuntukkan oleh orang-orang yang
mempunyai uang, dan koneksi/jaringan dengan orang-orang dalam birokrasi
tersebut, sedangkan bagi masyarakat yang tidak mempunyai uang sepertinya tidak
boleh menduduki jabatan birokrasi. Hal
semacam ini sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat, bahwa siapa saja yang
ingin menjadi seorang birokrat dan masuk ke dalam sebuah instansi birokrasi
maka harus memiliki puluhan juta sampai ratusan juta untuk lolos dalam seleksi
tersebut. Sepertinya sepandai apapun dan sebaik apapun prestasinya sangat sulit
sekali untuk masuk ke dalam birokrasi kalau tidak mempunyai uang dan koneksitas
dalam birokrasi tersebut. Hal inilah yang banyak terjadi di Indonesia karena
birokrasi Indonesia lebih sering menggunakan sistem patronage dimana menerima
seseorang berdasarkan ikatan emosional, koneksitas dan lain-lain, sedangkan
sistem merit yang lebih mengedepankan perekruitan dari segi kecerdasan sangat
jarang dilakukan oleh birokrasi kita.
Sebelum dilaksanakannya proses
pelaksanaan rekruitmen birokrasi maka hal utama yang harus dilakukan adalah
proses formasi pegawai. Untuk penyusunan formasi pegawai ini sudah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1976 tentang Pokok-Pokok Penyusunan Formasi
Pegawai Negeri Sipil untuk mengisi birokrasi pemerintah baik pusat maupun
daerah. Menurut Miftah Thoha (2010) formasi yang dimaksud disini adalah jumlah
dan susunan pangkat pegawai negeri sipil yang diperlukan oleh suatu satuan
organisasi Negara untuk mampu melaksanakan tugas pokok untuk jangka waktu
tertentu yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab dalam bidang
penertiban dan penyempurnaan aparatur Negara. Tujuan ditentukan formasi
terlebih dahulu maka birokrasi dapat mempunyai jumlah dan mutu pegawai yang
cukup sesuai dengan beban kerja yang diperlukan dalam instansi tersebut.
Tujuan penetapan formasi sesuai
dengan Peraturan Pemerintah No 54 tahun 2003 ada beberapa tahapan dan
persyaratan diantaranya yaitu:
1. Dasar
Penyusunan Formasi
Pada umumnya dalam penyusunan
formasi ada beberapa hal yang harus diperhatikan, sesuai birokrasi yang
membutuhkannya diantaranya yaitu:
a)
Jenis pekerjaan, yaitu: Macam-macam
pekerjaan yang harus dilakukan oleh suatu unit organisasi dalam melaksanakan
tugas pokoknya, umpamanya pekerjaan mengetik, jaga malam, mengobati penyakit,
dan lain-lain. Jenis-jenis pekerjaan yang ada dalam setiap departemen dan
lembaga harus dikumpulkan, dikelompokkan, dan disusun secara sistematis,
sehingga mudah dicari apabila diperlukan. Pada pokoknya, jenis-jenis pekerjaan
itu dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua kelompok, yaitu jenis-jenis pekerjaan
yang bersifat umum dan jenis-jenis pekerjaan yang bersifat khusus. Jenis-jenis
pekerjaan yang bersifat umum, yaitu jenis-jenis pekerjaan yang ada di setiap
departemen dan lembaga seperti mengetik, urusan kepegawaian, urusan keuangan
dan lain-lain. Jenis pekerjaan yang bersifat khusus, yaitu jenis-jenis
pekerjaan yang hanya ada pada departemen atau lembaga tertentu, seperti
pekerjaan mengobati penyakit hanya ada pada lingkungan Departemen Kesehatan,
memeriksa perkara hanya ada pada lingkungan kejaksaan dan pengadilan, dan
lain-lain.
b) Sesudah
jenis pekerjaan yang diketahui, maka harus pula diketahui sifat dari
masing-masing pekerjaan itu. Dalam menentukan sifat pekerjaan dapat ditinjau
dari beberapa sudut, umpamanya dari sudut waktu kerja, sudut pemusatan
perhatian, sudut resiko pribadi yang mungkin timbul dalam melaksanakan
pekerjaan, dan lain-lain.
c) Perkiraan
beban kerja, yaitu frekuensi kegiatan rata-rata dari masing-masing jenis
pekerjaan dalam jangka waktu tertentu. Pada umumnya beban kerja itu dapat
dibagi dalam beban kerja yang dapat diukur, beban kerja yang sulit diukur, dan
beban kerja yang tidak mungkin diukur.
d) Perkiraan
kapasitas pegawai, yaitu perkiraan kemampuan rata-rata seorang pegawai untuk
menyelesaikan suatu jenis pekerjaan dalam jangka waktu tertentu. Perkiraan
kapasitas pegawai perlu diketahui untuk menentukan jumlah pegawai yang
diperlukan untuk masing-masing jenis pekerjaan. Walaupun jenis pekerjaan sama,
tetapi beban kerja dan perkiraan kapasitas pegawai berlainan pula jumlah
pegawai yang diperlukan.
e) Kebijaksanaan
pelaksanaan pekerjaan, yaitu kebijakan pelaksanaan pekerjaan apakah dilakukan
sendiri ataupun diborongkan (outsourcing).
