Pada
tanggal 29 Mei 2012 sudah genap enam tahun lamanya bencana alam yang terjadi di
Sidoarjo Jatim, di mana bencana ini lebih dikenal dengan sebutan lumpur
lapindo. Bencana alam ini sungguh sangat dahsyat karena sudah 6 tahun lamanya
belum juga bisa ditangani, bencana alam yang menelan biaya kurang lebih 8,6
triliun dari anggaran APBN in belum kunjung selesai. Padahal kalu kita lihat
biaya yang seharusnya bisa digunakan untuk keperluan lain seperti mengentaskan
kemiskinan, mengurangi pengangguran, menambah fasilitas pendidikan, serta
memperbaiki infrastruktur supaya lebih baik. Biaya yang banyak ini sampai
sekarang belum bisa menghentikan bencana tersebut serta belum bisa mengobati
rasa sakit masyarakat Sidoarjo .
Berbagai macam skema penyelesaian pembayaran jual
beli antara korban lumpur dengan Minarak Lapindo Jaya (MLJ) selaku juru bayar
ganti rugi Lapindo Brantas Inc. tinggal menunggu penyelesaian, namun tanggungan
penyelesaian ganti rugi MLJ terhadap ribuan korban lumpur masih belum jelas.
Untuk melunasi jual beli antara ko rban lumpur dengan
MLJ masih dibutuhkan dana sekitar Rp1,1 Triliun lagi agar terbebas dari segala
bentuk tuntutan korban lumpur yang kini melakukan aksi di tanggul titik 25. Dari
kekurangan dana yang ada pihak MLJ hanya mampu menyediakan dana untuk
pembayaran kepada korban lumpur senilai Rp400 miliar. Tentu, angka Rp400 miliar
tersebut dirasakan masih jauh dari nilai kekurangan pembayaran kepada korban
lumpur yang telah menanti selama enam tahunan.
Padahal kalau kita lihat sudah banyak sekali aksi
yang dilakukan oleh masyarakat yang terkena korban, akan tetapi para petinggi
pihak MLJ pun tidak memperhatikan dengan baik akan kasus ini. Memang benar,
warga sudah jenuh dengan berbagai macam janji yang telah diberikan oleh Lapindo
atau juga MLJ selaku juru bayar. Yang paling dibutuhkan oleh warga masyarakat
saat ini adalah realitas pelunasan tersebut yang ditunggu warga supaya bisa
terbebas dari bayang-bayang Lapindo. Akibatnya, sudah lebih dari satu bulan
ini, warga harus rela bergantian "berjaga" di titik 25 untuk menagih
janji pelunasan kepada warga tersebut.
Kalau kita lihat sungguh sangat ironis negeri dan
para petinggi-petingginya dimana banyak masyarakat yang tersiksa dengan
penderitaan yang tak kunjung usai. Kalau kita lihat para pejabat negeri ini
lebih mementingkan hidupnya sendiri dari pada mementingkan masyarakatnya,
dimana masyarakat yang seharusnya dilindungi dan diayomi kini malah dijajah
dengan kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan oleh para politisi yang tidak
bertanggung jawab. Kasus lumpur lapindo bukanlah kasus baru yang seharusnya
ditangani dengan serius, tetapi pada kenyataannya kasus ini malah
dikesampingkan oleh pemerintah negeri ini. Di mana pemerintah indonesia melalui
Kementerian Pekerjaan Umum akan menghentikan sumbangan dana pada para korban
lumpur lapindo pada tahun 2014. Pemerintah mengatakan pembiayaan pada tahun
depan masih diberikan kepada para korban akan tetapi hanya sampai tahun 2013
dan pada tahun 2014 pemerintah akan lepas tangan dari kasus ini. Ini membuktikan
bahwa kepentingan masyarakat telah dikesampingkan, dan pemerintah hanya mengurusi
kepentingan-kepentingan yang menguntungkan dirinya sendiri.