Kebijaksanaan pelaksanaan pekerjaan untuk suatu jenis pekerjaan sangat besar
pengaruhnya terhadap penentuan jumlah pegawai.
f) Jenjang
dan jumlah jabatan dan pangkat yang tersedia dalam suatu organisasi mempunyai
pengaruh dalam penyusunan formasi, karena piramida jabatan dan pangkat yang
serasi adalah merupakan salah satu syarat mutlak untuk dipelihara oleh suatu
organisasi yang baik. Sebagaimana diketahui, bahwa semakin tinggi suatu pangkat
atau jabatan semakin terbatas jumlahnya, oleh sebab itu, makin terbatas pula
jumlah Pegawai yang mungkin mencapai jabatan atau pangkat yang lebih tinggi
itu.
g) Alat
yang tersedia atau diperkirakan dalam melaksanakan tugas. Makin tinggi mutu
peralatan dan tersedia dalam jumlah yang cukup, dapat mengakibatkan makin
sedikit jumlah Pegawai yang diperlukan untuk mengerjakan suatu jenis pekerjaan
tertentu. Tetapi makin menghendaki kualitas yang makin tinggi.
2. Sistem
Penyusunan Formasi
Dalam menentukan formasi pada
umumnya ada 2 sistem yang biasanya digunakan yaitu:
a)
Sistem
sama yakni sistem yang menentukan jumlah dan kualitas yang sama baik semua unit
organisasi yang sama, dengan tidak memerhatikan besar kecilnya beban kerja.
Sistem ini biasanya digunakan pada organisasi yang sudah distandarisasikan.
b)
Sistem ruang lingkup yakni suatu
sistem yang menentukan jumlah dan kualitas berdasarkan jenis, sifat, dan beban
kerja yang dipikulkan pada unit organisasi itu. Menurut sistem ini, walaupun
tingkat satuan organisasi sama, tetapi kalau beban kerjanya berlainan, maka
berlainan pula jumlah pegawai yang ditentukan bagi masing-masing unit
organisasi itu.
3. Analisis
Kebutuhan Pegawai
Untuk
dapat menyusun formasi yang tepat, maka harus disusun lebih dahulu “analisis
kebutuhan pegawai”. Analisis kebutuhan pegawai adalah suatu proses menganalisis
secara logis dan teratur untuk dapat mengetahui jumlah dan kualitas pegawai
yang diperlukan oleh suatu unit organisasi agar mampu melaksanakan tugasnya
serta berdaya guna, berhasil guna, dan berkelangsungan. Tujuan dari analisis
kebutuhan pegawai adalah sebagai salah satu usaha agar setiap pegawai yang ada
pada setiap unit organisasi mempunyai pekerjaan. Salah satu alat untuk membuat
analisis kebutuhan Pegawai adalah adanya uraian jabatan (job description) yang tersusun rapi. Dengan adanya uraian jabatan,
maka dapatlah diketahui jenis jabatan, ruang lingkup tugas yang dapat
dilaksanakan, sifat pekerjaan, syarat-syarat pejabat, dan dapat pula diketahui
perkiraan kapasitas pegawai dalam jangka waktu tertentu
4.
Anggaran Belanja Negara
Anggaran
Belanja yang dapat disediakan oleh negara sangat menentukan pelaksanaan
pemenuhan formasi. Karena, walaupun formasi telah disusun secara tepat
berdasarkan norma-norma yang rasional, tetapi akhirnya tetaplah anggaran
belanja yang dapat disediakan negara yang menetukan, apakah formasi yang telah
disusun itu dapat terpenuhi atau tidak.
Hasil
rekruitmen birokrasi memang sangat berpengaruh terhadap pelayanan publik yang
dirasakan oleh masyarakat. Jika proses rekruitmen birokrasi dilaksanakan dengan
baik dan benar maka pegawai yang dihasilkan juga mempunyai kualitas dan
kuantitas serta profesionalisme dalam bekerja. Selain rekruitmen juga hal yang
harus diperhatikan untuk meningkatkan pelayanan publik adalah emosional bagi
pegawai. Dimana kecerdasan emosional merupakan konsep yang multiinterpretatif.
Dalam buku Agus Dwiyanto (2009:325) ada tiga hal yang bisa digunakan untuk
menjelaskan pentingnya kecerdasan emosional birokrat agar bisa meningkatkan
kineja dan pelayanan publik. Pertama, dengan memahami kondisi emosi dirinya
sendiri dan kondisi emosi masyarakat yang dilayani, seorang birokrat akan mampu
menjaga hubungan baik dengan masyarakat yang dilayani. Kedua, dengan kecerdasan
emosional seorang birokrat akan mampu mengontrol dan mengelola stress sehingga
dampaknya tidak sampai kemasyarakat yang dilayanai. Ketiga, kecerdasan
emosional akan membantu seorang birokrat untuk berkomunikasi dengan baik dan
lancar.
Buruknya
proses rekruitmen di Indonesia dan sudah menjadi kebiasaan dan budaya yang
sangat sulit untuk dihilangkan dengan waktu yang sangat singkat. Budaya proses
rekruitmen birokrasi yang tidak transparan, akuntabel serta tidak professional
akan mengakibatkan kinerja birokrasi sangat rendah dan tidak berkualitas. Jika
proses rekruitmen tersebut dilaksanakan tarus menerus maka yang akan dihasilkan
adalah birokrasi-birokrasi yang bermental korup dan lemahnya kinerja dan
inovasi. Dengan proses rekruitmen yang sudah membudaya di Indonesia akan sulit
untuk membentuk birokrasi yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang tinggi
serta pegawai yang mempunyai keterampilan, keahlian serta inovasi dan
profesionalissme kerja. Jika proses rekruitmen birokrasi sudah baik maka
pegawai yang dihasilkan juga baik dalam hal kualitas dan kuantitas.
Dengan lahirnya Undang-Undang No
5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara semoga menjadi titik perubahan bagi
sistem kepegawaian di Indonesia, yang paling utama adalah perubahan dalam
sistem rekruitmen birokrasi. Berdasarkan kemajuan zaman dan kecanggihan
teknologi pada tahun 2014 sistem rekruitmen birokrasi yang akan diadakan
menggunakan sistem CAT. Dengan adanya sistem baru dan Undang-Undang baru yang
akan digunakan dalam sistem kepegawaian baik dari proses rekruitmen sampai
pensiunan, semoga menjadi awal perubahan birokrasi di Indonesia. Dengan sistem kepegawaian yang kuat dan
proses rekruitmen birokrasi yang baik maka akan menghasilkan pegawai yang
mempunyai kualitas dan kuantitas, baik dari segi keterampilan, inovasi maupun professionalisme
dalam bekerja.
D. KESIMPULAN
1.
Proses
rekrutmen birokrasi di Indonesia berjalan dengan kurang transparan, kurang
akuntabel, dan kurang professional. Hal ini ditandai dengan masih adanya
indikasi KKN dalam penerimaan birokrasi di Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Rekrutmen pegawai yang tidak professional tentunya akan menimbulkan
sosok birokrasi yang kurang bermutu dan kurang berkualitas.
2.
Masih
banyaknya proses rekruitmen birokrasi yang mengedepankan sistem patronage/faktor
keluarga, koneksitas dalam birokrasi dan lain-lain. Hal ini ditandai banyaknya
dinasti politik serta dinasti birokrasi yang ada di hampir setiap daerah.
Dengan sistem patronage maka yang terjadi hak-hak setiap warga negara mulai
terkikis, apalagi bagi orang yang tidak mempunyai ikatan keluarga atau koneksitas
dalam sebuah birokrasi.
3.
Belum
adanya rekruitmen birokrasi yang mengedepankan merit sistem/berdasarkan
prestasi yang dicapai. Hal ini menjadi salah satu pemicu buruknya birokrasi di Indonesia.
Jika proses rekruitmen birokrasi menggunakan merit sistem setidaknya pegawai
yang dihasilkan mempunyai professionalisme dalam bekerja dan kualitas pegawai
birokrasi lebih baik dari pada pegawai yang proses rekruitmennya menggunakan
patronage sistem.
E. REKOMENDASI
1.
Melaksanakan
reformasi birokrasi besar-besaran terhadap birokrasi yang mempunyai banyak
masalah.
2.
Sistem
rekruitmen birokrasi harus bersifat transfaran dan akuntabel sehingga
masyarakat luas bisa mengakses dengan mudah, serta menghilangkan sistem
rekruitmen atas dasar keluarga, kedekadatan emosional, dan lain-lain. sistem
rekruitmen yang harus diutamakan adalah merit sistem/berdasarkan prestasi. Berdasarkan
merit sistem seluruh kesempatan bagi warga negara mempunyai peluang yang sama.
3.
Membuat
dan menerapkan punishment serta reward bagi seluruh pegawai birokrasi, memberi
punishment/sanksi bagi pegawai birokrasi yang melanggar dan memberi reward/penghargaan
bagi pegawai birokrasi yang mempunyai prestasi tinggi.
REFERENSI
Dwiyanto,
Agus, Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan
dan Pelayanan Publik: Kajian Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia,
Gava Media, Yogyakarta, 2009.
Hasibun. Malayu S.P, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi
Aksara, Jakarta, 2005.
Mahfud MD, Moh, Hukum Kepegawaian Indonesia, Yogyakarta,
Liberty, 1998.
Mustaffa, Delly, Birokrasi Pemerintahan, Bandung,
Alfabeta, 2013.
Simamora, Henri. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta.
1997.
Thoha, Miftah, Manajemen Kepegawaian Sipil Di Indonesia, Jakarta,
Kencana , 2010.