Kasus bencana lumpur lapindo tidak lepas dari
kepentingan pemerintah yang mengutamakan kepentingan para pengusaha dan tidak
ada keseimbangan dengan kepentingan masyarakat Indonesia. Memang Indonesia adalah
Negara yang mempunyai kekayaan alam yang banyak baik dari minyak, gas, batu
bara dan lain-lain. Akan tetapi kekayaan yang banyak tersebut hampir tidak
pernah dirasakan oleh para masyarakat Indonesia di mana para penguasa negeri
inilah yang menikmati kekayaan tersebut. Contohnya kasus lumpur lapindo dan
masih banyak sekali kasus-kasus yang lain. Bencana lumpur lapindo yang
menyisakan kisah tangis masyarakat Porong, Sidoarjo ini sungguh ironis, dimana
masyarakat yang dulunya hidup dengan kedamaian, ketentraman dan berkehidupan
yang cukup pada saat ini mereka hanya bisa berdoa dan merenungi nasib mereka
yang berubah drastis menyedihkan.
Pemerintah dianggap tidak serius menangani kasus
luapan lumpur panas ini. Masyarakat adalah korban yang paling dirugikan, di
mana mereka harus mengungsi dan kehilangan mata pencaharian tanpa adanya
kompensasi yang layak. Pemerintah hanya membebankan kepada Lapindo pembelian
lahan bersertifikat dengan harga berlipat-lipat dari harga NJOP yang rata-rata
harga tanah dibawah Rp. 100 ribu- dibeli oleh Lapindo sebesar Rp 1 juta dan
bangunan Rp 1,5 juta masing-masing permeter persegi. untuk 4 desa (Kedung
Bendo, Renokenongo, Siring, dan jatirejo) sementara desa-desa lainnya
ditanggung APBN, juga penanganan infrastruktur yang rusak.Hal ini dianggap
wajar karena banyak media hanya menuliskan data yang tidak akurat tentang
penyebab semburan lumpur ini.
Salah satu pihak yang paling mengecam penanganan
bencana lumpur Lapindo adalah aktivis lingkungan hidup. Selain mengecam
lambatnya pemerintah dalam menangani lumpur, mereka juga menganggap aneka
solusi yang ditawarkan pemerintah dalam menangani lumpur akan melahirkan
masalah baru, salah satunya adalah soal wacana bahwa lumpur akan dibuang ke
laut karena tindakan tersebut justru berpotensi merusak lingkungan sekitar
muara.
PT Lapindo Brantas Inc sendiri lebih sering
mengingkari perjanjian-perjanjian yang telah disepakati bersama dengan
korban.Menurut sebagian media, padahal kenyataannya dari 12.883 buah dokumen
Mei 2009 hanya tinggal 400 buah dokumen yang belum dibayarkan karena status
tanah yang belum jelas. Namun para warga korban banyak yang menerangkan kepada
Komnas HAM dalam penyelidikannya bahwa para korban sudah diminta menandatangani
kuitansi lunas oleh Minarak Lapindo Jaya, padahal pembayarannya diangsur belum
lunas hingga sekarang. Dalam keterangannya kepada DPRD Sidoarjo pada Oktober
2010 ini Andi Darusalam Tabusala mengakui bahwa dari sekitar 13.000 berkas baru
sekitar 8.000 berkas yang diselesaikan kebanyakan dari korban yang berasal dari
Perumtas Tanggulangin Sidoarjo. Hal ini menunjukkan bahwa banyak keterangan dan
penjelasan yang masih simpang siur dan tidak jelas
“Wahai
para penguasa janganlah kamu lupa pada masamu yang dulu dan janganlah kamu
sombong dengan keadaanmu yang sekarang, bukalah mata kalian dan hati nurani
kalian sehingga kalian bisa merasakan apa yang mereka rasakan”.
Daftar Pustaka:
indymedia.org